Perang Rusia-Ukraina hingga saat ini masih berlangsung. Sebagai negara yang sangat dekat dengan Rusia, publik menyoroti dampaknya pada Tiongkok. Apakah perang ini membawa keuntungan? Atau justru menyakiti Xi Jinping?
Meski tidak terlibat langsung dalam konflik, Tiongkok menjadi salah satu negara yang paling disorot setelah perang meletus di Ukraina pada 24 Februari silam. Posisinya sebagai negara yang secara geografis maupun politik dekat dengan Rusia mendapat lirikan sinis banyak negara-negara Barat.
Pada 29 Juni lalu misalnya, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam pertemuannya di Madrid, Spanyol, menetapkan Tiongkok sebagai rival dan tantangan bagi keamanan kolektif aliansi negara-negara Barat tersebut, ini menjadi pertama kalinya Tiongkok dianggap demikian oleh Amerika Serikat (AS) dan gengnya.
Padahal, sebelumnya banyak pengamat yang mengira konflik Eropa Timur ini akan menguntungkan negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping.
Salah satunya adalah opini berjudul China’s benefit from the Russian-Ukrainian war dari pengamat internasional Universitas Beni Suef, Dr. Nadia Hemly. Ia melihat, karena Rusia semakin tertutup dari pasar global, Presiden Vladimir Putin akan mencari bantuan ke Tiongkok, dan itu akan sangat menguntungkan Negeri Tirai Bambu secara ekonomis.
Lalu, pandangan NATO akan difokuskan pada Ukraina, ini membuat Tiongkok bisa mendapat sedikit celah untuk mengambil tindakan yang lebih agresif pada salah satu wilayah paling bermasalah di Asia Timur, yakni Taiwan.
Kecanggungan kepemimpinan NATO juga tadinya diprediksi akan dieksploitasi Tiongkok sebagai bukti bahwa eksistensi pakta pertahanan Barat sudah tidak lagi dibutuhkan, apalagi di Asia. Ini kemudian akan dipakai sebagai bahan kampanye untuk menolak supremasi negara-negara Barat.
Namun, karena konflik Ukraina sudah berlangsung lebih dari tiga bulan, kita bisa perlahan-lahan mendapatkan kepastian tentang untung dan rugi yang didapatkan Tiongkok akibat perang ini.
Lantas, benarkah Tiongkok dan Xi Jinping diuntungkan oleh Perang Ukraina? Atau justru sebaliknya?
Ambisi Xi Jinping Kandas Karena Ukraina?
Ketika kita bicara tentang kancah Tiongkok di politik internasional, tentu kita juga perlu membahas tentang proyek terbesarnya, yaitu Belt and Road Initiative (BRI), yang juga sering disebut One Belt One Road (OBOR).
BRI ini adalah megaproyek pembangunan infrastruktur global yang melibatkan setidaknya 152 negara dari Benua Asia, Afrika, Amerika Latin, hingga Eropa. Singkatnya, proyek ini berusaha menciptakan jalur sutera baru yang diharapkan dapat mengintegrasikan kekuatan ekonomi negara-negara yang dilaluinya.
Beberapa fitur utama BRI yang pantas disorot di antaranya adalah pembangunan infrastruktur transportasi Jembatan Darat Eurasia (penghubung Tiongkok-Rusia-Eropa), Koridor Asia Tengah (Tiongkok-Asia Tengah-Eropa Timur), dan Jalur Sutera Maritim (negara-negara Samudera Hindia dan Teluk Arab).
Terkait dampak konflik Ukraina, megaproyek yang juga jadi mimpi Besar Xi Jinping ini ternyata sangatlah dirugikan. Mengapa? Well, ada tiga alasan.
Pertama, menguatnya sentimen anti Tiongkok-Russia di Eropa dan berbagai belahan dunia. Akibat konflik Ukraina, banyak negara kini menjauhi Rusia baik dari aspek ekonomi maupun politik, hal serupa juga diduga akan terjadi pada Tiongkok.
Yunis Sharifli dalam analisisnya yang berjudul Russia-Ukraine war: Opportunity or threat for China? menilai bahwa invasi yang dilakukan Rusia ke Ukraina juga menimbulkan kebencian dan ketakutan pada Tiongkok karena negara itu selama ini dikenal sebagai “teman dekat” Rusia.
Meski AS dan Barat belum menjatuhkan sanksi yang sama pada Tiongkok, banyak negara takut akan mendapat imbas yang sama jika suatu waktu Joe Biden dan kawan-kawan menganggap Tiongkok sebagai musuh. Ini tentu berdampak besar pada kelangsungan proyek BRI yang memiliki tujuan besar mencapai pasar Eropa.
Karena itu, untuk beberapa tahun ini sepertinya pintu gerbang Eropa pada megaproyek infrastruktur Tiongkok itu sepertinya akan tertutup.
Kedua, kedekatan Rusia pada Tiongkok justru membuat sikap politik internasional Negeri Tirai Bambu semakin canggung. Seperti yang sudah ditulis dalam artikel PinterPolitik berjudul Putin Cuma Bisa Jadi Beban, situasi ekonomi yang memburuk kini mulai berdampak global, termasuk pada Tiongkok. Padahal, situasi ekonomi dan dagang yang stabil merupakan kepentingan Tiongkok agar bisa menjadi negara adidaya di kawasannya sendiri.
Kemudian, ketergantungan ekonomi Rusia pada Tiongkok bisa juga malah menjadi beban. Peter Piatetsky, CEO Castellum AI, sebuah perusahaan konsultan finansial yang juga berfokus pada dampak sanksi ekonomi internasional dalam artikel hasil wawancaranya Why China Won’t Rescue Russia’s Flailing Economy, menilai bahwa Rusia semakin hari semakin tidak bisa menawarkan keuntungan ekonomi pada Tiongkok.
Tiongkok bisa saja membeli surplus minyak bumi Rusia, tetapi mereka tidak bisa dengan seenaknya menurunkan impor minyak dari berbagai negara lain seperti Arab Saudi dan AS, hanya demi Rusia. Kalaupun memang dipaksa, Tiongkok tidak lain hanya akan berperan sebagai penyokong kehidupan Rusia, dan jangka panjangnya itu bisa menyakiti perekonomian Tiongkok.
Dan Tiongkok tidak dapat berbuat banyak. Jika Xi ingin mengutuk serangan Rusia, maka bisa saja Tiongkok justru malah memancing kekesalan Vladimir Putin. Tentunya, sangat rasional jika Xi tidak ingin bertaruh pada itikad baik Vladimir Putin, karena secara historis Rusia memang pernah memiliki rivalitas dengan Tiongkok, seperti ketika era Mao Zedong dan Nikita Khrushchev. Perang dengan tetangga sendiri adalah sesuatu yang harus dihindari sebisa mungkin.
Ketiga, dengan meletusnya Perang Ukraina, dunia seakan mendapatkan wakeup call atau panggilan kesadaran bahwa konflik bersenjata ternyata masih sangat mungkin terjadi. Hal itu membuat negara-negara semakin was-was pada titik geografis lain yang juga berpotensi menjadi panas, seperti Laut China Selatan (LCS) dan Taiwan.
Menariknya, AS sepertinya menyadari fenomena tersebut tengah menyebar di dunia, karena itu Paman Sam sekarang semakin berani memantapkan posisi politiknya terhadap pembelaan demokrasi Taiwan.
Dan tidak hanya pendekatan ke Taiwan. Paska invasi Rusia, AS dan NATO kini juga memperkuat ikatannya dengan para sekutu di kawasan Asia, seperti Jepang, Korea Selatan (Korsel), hingga India. Ini artinya, Perang Ukraina telah digunakan Barat sebagai justifikasi untuk mencengkram Tiongkok sehingga jika Xi berani bertindak “nakal”, ia secara spontan akan disergap sekutu-sekutu Barat di Asia.
Jika interpretasi ini benar, maka mungkin saja dalam jangka panjang Tiongkok memiliki penderitaan yang tidak jauh berbeda dengan Rusia akibat serangan yang dilakukannya ke Ukraina. Dan yang paling utama, mimpi Xi Jinping untuk membawa proyek BRI ke Eropa mungkin tidak akan terwujudkan.
Lantas, apakah ini semua terjadi secara tidak sengaja atau justru ada agenda politik di baliknya?
Putin, Musuh Dalam Selimut?
Di bagian tengah tulisan ini disebutkan bahwa sempat terdapat rivalitas antara Rusia dan Tiongkok ketika masa Perang Dingin. Well, tidak hanya ketika Perang Dingin, dua negara besar ini memiliki sejarah persaingan yang setidaknya bisa ditarik ke era Dinasti Qing pada abad ke-17, ketika Kerajaan Tiongkok dan Kekaisaran Rusia berebut wilayah Siberia.
Karena catatan historis menunjukkan bahwa Tiongkok dan Rusia tidak selalu berteman, Csaba Barnabas Horvath dalam artikelnya Was China Betting on Russian Defeat All Along?, menilai bahwa upaya Putin dan Tiongkok untuk mempererat hubungannya beberapa waktu terakhir ini adalah sebagai kompromi agar kedua negara tidak “menyerang” atau tidak mengintervensi agenda politik masing-masing.
Barnabas juga mengatakan bahwa dalam aliansi ini, Rusia, dengan segala harga dirinya, selalu berusaha agar tidak menjadi “junior” yang bisa didikte seenaknya oleh Tiongkok. Konsekuensi geopolitik bila salah satu pihak saja dalam persahabatan ini terlihat lebih kuat dari lawannya akan begitu besar, terlebih lagi Tiongkok saat ini memiliki peningkatan ekonomi yang jauh lebih tinggi dari Rusia.
Dengan kekuatan yang bisa mendominasi Rusia, Tiongkok bisa saja mencaplok wilayah Siberia yang selama memang tetap menjadi incaran Tiongkok karena kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah.
Oleh karena itu, meski interpretasi ini sifatnya spekulatif, masuk akal bila Putin menggunakan serangannya ke Ukraina untuk menghambat Tiongkok menjadi tetangga yang terlalu kuat. Dengan serangan ini, Putin juga ikut menyeret Tiongkok ke dalam kolam sentimen negatif yang dijatuhkan seluruh negara di dunia pada Rusia.
Persaingan seperti ini sebenarnya memiliki relevansi dengan teori balance of power atau keseimbangan kekuatan dalam studi hubungan internasional. Charles W. Kegley dalam bukunya World Politics: Trends and Transformation, mengatakan bahwa jika ada satu negara memiliki keunggulan dari negara yang lain, maka negara tersebut akan menggunakan kekuatannya untuk mengambil keuntungan dari tetangganya yang lebih lemah.
Untuk mencegah hal itu, negara yang tertekan akan meningkatnya kekuatan rivalnya -dalam hal ini Rusia-, akan terdorong untuk menciptakan aliansi dengan kekuatan besar tersebut dengan harapan dapat menetralisir ancaman dengan menciptakan saling ketergantungan.
Dengan logika demikian, hancurnya mimpi Xi Jinping menjadi pemain besar internasional akibat serangan Ukraina bisa jadi memang upaya Rusia untuk menjaga keseimbangan kekuatan di Bumi Timur.
Pada akhirnya, kita harap saja permainan politik besar ini tidak berubah menjadi sesuatu yang lebih berbahaya, dan semoga saja konflik di Ukraina bisa berakhir dengan secepat mungkin. (D74)