Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek pengembangan bom atom oleh Amerika Serikat (AS). Disebut sebagai “bapak bom atom”, pasca perang ia menyesali apa yang telah “dikembangkan” olehnya. Menurutnya, penemuannya tersebut telah membawa dunia pada perlombaan senjata nuklir. Tapi, apakah mungkin justru nuklir Oppenheimer ciptakan perdamaian
“Bersiap untuk perang adalah cara yang paling efektif untuk melestarikan perdamaian”, George Washington
Film Oppenheimer menjadi salah satu film yang sedang disorot akhir-akhir ini. Film yang menceritakan kisah seorang ahli fisika, Julius Robert Oppenheimer ini booming di banyak negara, salah satunya Indonesia.
Film ini sendiri menceritakan kisah Oppenheimer, spesifiknya soal perannya dalam Proyek Manhattan yang dikembangkan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS). Proyek ini sendiri dibuat sebagai upaya untuk menciptakan bom atom untuk menyerang Nazi Jerman, dalam upayamenghentikan Perang Dunia II yang sedang berlangsung saat itu.
Namun, karena Jerman telah menyerah sebelum bom tersebut bisa digunakan, akhirnya bom ini dijatuhkan di Jepang, tepatnya di kota Hiroshima dan Nagasaki, dan memang segera mengakhiri perang dengan Jepang saat itu.
Menariknya, mendapat julukan sebagai “bapak bom atom”, Oppenheimer justru terbebani dengan dilema moral nya sebagai ilmuwan, dengan melihat seberapa destruktif dan mematikannya bom tersebut.
Baginya, dengan keberadaan bom tersebut maka “rantai ledakan” dari bom tersebut tidak akan pernah berhenti hingga kemudian hari. Akan tetapi, apa yang sebenarnya dimaksud Oppenheimer dengan kalimat tersebut?
Perlombaan Tiada Akhir?
Dalam kehidupan, fenomena persaingan antar individu adalah hal yang biasa terjadi. Persaingan yang terjadi biasanya disebabkan oleh usaha salah satu pihak untuk mendominasi, atau mengimbangi pihak lainnya.
Namun, dalam konteks negara, politik, militer dan persenjataan, persaingan adalah hal yang buruk bagi semua pihak. Dengan adanya persaingan, terutama secara “berlebih”, dapat mendorong terciptanya ketidakpastian, keamanan, dan risiko, akan efek destruktif yang menghancurkan.Apalag, dalam konteks senjata nuklir, yang dipandang sebagai senjata pamungkas karena dampak destruktifnya.
Hal inilah yang disesali dan ditakutkan oleh Oppenheimer. Menurutnya, efek dan reaksi dari bom yang diciptakannya tidak akan pernah berhenti.
Dalam konteks persaingan antar negara, bom atom yang semakin banyak diciptakan untuk mencapai keunggulan baru, dengan daya yang lebih mematikan dan lebih menghancurkan. Oleh karena itu, ia sangat menentang penciptaan bom hidrogen, yaitu bom yang memiliki efek destruktif berkali lipat jauh lebih besar dibanding bom atom yang diciptakannya.
Meski begitu, persaingan dan perlombaan antar negara ini sangat sulit dihentikan, atau bahkan cenderung mustahil. Karena jika diibaratkan, tidak ada masing-masing pihak yang mau untuk “melepas” kemampuan senjata ini. Selain itu, adanya lack of trust atau ketidakpercayaan masing-masing pihak bahwa pihak lawan mereka mau melakukannya, juga menghambat hal tersebut.
Hal ini juga bisa dianalisis menggunakan teori balance of power. Teori ini menjelaskan bagaimana sifat setiap negara yang tidak ingin melihat dominasi negara lain dalam bidang militer. Hal ini dilakukan atas dasar menyelamatkan eksistensinya dan juga untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Hal ini sering terjadi antar negara-negara great power seperti AS dan Rusia, di mana persaingan di antara mereka menjadi hal yang wajar. Dan persaingan dalam hal pengembangan bom yang paling destruktif adalah cara yang paling “murah”, karena tidak membutuhkan banyak perincian dalam prosesnya. Secara kasar, “hanya” dibutuhkan biaya perawatan dan pelatihan awak serta tempat pengangkut dan silo penyimpanan. Ini tentu lebih murah dibanding membentuk pasukan dari unsur lain, seperti tank, kapal perang dan sebagainya.
Selain itu, bom yang ada juga tidak semuanya ditembakkan. Untuk saat ini, tentu baik bom atom, nuklir, hingga hidrogen, hanya digunakan untuk keperluan uji coba saja, tidak untuk kebutuhan ofensif di medan perang.
Pertanyaannya, jika bom tersebut begitu berbahaya, kenapa tidak masing-masing pihak melancarkan serangan untuk mengeliminasi bom pihak lain? Apakah mereka terlalu takut untuk melakukannya?
Takut-Menakuti?
Persaingan dan perlombaan senjata antar-negara memang meningkatkan risiko kehancuran apabila sampai terjadi di antara mereka. Akan tetapi,ada satu hal “positif” yang mungkin bisa dilihat dari hal tersebut.
Hal “positif” tersebut adalah timbulnya rasa takut di masing-masing pihak yang disebabkan oleh perilaku menakuti yang juga dibuat oleh masing-masing pihak. Dengan kondisi tersebut, masing-masing pihak berada dalam kondisi di mana mereka saling menakuti, tapi juga takut akan satu sama lain.
Hal ini dapat dijelaskan melalui konsep Mutual Assured Destruction (MAD), atau bisa disebut sebagai konsep “kehancuran bersama yang pasti”. Konsep yang diciptakan oleh Donald Brennan dari Institut Hudson ini menyebutkan bahwa dua negara yang sama-sama memiliki kemampuan nuklir tidak akan berperang satu sama lain, selama mereka meyakini bahwa jika pihak mereka memulai perang nuklir, maka akan terjadi kehancuran bersama dengan musuhnya.
Atau dalam kata lain, masing-masing pihak tidak meyakini bahwa ada solusi kemenangan atau cara meminimalisir kehancuran yang diterima dari perang tersebut. Hal ini membuat masing masing pihak berusaha menjaga posisinya, karena tidak ada pihak yang mau untuk menanggung beban itu.
Penangkalan dan pencegahan dari perang tersebut juga bisa dijelaskan lewat teori nuclear deterrence. Teori ini menyebutkan bahwa setiap negara berusaha mencapai kemajuan terbatas untuk membuat negara lain mengurungkan niatnya untuk menyerang.
Hal ini akan berlangsung berulang-ulang, dan bergantian, selama masing-masing pihak berada dalam tekanan dan ancaman secara terbatas oleh pihak lawan.
Dapat kita lihat, selama periode nuclear arms race di Perang Dingin, tidak pernah terjadi perang secara langsung antar negara great power. Hal itu juga berlanjut hingga saat ini. Meski beberapa kali bersitegang, baik antara AS dan Rusia, maupun AS dan Tiongkok, dan antar negara great power lainnya, tidak pernah terjadi perang secara terbuka di antara keduanya.
Meski mulai berkembangnya perang proksi, tapi tentu itu “lebih baik” dibandingkan perang dunia atau perang terbuka antara negara-negara kuat secara langsung, yang bisa mempengaruhi aspek ekonomi, politik dan aspek lainnya di seluruh dunia.
Tentu tidak pernah ada kata baik yang dapat didefinisikan secara harfiah jika membahas masalah perang dan konflik antara negara. Namun, meski begitu kita masih bisa mendapat definisi dari kata “lebih baik”, yang meskipun tidak sempurna, tapi “better” dibanding kondisi zaman dahulu.
Dulu, mungkin perang didominasi karena alasan pribadi elite-elite kerajaan dan negara, dan “harga nyawa” dalam perang terasa begitu murah bagi para elite. Kini, tidak pernah terjadi perang dalam konteks serupa karena konektivitas dan perkembangan suara rakyat di banyak negara. Semoga saja rakyat bisa terus jadi penahan akan terjadinya perang baru. (R87)