Site icon PinterPolitik.com

Mengapa Ukraina Tidak Boleh Menang

Kenapa Ukraina Tidak Boleh Menang

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky (Foto: Reuters)

Banyak pengamat internasional berharap Ukraina menang dalam konfliknya dengan Rusia karena nasib dunia bergantung padanya. Benarkah hal tersebut? 


PinterPolitik.com 

Konflik antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung lebih dari 3 bulan. Namun, hingga saat ini akhir dari pertempuran yang telah menelan ribuan korban jiwa tersebut masih belum terlihat.  

Dampak yang muncul akibat konflik itu pun kini tidak hanya dirasakan oleh mereka-mereka yang terlibat langsung, tetapi juga pada banyak negara di seluruh dunia. Kita bisa lihat sendiri saat ini sangat banyak sekali pemberitaan tentang tidak stabilnya harga minyak dunia. Hal ini bisa terjadi karena embargo yang diberlakukan banyak negara terhadap Rusia.  

Selain persoalan minyak dunia, konflik yang terjadi di Ukraina juga mulai berdampak pada alur perdagangan gandum dunia. Karena Ukraina dan Rusia sama-sama negara pemasok gandum terbesar dunia, terhambatnya ekspor gandum mereka ke pasar internasional telah membuat banyak negara khawatir akan terjadi krisis pangan. 

Karena itu, banyak pengamat kini semakin mendorong Ukraina untuk bisa memenangkan konflik. Salah satunya adalah artikel opini dari laman The Hill berjudul 36 experts agree: Stay the course in Ukraine. Di dalamnya, sebanyak 36 pengamat internasional, termasuk John Herbst dan David Kramer, menilai Amerika Serikat (AS) dan Barat harus tetap menyuplai senjata pada Ukraina agar konflik bisa berlangsung lebih lama dan Ukraina memiliki kesempatan menang. 

Mereka pun berargumen bahwa krisis yang tengah terjadi pada dunia saat ini murni merupakan akibat Rusia yang tidak mau menarik pasukannya. Rusia secara langsung telah menyebabkan terjadinya krisis pangan dan jika Barat tidak terus memberikan bantuan persenjataan militer, itu dapat mengancam perdamaian yang puluhan tahun telah dibangun oleh NATO dan Eropa. 

Pendapat serupa juga disuarakan oleh media The Economist dalam artikel headline edisi 2 April 2022 berjudul Why Ukraine Must Win. Berdasarkan hasil wawancara dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, artikel tersebut bersikeras bahwa Ukraina harus memenangkan perangnya dengan Rusia, karena kemenangan di Ukraina akan menghalau adanya invasi Rusia di masa depan.  

Keyakinan yang dapat tercipta bila Ukraina menang dapat membuat ambisi perang Putin di wilayah Eropa menurun. Bagi Eropa, kekalahan Rusia dapat meningkatkan kepastian keamanan Benua Biru itu sendiri. 

Pertanyaannya kemudian adalah, benarkah kemenangan Ukraina adalah hal yang lebih baik, bagi Ukraina, ataupun dunia? 

Setelah Ukraina, Apa? 

Jika ingin mendapat petunjuk dalam membaca politik, pantasnya kita  belajar dari sejarah. Dan kalau kita menelisik sejarah persaingan Barat dengan Rusia, kita akan menyadari bahwa justru kemenangan NATO dan Barat lah yang perlu diwaspadai. 

Sejak keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991, pakta pertahanan negara-negara Atlantik Utara tersebut telah memiliki 11 negara anggota baru. Beberapa dari mereka bahkan berbatasan dengan wilayah Rusia, seperti Latvia dan Estonia. 

Meski beberapa kali disinyalir dalam media Barat bahwa AS dan NATO tidak berniat melakukan ekspansi, jika Ukraina menang, bukan tidak mungkin bila NATO kembali membuka jendela pada Zelensky untuk masuk dengan gengnya.  

Sean Monaghan, peneliti kebijakan pertahanan internasional Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai bahwa meski NATO memiliki kebijakan open-door, yakni keanggotaannya terbuka bagi negara Eropa mana saja, alasan kenapa Ukraina sampai saat ini tidak dimasukkan ke NATO adalah karena wilayahnya merupakan wilayah yang masih memiliki permasalahan sengketa yang belum selesai. 

Ini artinya, bila Ukraina memenangkan pertempuran melawan Rusia, dan katakanlah berhasil memukul mundur semua pasukan Rusia yang diturunkan di sana, sangat mungkin bila Zelensky akan menggunakan kemenangannya untuk menjadikan Ukraina sebagai negara yang mandiri, dalam artian terlepas dari urusan sengketa dengan Rusia. Dan bila hal itu terjadi, NATO memiliki kesempatan emas untuk menjadikan Ukraina sebagai salah satu wilayah yang dapat dijadikan benteng terdepan. 

Jika skenario itu terjadi, maka NATO bisa diinterpretasi justru akan semakin menjadi masalah di wilayah Eropa Timur. Jika kita melihat peta Eropa, posisi Ukraina sangat berdekatan dengan negara yang sangat berpotensi menjadi pusat kambing hitam, yaitu Belarusia.  

Sesuai perkembangan konflik, Belarusia telah menjadi negara yang sangat terlibat. Negara tersebut bahkan menjadi tempat persinggahan sebagian tentara Rusia. Berbagai petinggi dan diplomat AS juga telah melemparkan ancaman-ancaman pada Belarusia, menuduhnya sebagai negara yang bertanggung jawab atas aksi militer Rusia di Ukraina. 

Berbagai narasi bisa dimainkan AS dan NATO untuk mengantagoniskan Belarusia, seperti dengan mencap mereka sebagai teroris, lalu menebar narasi-narasi teror lainnya agar kemudian intervensi langsung bisa dijustifikasi.  

Di saat yang bersamaan, kampanye teror Rusia juga akan semakin digemborkan NATO. Serangan gagal yang dilakukan Rusia pada Ukraina akan dicap sebagai bukti bahwa Rusia masih memiliki ambisi ekspansionisme. Yang terjadi selanjutnya adalah kampanye anti-Rusia justru akan menjadi komoditas politik yang semakin laku. 

Dengan teror semacam itu, NATO setidaknya akan mendapat dua keuntungan: pertama, negara anggota yang semakin banyak; kedua, laris manis industri pertahanan karena negara-negara anggota baru akan dituntut memenuhi kuota alat pertahanan yang ditetapkan dalam NATO, sehingga mereka akan membeli lebih banyak senjata pada AS dan Inggris sebagai produsen alat pertahanan terbesar di NATO. 

Prediksi tentang narasi-narasi teror yang bisa dimainkan NATO adalah hal yang sangat rasional dalam politik internasional, hal itu karena menurut teori realisme, perbincangan tentang keperluan keamanan adalah kekhawatiran utama bagi negara manapun. Hal ini diungkapkan Jack Donelly dalam tulisannya The Ethics of Realism

Di dalamnya, Donelly menilai bahwa sistem internasional akan selalu berada dalam situasi antagonisme, negara-negara akan selalu was-was tentang kemungkinan terjadinya konflik, sehingga mereka perlu melakukan aksi yang ekstra, dalam aspek pertahanan, untuk menjamin kelangsungan hidupnya. 

Dari sini, mungkin sebagian dari kita akan bertanya-tanya, seberapa mungkin skenario ini terjadi? Benarkah NATO akan bertindak seprovokatif itu? 

Sangat Mungkin Terjadi? 

Pengamat internasional, Mustafa Hyder Sayed dalam sebuah artikel wawancara yang berjudul Why is NATO’s Expansion Harmful? Menyinggung ambisi NATO yang baru-baru ini yang tidak hanya menempatkan Rusia sebagai ancaman keamanan, tetapi juga mulai membawa narasi potensi bahaya dari Tiongkok. 

Memang, pada Bulan April lalu Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO, Jens Stoltenberg mengungkapkan bahwa pihaknya saat ini tengah mewacanakan rencana ekspansi ke wilayah Asia. Hal itu merasa perlu dilakukan karena Tiongkok telah menjadi ancaman bagi sekutu-sekutu Barat di Bumi bagian Timur. 

Ini tentu menjadi kejanggalan besar. Sesuai namanya, NATO seharusnya fokus pada wilayah Atlantik Utara, bukan Asia. Sayed melihat fenomena ini bisa terjadi karena NATO telah menjadi sinonim dari kebijakan luar negeri AS.  

Dengan demikian, selama AS melihat suatu negara sebagai ancaman bagi kepentingan nasionalnya, maka NATO pun akan terus menjadi perpanjangan tangan Paman Sam. Dan selama AS masih menjadi negara yang paling berpengaruh di NATO, maka provokasi yang ujung-ujungnya sejalan dengan kepentingan nasional AS tetap akan dilakukan. 

Kalau AS tidak melakukan narasi yang konfrontatif terhadap Rusia maupun Tiongkok, itu akan menjadi testimoni bahwa Barat telah mengizinkan negara-negara Timur besar tersebut untuk mencoreng hegemoninya.  

Ini kemudian berdampak pada tingkat kepercayaan banyak negara dan perusahaan multinasional kepada status hegemoni AS. Karena itu, NATO akan terus didorong oleh AS untuk bersikap konfrontatif.  

Padahal, solusi terbaik bagi konflik Ukraina sesungguhnya adalah menjadikan negara tersebut sebagai negara netral yang di mana di dalamnya terdapat keseimbangan pengaruh antara NATO dan Rusia, seperti yang diungkapkan John J. Mearsheimer dalam tulisannya Why the Ukraine Crisis is the West’s Fault

Dengan mengunggulkan salah satu pihak di konflik ini, dampak kelanjutannya akan terlalu berbahaya bagi kelangsungan perdamaian di wilayah sekitar Ukraina, dan juga bagi stabilitas pertarungan kekuatan global.  

Karena itu, tidak boleh ada negara yang menjadi pemenang dalam konflik ini, yang seharusnya dikejar oleh negara-negara yang terlibat adalah kesepakatan diplomatis dan komitmen netralitas. (D74) 

Exit mobile version