Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belakangan sebut ancaman Perang Dunia III semakin nyata. Benarkah demikian?
Presiden Indonesia yang ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belakangan terlihat semakin vokal dalam menyuarakan pendapatnya tentang keadaan politik dunia.
Terbaru, ketika menghadiri seminar Roundtable Discussion yang digelar The Yudhoyono Institute dan Universiti Kebangsaan Malaysia, SBY menilai bahwa Perang Dunia III -sesuatu yang beberapa waktu ini cukup sering dibicarakan orang- tampaknya akan sangat mungkin terjadi, terlebih lagi apabila tidak ada kekuatan yang mencegahnya.
SBY pun menambahkan, selesai 40 tahun pengalamannya mengabdi di TNI, ia membuat sebuah buku yang berjudul Perang Dunia ke III Mungkinkah?, di mana di dalamnya SBY berargumen bahwa Perang Dunia III tidak mungkin terjadi karena di era ini semua negara akan berfokus pada mengkritisi semangat dan energi untuk mencegah perang dunia yang baru terjadi.
Namun, SBY menyebutkan, melihat perkembangan geopolitik dunia saat ini, kesimpulan yang ia tulis sepertinya akan sangat berbeda bila buku tadi diselesaikan di masa sekarang. SBY pun mengkritisi, sekarang ini para kekuatan dunia terlihat minim upayanya dalam mencegah terjadinya perang, yang terjadi malahan adalah penguatan kekuatan militer.
Perang antara Rusia dan Ukraina pun jadi refleksi yang besar bagi mantan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat tersebut. Katanya, konflik yang meletus semenjak 24 Februari lalu itu sudah berkembang cukup parah dan mampu menjadi embrio bagi perang yang lebih besar.
Oleh karena itu, SBY memperingatkan bahwa sekarang sudah saatnya bagi siapapun untuk berhenti bersikap netral terhadap perkembangan geopolitik. Selama keberpihakan suatu negara memang dapat mencegah konflik maka hal itu adalah sesuatu yang perlu dilakukan.
Sebagai salah satu pesan terkuatnya, SBY menyebutkan bahwa di saat seperti ini kita sudah tidak boleh bersikap acuh dan mengabaikan masalah-masalah kecil konflik yang bisa menjadi besar, karena belajar dari Perang Dunia II, sesungguhnya pemicu-pemicu perang juga dimulai dengan sejumlah konflik-konflik kecil.
Tentu, apa yang disampaikan SBY menyisakan pertanyaan besar di benak banyak orang. Apakah Perang Dunia III memang senyata itu? Kira-kira seberapa benar kekhawatiran yang disampaikan SBY?
SBY (Mostly) Benar?
Kesimpulan yang ditulis SBY dalam bukunya Perang Dunia ke III Mungkinkah?, memang sempat menjadi pandangan yang paling banyak dianut oleh orang-orang. Karena interdependensi atau saling ketergantungan antar negara kini begitu besar –terima kasih pada globalisasi- maka kepentingan ekonomi seharusnya bisa jadi penghalang besar terjadinya suatu perang dunia.
Pandangan demikian sebelumnya dipopulerkan oleh sejarawan Inggris bernama James Joll dalam bukunya The Origins of the First World War, yang diterbitkan pada tahun 1984. Karena biaya ekonomi yang diperlukan untuk menjalankan sebuah perang begitu besar, maka tidak akan ada negara yang bisa berharap mendapatkan keuntungan ekonomi maupun politik dengan memulai perang yang konsekuensinya akan sangat merusak.
Akan tetapi, persis seperti yang dikhawatirkan SBY, tidak selamanya potensi perang bisa kita remehkan. Carl von Clausewitz dalam bukunya On War, menyebutkan bahwa perang sesungguhnya hanyalah salah satu perangkat politik. Berbeda dengan pandangan umumnya, di mana perang sering kali dianggap sebagai amarah suatu negara sehingga bisa terjadi secara tiba-tiba, Clausewitz melihat bahwa akan ada selalu latar belakang politik yang panjang di balik terjadinya perang karena perang secara prinsipnya dianggap sebagai last resort atau pilihan terakhir ketika suatu pertikaian politik tidak bisa dicarikan titik tengahnya.
Oleh karena itu, di poin pertama ini SBY sepertinya benar. Hanya karena suatu konflik masih terjadi dalam ruang lingkup yang kecil, kita tetap harus waspada terhadap sifat volatilitas politik internasional. Dan selama ada konflik antar negara yang belum diselesaikan, maka potensinya untuk berkembang menjadi masalah yang lebih besar pun akan selalu ada.
Ini kemudian membawa kita ke poin kedua. SBY menyebutkan bahwa sifat acuh negara-negara di tengah panasnya situasi geopolitik internasional merefleksikan apa yang terjadi sebelum Perang Dunia II meletus. Well, sepertinya kekhawatiran yang satu ini juga benar karena kalau kita tarik ke belakang, Perang Dunia II pun terjadi secara tahap bertahap.
Sebelum meletus pada tahun 1939, ada beberapa peristiwa politik dan konflik kecil yang terjadi sebelum Perang Dunia II, mulai dari invasi Jepang ke Manchuria pada tahun 1931, invasi Italia ke Etiopia pada tahun 1935, dan pembentukan aliansi kelompok Axis antara Jerman dan Italia pada tahun 1936.
Kalau kita lihat keadaannya sekarang, maka kita akan menyadari bahwa ada kemiripan antara situasi sebelum Perang Dunia II dan sekarang. Bahkan mungkin akan ada yang melihat bahwa kedekatan antara Tiongkok dan Rusia yang belakangan semakin tersorot cukup identik dengan kedekatan antara Jerman dan Italia dahulu.
Walaupun kesamaan-kesamaan ini tidak bisa kita jadikan jawaban mutlak untuk mengatakan bahwa Perang Dunia III akan terjadi, kita perlu sadari bahwa suatu perang besar tidak akan meletus dengan sendirinya, melainkan ia merupakan hasil akumulasi beberapa permasalahan politik internasional yang belum menemukan solusinya.
Pandangan yang demikian sebenarnya sejalan dengan teori boiling frog syndrome yang dipopulerkan novelis Daniel Quinn dalam bukunya The Story of B. Di dalamnya, Quinn menggambarkan bahwa layaknya seekor kodok yang direbus secara perlahan dalam air dingin, orang-orang sering kali mengabaikan permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi di sekitarnya sebelum masalah tersebut menjadi besar.
Padahal, sebuah masalah besar, seperti krisis ekonomi misalnya, kerap kali terjadi akibat para pemegang kekuasaan menganggap remeh permasalahan finansial yang mulai terjadi sedikit demi sedikit di negaranya.
Nah, analogi ini bisa kita terapkan juga dalam persoalan politik dan perang. Karena kita selalu disampaikan narasi bahwa suatu perang nun jauh yang terjadi tidak akan terlalu berdampak pada kehidupan negara kita, kita akhirnya bersikap acuh. Padahal, perang yang tadinya tidak terlalu berdampak itu -jika tidak turut dibantu dicarikan solusinya- mampu berkembang menjadi suatu permasalahan yang melibatkan banyak negara lain.
Karena itu, peringatan SBY tentang perlunya refleksi kepada Perang Dunia II tentang masalah-masalah dunia yang tidak boleh dibiarkan begitu saja sepertinya tepat.
Lantas, apakah ini artinya benar bahwa Perang Dunia III sudah di depan mata?
Masih Ada “Asuransi”?
Sebelumnya, SBY menyoroti bahwa Perang Dunia III akan terjadi bila tidak ada kekuatan yang mampu mencegahnya, dan saat ini tampak tidak ada kekuatan yang cukup besar untuk menghalau eskalasi konflik geopolitik, hanya upaya memperkuat kekuatan militer.
Akan tetapi, sepertinya ada satu hal yang luput dari perhatian SBY, yakni tentang kekuatan hegemoni. Joseph S. Nye dalam tulisannya The Kindleberger Trap, mempopulerkan sebuah konsep yang bernama sama dengan judul tulisannya. Melalui konsep tersebut, Nye melihat bahwa alasan sebenarnya kenapa Perang Dunia II bisa meletus adalah karena pada saat itu ada kekosongan kekuatan hegemoni dalam politik internasional.
Pada tahun 1930-an, Kerajaan Inggris yang sebelumnya berjaya mulai memiliki pengurangan kekuatan, ia tidak lagi dipandang sebagai suatu entitas politik yang bisa mendikte dunia. Pada masa yang sama pun, Nye menyebut keadaan dunia sedang dalam masa transisi hegemoni, dari Kerajaan Inggris pada “bayi digdaya” yang tidak lain adalah AS. Namun, karena AS pada saat itu belum memiliki kekuatan yang benar-benar bisa ditakuti kekuatan-kekuatan besar dunia lainnya seperti Jepang dan Jerman, maka akhirnya dua negara tersebut berani menyatakan perang pada dunia.
Nah, kalau kita tarik kembali ke keadaan saat ini, meskipun memang mungkin secara ekonomis atau kultural dominasi hegemoni AS mulai tertantang, kita tidak bisa meremehkan kekuatan pertahanan AS. Kalau kita coba bandingkan kemajuan teknologi perang Negeri Paman Sam dengan negara-negara lain seperti Rusia atau Tiongkok, kita akan sadar bahwa dalam sektor itu AS masih menunjukkan dominasinya.
Begitu juga dalam aspek ekonomi. Walau belakangan disebut Tiongkok mulai sanggup menyalip AS, faktanya mata uang Dollar masih memiliki kekuatan yang begitu besar dan jadi mata uang yang paling sering diperdagangkan. Bukan hanya itu, seperti yang dijelaskan dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Dunia Hancur Bila Tiongkok Berkuasa?, AS pun masih memegang international public goods atau barang atau barang publik internasional, salah satunya adalah Global Positioning System (GPS).
Dengan demikian, karena AS masih menjadi kekuatan terbesar tunggal di dunia dan jadi hegemon yang dibutuhkan, hampir bisa dipastikan bahwa Perang Dunia III untuk saat ini sepertinya masih mustahil untuk terjadi. Kalaupun ada negara yang berani menantang AS, maka ia akan melakukannya dengan tidak menggunakan keputusan yang rasional.
Oleh karena itu, bisa kita simpulkan bahwa meskipun ada beberapa kebenaran di balik “ramalan” perang dunia SBY, sepertinya itu semua masih bisa dinegasi oleh dominasi dan intimidasi yang bisa dilakukan AS pada siapapun yang berani memulai Perang Dunia III. (D74)