Site icon PinterPolitik.com

Putin-Biden Perang di Arktik?

Biden-Putin Perang di Arktik?

Presiden AS Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin (foto: Anadolu Agency)

Wacana keanggotaan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Finlandia dan Swedia menjadi topik yang sangat penting bagi Rusia karena itu dapat mengancam posisi mereka di Laut Arktik. Sebenarnya seberapa penting wilayah lautan es ini?


PinterPolitik.com

Perang yang terjadi di Ukraina sejak 24 Februari silam seakan menjadi pembenaran bagi banyak negara-negara Eropa untuk memperkuat kepastian pertahanannya. 

Terkait hal itu, mungkin yang menjadi buah bibir saat ini adalah wacana bergabungnya Finlandia dan Swedia ke Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Ya, Finlandia dan Swedia memang merupakan negara yang tidak hanya berbatasan darat langsung dengan wilayah utara Rusia, tetapi juga sangat dekat dengan pesisir Negeri Beruang Putih.

Karena itu, rasanya wajar bila dua negara ini “paranoid” dan akhirnya melakukan keputusan besar untuk bergabung dengan geng Amerika Serikat (AS) demi menyelamatkan diri sendiri.

Dari sisi Rusia, jelas Presiden Vladimir Putin menganggap gerakan ini sebagai potensi ancaman karena, jika menjadi anggota NATO, Barat bisa membangun instalasi-instalasi militer yang menjadi bahaya langsung bagi pertahanan Rusia.

Menanggapi permintaan tolong Finlandia dan Swedia, Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO Jens Stoltenberg mengatakan pihaknya dengan senang hati akan mempermudah sekaligus  mempercepat proses bergabung ke NATO. Lalu, Presiden AS Joe Biden juga mengatakan AS akan “kawal” keanggotaan dua negara Skandinavia tersebut.

Pernyataan Stoltenberg dan Biden tentu menarik mengingat perlakuan hangat penerimaan anggota baru tidak berlaku bagi negara-negara Eropa Timur.

Taruhlah Georgia misalnya, yang semenjak 1994 sudah melirik NATO tapi sampai sekarang belum juga bergabung, dan tentu, kita tidak bisa tidak menyebut Ukraina yang sejak beberapa tahun sebelum Rusia menyerang sudah memohon-mohon dijadikan anggota NATO.

Lantas, mengapa Finlandia dan Swedia diperlakukan khusus oleh NATO?

Laut Arktik, “Tumit Achilles” NATO?

Arktik adalah satu-satunya lautan yang menghubungkan langsung perbatasan Rusia dan AS. Mungkin kalau kita lihat dari peta dunia horizontal secara umum, Laut Arktik yang terletak di utara Bumi terlihat cukup jauh memisahkan AS dan Rusia, namun kalau kita lihat peta Kutub Utara seperti di bawah ini, kita akan menyadari bahwa kedua negara tersebut ternyata terlihat sangat berdekatan. 

Meski tampak terbuka di peta, selama ini tensi geopolitik di Arktik masih bisa cukup teredam karena faktor alam. Seperti yang diketahui, Laut Arktik saat ini sebenarnya bukanlah sebuah “lautan lepas”, melainkan berisikan pegunungan-pegunungan es yang menjadi benteng alami bagi negara-negara Barat maupun Rusia sendiri. 

Laut Arktik dari utara

Namun, seiring semakin berkembangnya pemanasan global, benteng-benteng itu akhirnya mulai meleleh dan mengeksposkan sejumlah wilayah laut yang sebelumnya tidak bisa diakses. Ini artinya, di masa depan akan semakin banyak jalur perdagangan sekaligus instalasi-instalasi militer yang perlu dibangun demi menjaga pertahanan laut di sana.

Prospek ini yang membuat Putin perlu menganggap Laut Arktik sebagai wilayah yang harus bisa diamankan oleh negaranya. Secara geografis, Rusia memiliki 53 persen dari total Lautan Arktik, ini adalah keunggulan geografis dari Negeri Beruang Putih.

Jika Rusia mendahului NATO dalam menancapkan pengaruhnya di Arktik, itu akan menguatkan argumen Rusia di kemudian hari bila nantinya dibangun sebuah perjanjian internasional yang terdedikasikan untuk mengatur siapa-siapa saja yang berhak berkuasa di Arktik.

Dan hal ini yang sebenarnya sedang dilakukan Rusia sejak beberapa tahun ke belakang. Menurut survei yang dilakukan Guggenheim Partners, Rusia adalah negara terbanyak yang mendirikan proyek di Laut Arktik, dengan total sekitar 250 proyek, sementara AS hanya 100 proyek.

Rusia pun dipercaya telah menyiapkan kocek sekitar US$ 300 miliar untuk pengembangan wilayah Arktiknya. Angka ini jauh lebih tinggi dari rencana investasi AS di Arktik yang diperkirakan hanya sekitar US$100 miliar dolar. Segalanya dilakukan Rusia untuk menguak kekayaan tersembunyi yang tersimpan di Arktik selama jutaan tahun di bawah lapisan es.

Eric Roston dalam artikelnya di laman Bloomberg yang berjudul How a Melting Arctic Changes Everything menyebutkan bahwa wilayah Arktik menyimpan tidak hanya tambang minyak bumi, tetapi juga emas, perak, uranium. Kekayaan yang tersimpan di Arktik pun diperkirakan total nilainya adalah lebih dari US$35 triliun dolar.

Karena itu, tidak heran bila Rusia selama ini terus memperkuat kehadiran militernya di perbatasan Arktik.

Eugene Rumer dan Richard Sokolsky dalam artikel Russia in the Arctic – A Critical Examination, mengatakan bahwa meski sulit untuk menyebut secara persis sudah seberapa besar keberadaan militer Rusia di Arktik, angkatan udara dan angkatan laut Rusia selama ini dianggap telah mengintimidasi negara-negara NATO di sisi utara Eropa, spesifiknya adalah pulau Spitsbergen di wilayah Norwegia.

Rusia bahkan seringkali melakukan manuver provokatif; seperti ketika Putin mengirim 3 kapal selam nuklirnya untuk berkeliling Kutub Utara pada 2021 silam. Sokolsky dan Rumer mengatakan taktik-taktik agresif yang dilakukan Rusia di Arktik telah mengganggu operasi angkatan laut dan udara AS di lepas pantai Alaska. Intimidasi ini dapat terjadi karena kekuatan AS dan NATO di Arktik memang tidak dipungkiri lebih lemah dari Rusia.

Karena hal ini, James Wither, pengamat pertahanan dari European Center for Security Studies menilai bahwa wilayah Arktik sesungguhnya adalah Achilles’ Heel atau tumit Achilles NATO. Istilah ini umumnya digunakan untuk menggambarkan kelemahan dari satu sosok kuat yang bila dieksploitasi oleh musuhnya dapat mengakibatkan kekalahan yang fatal.

Meski NATO secara keseluruhan terlihat kuat, lemahnya pengaruh mereka di Arktik dapat menjadi variabel yang dapat dieksploitasi oleh Rusia untuk mendapatkan keunggulan dari Barat, baik itu secara politik maupun ekonomi.

Dengan demikian, pantas bila NATO akan sangat antusias bila Finlandia dan Swedia bergabung, karena dengan itu NATO dapat menambal kelemahan pengaruhnya di bagian utara Eropa.

Namun, meski apa yang sudah dilakukan Rusia di Arktik tetap menjadikan mereka sebagai negara yang dominan di samudera ke-5 dunia itu, kita tidak boleh munafik juga bahwa jika konfrontasi langsung terjadi di Arktik, Rusia akan tetap kalah dari NATO yang memiliki lebih banyak kekuatan militer.

Lantas, adakah alasan lain kenapa Putin perlu menjaga dominasi di Arktik selain untuk berkonfrontasi dengan NATO?

Masa Depan Putin ada di Utara?

Ilmuwan politik Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics mengenalkan teori yang disebut defensive neorealism. Teori ini meyakini bahwa di era pasca-Perang Dunia, upaya yang dilakukan sebuah negara untuk mendapatkan keunggulan kekuatan bukanlah digunakan untuk tujuan menyerang, melainkan untuk mempertahankan diri dan menjamin eksistensinya.

Pandangan ini sangat tepat kita gunakan untuk mencari jawaban kenapa perseteruan geopolitik di Arktik penting bagi Rusia, dan juga NATO. Grant Piper dalam tulisannya Russia Has a Massive Geographic Problem That Drives Its Foreign Policy menjelaskan bahwa secara umum ekspansi yang dilakukan Rusia tidak pernah bertujuan menjadikan mereka sebagai kekuatan hegemon.

Apa yang dilakukan Rusia dalam aneksasi Krimea, Ukraina, dan penguatan pengaruh di Arktik, murni berangkat dari permasalahan geografisnya, yakni kesulitan mendapat akses ke kekayaan maritim dan memiliki jalur perdagangan yang aman.

Pelabuhan Saint Petersburg, pelabuhan utama yang digunakan Rusia untuk perdagangan maritim dan akses ke Moskow, terletak di posisi yang sangat berbahaya. Jika kita melihat peta, kita akan menyadari bahwa bila Finlandia dan Swedia menjadi anggota NATO, itu artinya akses perdagangan laut Rusia ke Samudera Atlantik akan sangat berada dalam cengkeraman Barat.

Pelabuhan Saint Petersburg

Tidak hanya itu, kalau kita lihat bagian Timur, jalur perdagangan Rusia yang dilakukan melalui Samudera Pasifik, dan juga ke Samudera Hindia, perlu melewati dua sekutu AS, yakni Jepang dan Korea Selatan.

Maka dari itu, adalah harga mati bagi Putin untuk mendapatkan keunggulan politik di Laut Arktik, bila masa depan negaranya tidak ingin jatuh ke tangan NATO dan kubu Barat. 

Pada akhirnya, semua ini membuat kita perlu berkaca pada teori heartland yang disampaikan Halford Mackinder. Teori ini menjelaskan bahwa dalam setiap zaman selalu ada lokasi-lokasi tertentu di dunia yang akan menjadi pusat pertarungan kepentingan. Selama ini, banyak yang mengartikan bahwa Laut China Selatan (LCS) adalah heartland dunia modern, di mana banyak negara yang menganggap wilayah itu penting.

Namun, melihat negara anggota yang terlibat langsung dalam perseteruan di Arktik, di mana perselisihan tampak nyata terjadi antara AS dan Rusia, tanpa menggunakan proksi layaknya Suriah di Timur Tengah atau negara-negara Asia Tenggara di LCS, lalu juga potensi sumber daya yang begitu besar, bukan tidak mungkin heartland modern justru sesungguhnya ada di Laut Arktik.

Pada akhirnya, tentu ini semua hanya interpretasi belaka. Tapi bila benar Arktik akan menjadi tempat perseteruan para raksasa di masa depan, maka kita perlu terus mewaspadai eskalasi konflik di Arktik dan Skandinavia untuk menakar potensi terjadinya Perang Dunia 3. Semoga saja itu tidak akan pernah terjadi. (D74)

Exit mobile version