Kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi ke Republik Tiongkok (Taiwan) menimbulkan gejolak geopolitik yang disebut bisa menimbulkan konflik bersenjata di kawasan Asia-Pasifik antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan AS. Namun, apakah benar perang tersebut bisa terjadi dalam beberapa waktu ke depan?
“You’ll see, Peter. People… need to believe. And nowadays… they’ll believe anything” – Quentin Beck (Mysterio), Spider-Man: Far From Home (2019)
Perkataan-perkataan yang dilontarkan oleh Quentin Back alias Mysterio dalam film Spider-Man: Far From Home (2019) mungkin akan sulit untuk bisa dipercaya – apalagi bagi mereka yang telah mengenal alur cerita dalam film itu.
Namun, dialog terakhir sebelum akhirnya Mysterio tewas setelah melawan Peter Parker (Spider-Man) bisa jadi benar. Di adegan tersebut, Mysterio menjelaskan kepada Spider-Man bahwa orang-orang membutuhkan sesuatu untuk dipercaya – dan saat ini semua orang bisa percaya apapun pada informasi yang mereka terima.
Secara tidak langsung, apa yang disebutkan oleh Mysterio di adegan tersebut turut mencerminkan apa yang tengah terjadi di dunia nyata, khususnya di era kontemporer saat ini. Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, informasi justru sangat melimpah.
Alhasil, dengan kelimpahan informasi, banyak orang justru kesulitan membedakan informasi yang benar – melahirkan apa yang disebut sebagai misinformasi. Banyak orang akhirnya tidak mendapatkan informasi yang benar.
Namun, pemberian informasi yang tidak sepenuhnya benar ini bisa saja disengaja – disebut sebagai disinformasi. Disinformasi bisa saja dilakukan karena ada kepentingan politik tertentu di baliknya – katakanlah untuk mempengaruhi diskursus politik internasional.
Diskursus terkait persaingan geopolitik antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT/Tiongkok) dan Amerika Serikat (AS), misalnya, juga menjadi arena perebutan untuk memenangkan hati dan pikiran masyarakat global. Tidak jarang, AS menuding Tiongkok telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) – seperti di Xinjiang.
Tidak hanya di Xinjiang, narasi untuk melindungi demokrasi dan HAM juga muncul dalam diskursus terkait kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Repulik Tiongkok (Taiwan). Politikus Partai Demokrat AS tersebut bahkan berjanji bahwa komitmen AS untuk menjaga demokrasi di Pulau Formosa – dan di mana pun – tetaplah ironclad alias kuat.
Namun, bila komitmen Pelosi disambut baik oleh pemerintahan Tsai Ing-wen di Taiwan, tanggapan yang sangat kontras justru datang dari pemerintahan Xi Jinping di RRT. RRT pun langsung mengadakan sejumlah operasi militer di sekitar Taiwan – termasuk dengan menembakkan rudal Dongfeng ke Selat Taiwan.
Banyak pihak pun mulai khawatir bahwa perang terbuka akan meletus antara AS-Taiwan dan RRT. Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi, misalnya, meminta berbagai pihak untuk tidak melakukan provokasi yang bisa berujung pada perang terbuka.
Namun, pertanyaannya yang kemudian perlu dijawab adalah apa alasan strategis yang mendorong kedua negara adidaya ini untuk berkonflik di Taiwan. Mengapa Taiwan begitu penting bagi AS maupun RRT?
Taiwan yang Diperebutkan
Sengketa atau perdebatan soal Taiwan ini sebenarnya telah terjadi sejak lama, yakni sejak sekitar pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1949, revolusi besar terjadi di Tiongkok daratan – yakni perang sipil antara Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Kuomintang (KMT) yang menjadi penguasa di Republik Tiongkok pra-Revolusi 1949.
Namun, KMT akhirnya harus dipukul mundur hingga hanya memegang sejumlah wilayah di Provinsi Fujian dan Taiwan. Migrasi pun disebut juga terjadi ke Taiwan – membangun pemerintahan Republik Tiongkok yang berpusat di Taipei.
Sementara, di Tiongkok daratan, PKT mendirikan RRT – membuat negara-negara lain mengakui RRT sebagai satu-satunya Tiongkok secara de facto dan de jure di panggung internasional. AS pun menjadi salah satunya negara yang akhirnya harus mengakui kebijakan One China pada tahun 1972 melalui kesepakatan Komunike Shanghai.
Meski begitu, AS masih memainkan ambiguitas strategis (strategic ambiguity) dalam isu Taiwan. Walaupun hanya mengakui satu Tiongkok, AS tetap membuat peraturan dalam negeri yang mewajibkan negara tersebut untuk melindungi Taiwan.
Ambiguitas strategis yang dijaga ini menunjukkan bahwa AS memiliki kepentingan geo-strategis terhadap Taiwan, khususnya pada era Perang Dingin. Taiwan merupakan bagian dari strategi rantai pulau (island chain strategy) – dicetuskan oleh John Foster Dulles pada tahun 1951 – untuk menghalau pengaruh komunisme.
Bukan tidak mungkin, strategi yang sama juga digunakan oleh pemerintahan Joe Biden di AS kini guna menghalau pengaruh RRT. Alhasil, AS bisa saja meningkatkan komitmennya untuk menjaga Taiwan dari rongrongan kekuasaan PKT.
Namun, insiden kunjungan Pelosi tampaknya hingga kini tidak serta merta langsung menimbulkan konflik bersenjata. RRT sendiri hingga kini masih hanya melakukan taktik deterrence dengan menembakkan sejumlah rudal Dongfeng.
Mengapa RRT juga tampak menahan diri bila benar-benar ingin melindungi integritas wilayah kedaulatannya? Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh pemerintahan Xi di Beijing?
Hanya “Drama” Setting-an?
Kunjungan Pelosi ke Taiwan – ditambah dengan sejumlah kegiatan operasi militer yang dilakukan oleh RRT di sekitar pulau tersebut – tentu semakin membuat banyak pihak cemas akan kemungkinan terjadinya konflik bersenjata antara AS dan Tiongkok. Bisa dibilang, dua negara ini adalah dua negara adidaya yang kini saling bersaing.
Namun, untuk melaksanakan perang atau konflik bersenjata, tentu memerlukan banyak pertimbangan yang harus dipikirkan secara matang. Bila tidak memenuhi kepentingan negara-negara tersebut, bukan tidak mungkin perang malah menjadi opsi yang paling akhir.
Pasalnya, perang merupakan langkah yang sangat berbiaya tinggi – khususnya kala dunia memiliki keterikatan yang tinggi di antara negara-negara satu sama lain. Ini sejalan dengan teori yang dicetuskan oleh Robert Keohane dan Joseph Nye, yakni interdependensi kompleks (complex interdependence).
Pasca-Perang Dingin, keterikatan ekonomi antar-negara semakin erat. Dengan tatanan dunia global yang terintegrasi, perang akan menjadi semakin berbiaya tinggi.
Konflik yang kini membara antara Rusia dan Ukraina, misalnya, menjadi contoh bagaimana perang yang jauh terjadi di Eropa Timur turut memiliki dampak pada Indonesia yang terletak di Asia Tenggara. Efek ekonomi global – seperti inflasi dan krisis pangan-energi – juga mulai terasa di banyak negara.
Di sisi lain, perang juga tidak sejalan dengan kepentingan RRT. Meski disebut-sebut menjadi negara penantang potensial bagi AS, RRT masih memerlukan dunia yang stabil dan damai agar bisa meningkatkan perekonomiannya – setidaknya hingga di tingkat yang benar-benar mampu menyaingi negeri Paman Sam.
Justru, dengan tingginya biaya konflik dan perang bersenjata, negara-negara besar kini lebih memilih untuk “berperang” di bidang-bidang lain – seperti ekonomi, budaya, dan dunia siber. Perang dalam bidang ekonomi, misalnya, sempat terjadi antara RRT dan AS kala Presiden ke-45 AS Donald Trump menjabat.
Perkembangan teknologi juga mengizinkan negara-negara besar untuk berperang di dunia siber. Selain tidak memakan korban dan biaya yang tinggi, perang siber juga disebut-sebut – misalnya oleh John McAfee – menjadi perang masa depan.
Lantas, bila perang bersenjata tidak benar-benar akan terjadi, mengapa RRT dan AS kini malah semakin bermain api dengan satu sama lain? Mengapa RRT begitu getol menunjukkan kekuatan militernya dengan operasi-operasi militernya di sekitar Taiwan?
Bukan tidak mungkin, situasi yang terjadi di Taiwan kini adalah sebuah dramaturgi politik. Meminjam konsep dari Erving Goffman, Frank Schimmelfennig dalam tulisannya yang berjudul Goffman Meets IR: Dramaturgical Action in International Community, negara-negara juga bisa memainkan “drama” dengan peran yang mereka emban dalam masyarakat internasional.
Dengan didasarkan pada peran-peran yang dimiliki negara-negara besar ini – misal AS sebagai pelindung Taiwan, aktor-aktor politik di dalam masing-masing negara juga bisa memanfaatkan situasi yang ada. Pasalnya, mengacu pada teori yang diajukan oleh Robert Putnam, politik dunia juga merupakan sebuah permainan dua tingkat (two-level game) – antara dimensi internasional dan dimensi domestik.
Masing-masing pemimpin negara-negara tersebut – mulai dari Joe Biden (AS), Xi Jinping (RRT), hingga Tsai Ing-wen (Taiwan) – memiliki kepentingan domestik dan elektoral yang perlu dipenuhi. Tsai, misalnya, akan membawa partainya, Partai Demokratis Progresif (DPP), akan menghadapi Pemilu Sela pada paruh akhir tahun 2022 nanti.
Di sisi lain, Xi juga perlu memperkuat legitimasinya untuk masa jabatan ketiganya – yang mana harus diperolehnya melalui Kongres Nasional. Sementara, Biden dan Partai Demokrat AS sendiri kini tengah disoroti terkait situasi ekonomi AS yang memburuk akibat inflasi dan krisis pangan-energi – dapat menjadi batu ganjalan bagi Biden dan partainya untuk mendapatkan dukungan mayoritas di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Pada akhirnya, dengan kepentingan-kepentingan di balik situasi “krisis” yang terjadi di Taiwan, bukan tidak mungkin ini akan menjadi semacam dramaturgi yang tengah dimainkan oleh masing-masing negara. Seperti apa yang dibilang oleh Mysterio dalam film Spider-Man: Far From Home, bila gambaran kemungkinan ini benar, ujung-ujungnya masyarakat hanya membutuhkan sesuatu yang bisa dipercaya – entah apa kepentingan akhir yang ingin diwujudkan. (A43)