Cross BorderPutin Cuma Bisa Jadi Beban?

Putin Cuma Bisa Jadi Beban?

- Advertisement -

Meski hubungan Rusia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tampak semakin dekat di tengah konflik Rusia-Ukraina, hubungan dua negara ini sebenarnya tidaklah mulus. Bukan tidak mungkin, pemerintahan Vladimir Putin di Rusia justru malah menjadi ‘beban’ bagi kepentingan pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok. 


PinterPolitik.com

“Segitiga di antara kita, hanya tuk berdusta dan ku lelah di antara segitiga ini” – Cokelat, “Segitiga” (2003)

Pada minggu lalu, terjadi sebuah peristiwa unik di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) – khususnya di sebuah wilayah bernama Xinjiang. Bagaimana tidak? Presiden Tiongkok Xi Jinping melakukan kunjungan ke Urumqi, Xinjiang, pada 12-14 Juli 2022 kemarin.

Kunjungan Xi ke Xinjiang ini menjadi unik karena ini merupakan kunjungannya yang pertama selama delapan tahun terakhir. Dalam foto-foto yang diunggah oleh media-media lokal dan nasional Tiongkok, warga Xinjiang tampak semringah menyambut kedatangan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Komunis Tiongkok (PKT) tersebut.

Namun, banyaknya senyuman dalam kunjungan itu bukanlah hal yang menjadi ekspektasi masyarakat – khususnya masyarakat di negara-negara lain. Banyak negara justru sebenarnya mempertanyakan pemerintahan Xi atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan genosida terhadap kelompok Uighur di Xinjiang.

Di Indonesia sendiri, misalnya, isu Uighur ini sempat menyita perhatian masyarakat. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak, nasib kelompok Uighur yang umumnya juga Muslim menimbulkan keprihatinan dari banyak kelompok.

Tidak hanya Indonesia, dugaan atas situasi yang terjadi di Xinjiang juga menyita banyak perhatian negara-negara Barat. Kerumunan media-media di negara-negara Barat secara ramai-ramai memberitakan soal dugaan pelanggaran HAM pemerintahan Xi di wilayah tersebut.

Sontak saja, banyak negara Barat juga menekan pemerintahan Xi yang dianggap telah melanggar hak dasar warga Uighur – mulai dari hak hidup hingga kebebasan untuk memeluk agama. Tidak hanya berhenti pada pernyataan protes, pemerintah Amerika Serikat (AS) bahkan juga menerapkan sanksi ekonomi pada individu-individu yang dianggap terlibat dalam tindakan opresif terhadap kelompok Uighur.

Narasi soal dugaan pelanggaran HAM Uighur ini juga sering mencuat pada tahun 2021 lalu setelah Joe Biden menjadi presiden. Tekanan ini sampai menimbulkan upaya saling balas narasi di antara perwakilan-perwakilan masing-masing negara di platform media sosial (medsos) seperti Twitter.

Dengan ketegangan yang panas pada isu ini, tentu saja menjadi menarik untuk diamati mengapa pemerintahan Xi pada akhirnya menampilkan ‘kebahagiaan’ yang tersalurkan melalui foto-foto kunjungan sang Sekjen PKT ke Xinjiang. 

Mengapa Xi akhirnya mengunjungi wilayah tersebut setelah delapan tahun tidak pernah menginjakkan kakinya di Xinjiang? Apa yang membuat kunjungan Xi ke wilayah kontroversial ini menjadi sinyal penting? Kemudian, mungkinkah ini berkaitan juga dengan konflik Rusia dan Ukraina yang dilancarkan oleh pemerintahan Vladimir Putin?

Rusia Di-bully di G20

Xi dan Biden Menuju Baikan?

Kunjungan Xi ke wilayah yang jadi kontroversi dalam politik internasional bukan tidak mungkin memiliki pesan diplomatik tertentu. Pasalnya, dalam hubungan internasional, praktik-praktik seperti ini biasanya juga memiliki maksud tertentu di baliknya. 

Setidaknya, penjelasan seperti inilah yang diungkapkan oleh Claudio A. Cioffi-Revilla dalam tulisannya berjudul Diplomatic Communication Theory: Signals, Channels, Networks. Diplomasi – baik itu fisik maupun verbal – merupakan bentuk komunikasi yang krusial di antara aktor-aktor politik internasional.

Baca juga :  Around the World in 15 Days

Bukan tidak mungkin, kunjungan Xi ke Xinjiang ini merupakan bentuk diplomasi yang tengah dilakukannya. Apalagi, pemerintahan Xi tampaknya sedang bernegosiasi alot dengan pemerintahan Biden di AS.

Di sela-sela pertemuan menteri luar negeri (Menlu) G20 pada awal Juli 2022 lalu, misalnya, Menlu Tiongkok Wang Yi dan Menlu AS Antony Blinken melakukan pertemuan bilateral. Dalam pertemuan tersebut, masing-masing pihak tampaknya mulai menemukan jalan tengah dan menyebut diskusi mereka sebagai hal yang konstruktif.

Dalam beberapa waktu ke depan, Biden dan Xi juga berencana untuk bicara pada akhir Juli nanti. Negosiasi AS-Tiongkok ini kabarnya akan membahas permintaan masing-masing pihak untuk meningkatkan hubungan dua negara besar tersebut.

Di AS, misalnya, muncul wacana agar pembatasan terhadap impor barang-barang Tiongkok mulai dikurangi. Bukan tidak mungkin, manuver Xi untuk mengunjungi Xinjiang ini juga berkaitan dengan negosiasi dua negara besar ini – mengingat isu HAM adalah isu yang menjadi perhatian Biden.

Namun, mengapa Xi lebih memilih untuk melakukan kunjungan ke Xinjiang? Mengapa tidak langsung saja menyampaikan maksud utama dalam pesan diplomatik kepada sasarannya?

Mengacu pada penjelasan Christer Jönsson dan Karin Aggestam dalam tulisan mereka berjudul Trends in Diplomatic Signalling, sinyal dan pesan yang disampaikan secara tidak langsung – dan bersifat non-verbal – seperti ini merupakan upaya untuk memunculkan ambiguitas konstruktif (constructive ambiguity).

India Akan Kalahkan Tiongkok

Tujuannya apa? Di bagian inilah faktor Putin di Rusia bisa jadi masuk. Pasalnya, dengan ambiguitas konstruktif dalam pesan-pesan diplomatiknya, Xi akhirnya bisa mempertahankan fleksibilitas dalam menjalankan politik luar negerinya.

Seperti yang diketahui, hubungan pemerintahan Putin di Rusia dan Xi di Tiongkok disebut-sebut menjadi semakin erat. Bahkan, sejumlah pengamat dan pakar politik internasional menyebutkan bahwa hubungan dua negara ini memasuki hubungan tererat sepanjang sejarah Rusia-Tiongkok – mengingat keduanya sama-sama melihat AS sebagai ancaman.

Namun, bila benar Tiongkok dan Rusia memasuki masa keemasan dalam hubungan mereka, mengapa pemerintahan Xi masih merasa perlu untuk berbicara dengan Biden? Bukannya AS justru dianggap jadi ancaman bersama oleh Putin dan Xi?

Putin Ternyata Jadi Beban?

Tentu, politik luar negeri yang dijalankan oleh pemerintahan Xi perlu berbagai pertimbangan. Tentu, langkah yang diambil oleh Tiongkok untuk membangun kembali hubungan dengan AS bukan tanpa alasan.

Setidaknya, ada tiga kemungkinan alasan yang bisa saja membuat Xi ingin menjalin hubungan yang lebih baik dengan AS – setelah beberapa tahun ini mengalami ketegangan. Bagaimana pun juga, sebelum Presiden AS ke-45 Donald Trump menjabat pada tahun 2016 silam, Tiongkok berusaha menjaga hubungan baiknya agar tetap bisa membangkitkan ekonominya secara damai (peaceful rise).

Pertama, Tiongkok dan AS bisa saja memiliki kepentingan yang sama (common interest) terkait situasi global saat ini. Seperti yang umum diketahui, konflik Rusia-Ukraina menciptakan ketidakpastian global – seperti krisis pangan dan energi serta inflasi global yang terus melonjak. 

Baca juga :  “Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Padahal, situasi ekonomi dan dagang yang stabil merupakan kepentingan Tiongkok agar bisa menjadi negara adidaya di kawasannya sendiri. Bukan tidak mungkin, kepentingan ini juga dimiliki oleh AS dan negara-negara Barat. Apalagi, Tiongkok juga membutuhkan hubungan yang baik dengan negara-negara Eropa sebagai mitra dagang besarnya.

Dengan hubungan yang stabil dengan AS dan Barat, Tiongkok bisa mengembangkan perdagangan dan investasinya sekaligus mendapatkan akses yang lebih luas terhadap teknologi yang dimiliki negara-negara tersebut. Namun, di tengah situasi global yang semakin tidak pasti akibat konflik Rusia-Ukraina, Tiongkok bisa saja membutuhkan stabilitas itu kembali – setelah beberapa tahun ini menjalankan diplomasi yang asertif.

Biden dan Xi Mau Baikan

Kedua, Tiongkok dan Rusia memiliki kecurigaan terhadap satu sama lain – bahkan telah eksis sejak era Perang Dingin. Bukan rahasia lagi bahwa terjadi “perceraian” antara pemerintahan Mao Zedong dan Nikita Khrushchev kala itu akibat perbedaan pandangan dan ideologi.

Alhasil, AS pun memanfaatkan momentum ini. Dengan gagasan dari mantan Menlu AS Henry Kissinger, AS menjalankan diplomasi segitiga (triangular diplomacy) guna menciptakan keseimbangan kekuatan (balance of power) yang baru – yang mana dibagi menjadi tiga kekuatan besar.

Rasa saling curiga inipun berlanjut hingga saat ini. Sebagai dua kekuatan nuklir besar – mengacu pada buku Sarah Kirchberger, Svenja Sinjen, dan Nils Wörmer yang berjudul Russia-China Relations: Emerging Alliance or Eternal Rivals? – Rusia dan Tiongkok merasa perlu waspada kepada satu sama lain. Selain itu, banyak juga insiden perbatasan yang membuat dua negara ini merasa tidak aman terhadap satu sama lain.

Ketiga, kapabilitas ekonomi Rusia yang semakin tidak relevan bagi Tiongkok. Meski masih bisa dibilang menjadi kekuatan besar, tidak dapat dipungkiri bahwa Rusia merupakan kekuatan yang melemah (declining power).

Situasi yang dialami Rusia ini dapat dilihat dari stagnasi perekonomiannya. Mengacu pada tulisan di ChinaPower yang berjudul What Are the Weaknesses of the China-Russia Relationship?, nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok diprediksi akan meningkat hingga 66,8 persen menjadi USD29,13 triliun (±Rp435,9 kuadriliun) pada tahun 2027 dari USD17,46 triliun (±Rp261,3 kuadriliun) pada tahun 2021. 

Sementara, nilai PDB Rusia akan tetap stagnan di USD1,8 triliun (Rp26,9 kuadriliun) pada tahun 2027. Padahal, pada tahun 2021, nilai PDB Rusia juga berada di kisaran USD1,78 triliun (Rp26,6 kuadriliun). Nilai PDB ini menjadi sangat tidak signifikan di mata Tiongkok.

Bukan tidak mungkin, faktor-faktor ini membuat Rusia hanya menjadi beban bagi politik luar negeri Tiongkok dalam jangka panjang. Beban ini bisa saja membuat Tiongkok meninggalkan Rusia sebagai mitra utamanya – apalagi bila pemerintahan Putin tetap ngotot dengan status negaranya sebagai ‘kekuatan besar’.

Pada akhirnya, dalam beberapa tahun ke depan, bukan tidak mungkin ‘cinta segitiga’ antara Rusia, Tiongkok, dan AS seperti pada era Perang Dingin akan terbangun lagi. Namun, ada satu hal yang perlu diingat, perlombaan ‘cinta’ dalam politik internasional bukanlah hanya persoalan ‘perasaan’ semata, melainkan juga persoalan siapa yang bisa diajak maju bersama ke depannya. (A43)


spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Dompet Berjalan Presiden RI? #PART2

Part 2 udah ya gaes. Siapa nih nama yang kelupaan mimin sebut? Share di kolom komentar ya!

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?