Meski kerap dianggap filosofis, pandangan politik suatu negara sebenarnya berasal dari hal yang begitu mendasar, yakni nilai-nilai kekeluargaan. Bagaimana bisa demikian?
Ideologi bisa dikatakan merupakan tulang punggung sebuah bangsa. Tanpa adanya ideologi yang membentuk pondasi masyarakat, segala aktivitas yang dilakukan di negara tersebut mungkin akan terjadi tanpa arah dan eksistensi mereka itu sendiri mudah terancam, baik dari dalam atau luar negeri.
Berkaitan dengan kalimat terakhir tadi, sesuai perkembangan sejarah, sejumlah negara berusaha “menyusupkan” ideologinya ke negara-negara yang berkontak dengan mereka. Umumnya, negara yang terindoktrinasi secara intens oleh ideologi negara lain adalah negara yang ditaklukkan, dijajah, atau berada dalam pengaruhnya.
Sebagai akibatnya, sejumlah ideologi yang diterapkan secara efektif di negara asalnya tidak bisa berlaku serupa di negara lain karena ketidakcocokan. Contoh nyatanya adalah liberalisme ala Barat yang begitu menjunjung emanspiasi personal di atas segala hal.
Kendati liberalisme Barat telah menciptakan banyak orang kaya di negara-negara Barat, di negara Timur seperti di Indonesia misalnya, pandangan demikian kerap dipandang tidak sesuai, bahkan justru kerap dinilai lebih banyak membawa perpecahan dibanding kemajuan.
Fenomena ini kemudian menghasilkan salah satu pertanyaan paling besar dalam kehidupan kita. Bagaimana suatu negara menemukan pandangan politik yang sesuai dengan keadaan bangsanya?
Karena Pandangan Keluarga?
Suatu pandangan bisa menjadi ideologi tidak terjadi melalui konstruksi yang sederhana. Ideologi bisa menjadi kuat hanya bila nilai-nilai yang ada di dalamnya beresonansi dengan apa yang dianut masyarakat suatu negara dalam kesehariannya.
Dari sejumlah hal yang mendorong terciptanya ideologi, ada satu yang dianggap memiliki pengaruh yang begitu kuat, yaitu nilai kekeluargaan yang dianut.
Yap, banyak ilmuwan politik kini mulai melihat besarnya dampak nilai-nilai kekeluargaan terhadap terbentuknya suatu ideologi. Ini karena keluarga adalah sistem sosial yang pertama kali harus diadaptasi seseorang ketika dirinya terlahir di dunia.
Dan hal ini bisa dibuktikan bahkan sebelum negara modern itu sendiri terbentuk.
Di Kekaisaran Romawi misalnya, Richard Saller dalam tulisannya Family Values in Ancient Rome menyebut nilai kekeluargaan masyarakat Roma yang menekankan pentingnya menjalin cinta yang kuat terhadap sesama anggota keluarga membuat unsur “kekerabatan” dalam pasukan Romawi begitu kuat.
Tidak hanya itu, pandangan kekeluargaan yang disebut pietas tersebut juga dinilai menjadi bibit dari sistem kekaisaran karena para politisinya mampu mempermainkan isu-isu yang dianggap dapat merusak nilai-nilai pietas, dan menjadikan diri mereka layaknya seorang pahlawan yang membela nilai-nilai egalitarianisme.
Kembali ke masa sekarang, hal ini tentu tidak berubah. Frank Jacobs dalam tulisannya Family Ties menyebut ada lima tipe keluarga, yakni keluarga absolute nuclear, egalitarian nuclear, stem family, incomplete stem family, dan communitarian family.
Untuk saat ini, jenis keluarga yang paling dominan di negara-negara Barat adalah absolute nuclear, yakni keluarga yang memberikan emansipasi pada anaknya dan membiarkan mereka menentukan hidup sendiri tanpa kendali orang tua.
Pandangan yang begitu liberal ini juga dipandang jadi salah satu faktor yang membentuk kapitalisme modern, dan memiliki akar kuat ke jaman kolonialisme Inggris.
Robert D. Putnam dalam bukunya Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community, menilai cara pandang keluarga seperti inilah yang membuat Amerika Serikat (AS) bangkit paska era Perang Dunia dan memiliki begitu banyak pengusaha kaya. Jadi, singkatnya kesuksesan AS sebenarnya berasal dari tradisi keluarga yang mereka anut.
Nah, bagaimana dengan negara-negara Timur? Well, kalau kita mengacu ke klasifikasi keluarga dari Frank Jacobs tadi, sebagian besar negara timur menganut nilai kekeluargaan communitarian, di mana prinsip otoritarianisme dalam keluarga masih begitu kuat tapi keeratannya pun besar. Di negara seperti ini, orang tua memiliki peran besar dalam menentukan jalan hidup anaknya.
Di satu sisi, kalau kita perhatikan, sebagian besar negara Asia memang masih menganut kepemimpinan ala otoritarianisme. Di Indonesia sendiri, kita tahu bagaimana pemimpin yang otoriter mewarnai sebagian besar porsi sejarah kita. Ini tentu bisa kita refleksikan otoritarianisme ala kekeluargaan di mana keputusan seorang kepala keluarga kerap dianggap mutlak.
Yang uniknya, di negara seperti Indonesia dan tetangganya, perspektif menjadikan seorang pemimpin layaknya kepala keluarga pun masih kuat. Kita sering dengar seorang pemimpin kantor ataupun partai politik dianggap layaknya “ayah/ibu kita semua”.
Begitu juga dengan negara kita sendiri yang sering kita anggap sebagai “Ibu”. Semua ini bisa dilacak ke tradisi kekeluargaan yang sudah berbaur dengan politik.
Oleh karena itu, mungkin bisa kita nalarkan, jika kita ingin merubah kebiasaan suatu negara, maka kita sebelumnya harus merubah tradisi-tradisi keluarganya. (D74)