Beberapa saat lalu, Wagner Group yang merupakan kelompok tentara bayaran di Rusia resmi menghentikan upaya kudeta mereka. Sebelumnya, mereka secara mengejutkan berbalik “menyerang” Rusia, dan sempat menduduki beberapa kota seperti Rostov. Lantas, kenapa upaya kudeta ini “tiba tiba” dibatalkan? Dan lebih penting lagi, kenapa Wagner Group memutuskan untuk melakukan kudeta sebelumnya?
“Setiap perbedaan pendapat atau pertentangan politik hendaknya diselesaikan secara musyawarah dan damai” , Prabowo Subianto
Tindakan mengejutkan diambil oleh kelompok pasukan bayaran di Rusia, Wagner Group di bawah pimpinan mereka, yakni Yevgeny Prigozhin. Mereka tiba-tiba mengambil tindakan untuk berbalik menyerang Rusia. Mereka sendiri menamakan pergerakan mereka ini sebagai “pawai keadilan”, bukan sebuah kudeta atau pemberontakan.
Pergerakan ini sendiri dimaksudkan untuk menyingkirkan Jenderal Rusia yang dianggap tidak becus, menurut Prigozhin. Selain itu, ia juga menuntut agar Menteri Pertahanan (Menhan) Rusia, Sergei Shoigu, untuk dipecat dari jabatannya, termasuk juga Kepala Staf Umum, Valery Gerasimov.
Meski Wagner Group telah menarik diri dan upaya kudeta ini telah dihentikan, upaya ini tetap menjadi ancaman paling serius bagi Presiden Rusia, Vladimir Putin, sejak ia berkuasa. Pergerakan yang menggunakan logo “Z” berwarna merah di kendaraan tempurnya ini telah membawa ancaman perang saudara yang serius di Rusia.
Lantas, kenapa Wagner Group sampai memutuskan untuk berbalik “menyerang” Rusia? Motivasi dan alasan apa yang melatarbelakanginya? Dan apakah ada kekuatan eksternal yang mendorongnya?
Akibat Kecewa dan Putus Asa?
Wagner Group sendiri bukan sebuah entitas baru di Rusia. Karena kelompok tentara bayaran ini telah berdiri sejak 2014, dan pemimpinnya, yakni Yevgeny Prigozhin, juga dikenal sebagai seorang loyalis Putin, dan bahkan sempat diberi julukan “koki Putin”.
Wagner Group telah ikut dalam beberapa operasi militer yang dilakukan Rusia, salah satunya adalah aneksasi Krimea. Sementara di Suriah, sebagai upaya dukungan bagi rezim Al-Assad, tercatat Wagner Group bersama dengan pasukan reguler Rusia dikerahkan ke sana.
Sementara itu, dalam invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai sejak tahun lalu, pasukan Wagner disebut telah menerjunkan hingga 50 ribu pasukan untuk ikut berpartisipasi. Salah satunya adalah dalam pertempuran Bakhmut, di mana mereka menderita hingga puluhan ribu korban. Dan kini kontrol atas Bakhmut telah dialihkan ke pasukan militer Rusia.
Sejauh ini, tindakan “pengkhianatan” Wagner yang batal dinilai bukan karena pengaruh dari kekuatan eksternal. Hal ini murni sebagai keputusan dari Prigozhin itu sendiri, sebagai akibat dari konfliknya dengan pimpinan militer Rusia.
Prigozhin sendiri sebelumnya sempat mengkritik militer Rusia yang tidak memberi pasukannya cukup amunisi dan perbekalan. Selain itu, Prigozhin juga beberapa kali mengkritik pasukan militer Rusia, mulai dari ketidakbecusan, kurang koordinasi, hingga fenomena tentara militer Rusia yang kabur dari garis depan. Namun, puncak dari itu semua adalah ketika pasukan Rusia, yang diklaim Prigozhin, menyerang posisi pasukan Wagner.
Bagi Prigozhin, pasukan militer Rusia telah membunuh banyak anak buahnya lewat serangan yang disengaja. Oleh karena itu, ia menjalankan operasi ini untuk menyingkirkan kekuatan militer dari kekuasaan.
Menurut lembaga think tank yang berpusat di Washington, Institute for Study of the War (ISW), tindakan Wagner ini memang bermaksud untuk melawan Kementerian Pertahanan (Kemhan) Rusia. Sementara, menurut pengamat politik Rusia di Virginia, Michael Kofman, keputusan Prigozhin untuk melancarkan upaya kudeta ini adalahsebuah bentuk kekecewaan dan putus asa.
Hal ini karena adanya ketidaksepahaman antara Wagner dan pasukan militer Rusia dalam invasi ke Ukraina, yang dapat terlihat dari beberapa pernyataan kontroversial dan drama yang ada.
Jika berkaca pada sejarah, upaya kudeta Wagner ini bisa diasumsikan miripsebuah bentuk sejarah yang berulang, meskipun hasilnya berbeda. Lalu, sejarah apakah itu?
Siklus Sejarah Rusia?
Peristiwa pemberontakan Wagner kemarin di satu sisi mengingatkan kita pada kondisi serupa yang pernah terjadi dalam sejarah Rusia.
Rusia sendiri, ketika masih berbentuk Kekaisaran Rusia, mengalami keruntuhannya lewat revolusi yang dikenal dengan nama Revolusi Bolshevik. Revolusi ini membuat Kekaisaran Rusia runtuh dan digantikan oleh negara bernama Uni Soviet.
Revolusi Bolshevik sendiri terjadi mirip dengan kondisi yang dialami oleh Rusia saat ini. Jika saat ini Rusia sedang dalam proses invasi ke Ukraina, saat itu Kekaisaran Rusia sedang dalam kondisi berpartisipasi dalam Perang Dunia I. Hal tersebut turut berperan penting dalam “kesuksesan” dari Revolusi Bolshevik tersebut.
Dan kondisi di atas kembali terulang saat keruntuhan dari Uni Soviet itu sendiri. Meski sedikit berbeda, tapi perang menjadi faktor utama dari keruntuhan Soviet saat itu. Tepatnya adalah kampanye perang mereka di Afghanistan, yang membawa implikasi serius dalam bidang politik dan ekonomi.
Memang, kondisi pada pemberontakan atau upaya kudeta yang gagal saat ini memiliki perbedaan situasi dan kondisi. Hal paling utama adalah karena keterbatasan anggota dari Wagner itu sendiri. Sehingga tidak mungkin berhasil upaya atau strategi untuk menggulingkan kekuasaan, dan sepertinya memang mereka tidak pernah bertujuan seperti itu.
Menurut ISW, tuntutan dari Prigozhin atau Wagner sendiri tidak masuk akal bagi Putin. Meski Prigozhin dan Putin sendiri dekat, namun keberadaan Sergei Shoigu dan Valery Gerasimov dalam hierarki kekuasaan sangat penting bagi Putin, sehingga bisa menjamin kekuasaannya.
Sehingga, jika Wagner bersikeras untuk tetap melanjutkan upaya kudeta mereka, maka mereka hanya menggali lubang kubur mereka sendiri. Karena baik dari segi kualitas dan kuantitas pasukan mereka masih kalah dari pasukan militer Rusia.
Terlebih, kondisi psikologis rakyat Rusia sendiri mayoritas tidak pernah mendukung upaya kudeta ini. Meski di tengah sanksi Barat dan dalam kondisi perang, tapi kehidupan masyarakat di sana tidak “seburuk” itu. Oleh karena nya, Wagner juga tidak akan mendapat dukungan dari masyarakat dari operasi mereka ini.
Well, peristiwa ini sendiri adalah sebuah “konflik” biasa antara para elit dan petinggi negara. Meski telah memasuki “babak” baru di mana Rusia hampir masuk ke dalam kondisi perang saudara di tengah perang dengan Ukraina, tapi sejatinya tindakan Prigozhin hanya ingin mendapat sebuah tujuan tersendiri dari hal ini.
Terlepas dari apa penyebabnya, siapa yang bersalah, dan siapa yang bertanggung jawab, hal paling penting tentu adalah semoga perdamaian selalu terjaga di sana. Dan bisa mendorong percepatan perdamaian antara Rusia vs Ukraina. Karena sejatinya kedua negara tersebut adalah serumpun, seperti Indonesia dan Malaysia. Maka selayaknya mereka bisa bekerja sama dan hidup berdampingan, seperti saudara dan tetangga. (R87)