Site icon PinterPolitik.com

Mengapa Pembakaran Alquran Jadi Simbol?

Pembakaran Al-Qur’an Perlemah Demokrasi Liberal?

Dalang pembakaran Al-Qur’an di Swedia, Rasmus Paludan (Foto: Cma Hronika)

Pembakaran kitab suci Alquran yang dilakukan politisi sayap kanan garis keras Denmark-Swedia, Rasmus Paludan, memperlihatkan masih adanya sentimen negatif yang berkembang terhadap Islam di Eropa. Lalu, mengapa pembakaran yang bukan pertama kali itu seolah menjadi semacam “simbol”? Benarkah itu disebabkan oleh anggapan yang menilai bahwa Islam sebagai sebuah ancaman bagi nilai kebebasan? 


PinterPolitik.com 

Sejarah Eropa dengan masyarakat Muslim pada dasarnya telah dimulai bahkan sebelum munculnya negara-negara berdaulat. Komunitas Islam telah lama tinggal di wilayah Balkan dan Baltik hingga berabad-abad. 

Bahkan, menurut sejarah peradaban Islam memiliki pengaruh yang besar bagi kemajuan Eropa. Wilayah Mediterania dan Timur Tengah bahkan telah tumbuh menjadi kota perdagangan yang lebih tua dibandingkan dengan Italia. 

Pasca kejadian teror 9/11 diluar segala teori konspirasi yang menyertai, sebagian  negara-negara yang mayoritas penduduknya non-muslim, terkhusus di benua Eropa, seakan muncul stigma bahwa Islam adalah agama yang identik akan kekerasan. 

Anggapan itu seolah diperkuat dengan munculnya gerakan ekstremis dan berbagai aksi teror lainnya yang menyebabkan banyak korban jiwa dengan mengatasnamakan Islam. 

Mirisnya, stigma negatif itu bukan hanya terpendam dalam benak pikiran masyarakat Eropa yang belum memahami nilai-nilai Islam, namun juga diaplikasikan dalam kehidupan sosial. 

Hal tersebut bisa dilihat dari aksi demonstrasi yang dilakukan dekat kantor Kedutaan Besar (Kedubes) Turki di Stockholm diwarnai dengan pembakaran Alquran oleh Rasmus Paludan, seorang politisi partai sayap kanan garis keras berkebangsaan Denmark-Swedia pada 22 Januari kemarin lusa. 

Aksi provokatif yang dilakukan Paludan tersebut bukanlah yang pertama kali. Dia pernah melakukannya pada tahun 2020 dan 2022 lalu. 

Pada tahun 2020, Paludan mengunggah sebuah video yang menunjukkan seorang pria membakar kitab suci umat Muslim di Rinkeby. Kemudian pada tahun 2022, dia juga pernah membakar Alquran. 

Penistaan itu dilakukannya di wilayah berpenduduk mayoritas Muslim di Linkoping, Swedia. Kejadian itu memicu 200 demonstran melempar batu kepada polisi yang mendampingi Paludan pada saat pembakaran. Massa lalu membakar kendaraan aparat. 

Melihat apa yang dilakukan Paludan, Menteri Luar Negeri (Menlu) Swedia, Tobias Billström mengatakan provokasi Islamofobia sangat mengerikan.  

“Swedia memiliki kebebasan berekspresi yang luas, tetapi itu tidak berarti bahwa Pemerintah Swedia, atau saya sendiri, mendukung pendapat yang diungkapkan,” begitu kata Billstrom via akun Twitter-nya. 

Seperti yang di katakan oleh Menlu Swedia, apa yang dilakukan Paludan memang tidak menggambarkan secara keseluruhan pandangan masyarakat dan pemerintahan negara-negara Eropa. 

Namun, aksi Paludan terlanjur mengarahkan telunjuk yang berisi kecaman kepada Swedia yang seakan membiarkan aksi ini terjadi. 

Kecaman datang bukan hanya dari Turki yang kantor Kedutaannya menjadi tempat demonstrasi. “Kutukan” juga datang dari seluruh dunia, terkhusus negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim. 

Berdasarkan European Islamophobia Report (EIR), gejala kebencian dan Islamofobia semakin meningkat di negara Eropa. Laporan tersebut dipresentasikan di parlemen Uni Eropa di Brussels tahun 2021. 

Laporan ini merupakan bentuk analisa dan rekam jejak segala bentuk Islamofobia di berbagai negara di Eropa sejak 2015 di 25 negara yang menjadi anggota Uni Eropa. Hasilnya tampak mengkhawatirkan, kenaikan sentimen anti muslim di Eropa lebih dari 100 persen. 

Lalu, mengapa insiden pembakaran kitab suci Alquran yang dilakukan Paludan seolah meningkatkan elevansi tensi sosial dan politik di dunia? 

Kenapa Alquran Dibakar? 

Sebelum membahas lebih jauh mengapa Rasmus Paludan memilih membakar Alquran sebagai simbol aksi anti Islam, kita harus memahami esensi serta makna simbol itu sendiri menjadi penting dalam mempengaruhi cara berpikir dan tindakan manusia. 

Dalam perkembangan peradaban manusia, simbol digunakan sebagai media untuk menaruh berbagai makna esensial. Pernyataan tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh seorang psikolog Amerika Serikat (AS) Rollo May. 

Dalam publikasinya yang berjudul The Significance of Symbols, May menegaskan berbagai bentuk simbol, baik gambar, patung, hingga benda tertentu, merupakan media dan orientasi bagi persatuan dan kepercayaan bersama manusia sejak ribuan tahun lalu. 

May menambahkan, simbol yang menjadi objek bagi peletakan sebuah identitas dan nilai yang diyakini bersama sangat berpengaruh pada tindakan dan kepercayaan manusia secara filosofis dan psikologis. 

Adapun yang dimaksud, sejak simbol menjadi objek berbagi nilai dan kepercayaan bersama manusia, berbagai bentuk perlakuan ofensif pada simbol tertentu dinilai akan menimbulkan konsekuensi konfliktual. 

Intisari dari tulisan May di atas dapat menjadi acuan dalam memahami bagaimana reaksi dari pembakaran Alquran yang dilakukan oleh Paludan. 

Pada insiden pembakaran Alquran, terdapat upaya mendiskreditkan sebuah simbol yang telah mengakar bagi kelompok yang selama ini berpegang teguh pada nilai filosofis dari simbol tersebut. 

Bagi umat Muslim di seluruh dunia Alquran bukan hanya sebuah simbol yang disakralkan. Lebih dari itu, Alquran merupakan sebuah pedoman dalam hidup manusia. 

Lantas, jika dilihat dari aspek sosio-politik dari aksi pembakaran tersebut, apa yang menjadi alasan para kelompok sayap kanan garis keras Eropa seperti Rasmus Paludan melakukan aksi provokatif terhadap Islam? 

Islam Sebuah Ancaman? 

Jika ditarik jauh kebelakang, sentimen negatif terhadap Islam bisa dikatakan dimulai pada perang Salib. Dendam akan itu pun nampaknya tak kunjung padam, terutama untuk kaum populis atau sayap kanan garis keras di Eropa. 

Saat Perang Dingin berakhir, rasa permusuhan dan kebencian dari negara barat terhadap Islam seolah muncul kembali. 

Gianni De Michelis, Menlu Italia periode 1989-1992 dilansir majalah Newsweek edisi 2 Juli 1990 berkata “Benar, perang dingin antara Barat dan Timur (komunis Uni Soviet) telah berakhir, tetapi timbul lagi pertarungan baru, yaitu pertarungan antara dunia Barat dan dunia Islam.” 

Pernyataan De Michelis kemudian dipertegas lagi oleh Samuel Huntington dalam bukunya Clash of Civilization, yakni budaya dan agama akan menjadi sumber konflik di masa mendatang. 

Di antara budaya yang dimaksud saling berbenturan ini adalah antara Islam dan Barat. Peradaban Islam dianggap sebagai “musuh dalam selimut” bagi peradaban Barat. 

Mengacu pada pernyataan De Michelis dan Huntington diatas, tampaknya sudah cukup  menggambarkan bagaimana pandangan dunia Barat terhadap Islam. 

Sentimen anti Islam diperparah ketika para pemimpin dan politisi negara Barat menegaskan kegagalan multikulturalisme disebabkan oleh kegagalan kelompok Muslim di Eropa menyesuaikan diri dengan peradaban Eropa. 

Padahal, menurut Gabriele Marranci dalam jurnal yang berjudul Multiculturalism, ‘Islam and the Class of Civilisations Theory: Rethinking Islamophobia’, kegagalan multikulturalisme di negara-negara Eropa bukan hanya berakar pada rasa ketakutan Barat terhadap Islam tetapi juga muncul dari rasa ketakutan terhadap ideologi multikulturalisme itu sendiri dengan segala konsekuensinya. 

Marranci menambahkan masyarakat Barat menganggap kelompok Muslim bukan hanya sebagai “orang asing” (aliens), tetapi juga berbahaya, karena itu tidak cocok duduk bersanding dengan tradisi Barat. 

Merujuk terhadap apa yang diungkapkan Marranci, terlihat bahwa persepsi semacam itulah yang kemudian membuat  gerakan populis atau sayap  kanan termasuk yang beraliran “keras” menjadi populer di Eropa. 

Munculnya sikap stereotip yang mengandung kebencian dan permusuhan terhadap Islam tersebut kerap disebut merupakan sikap yang rasistis. 

Stereotip ini menyebar ke seluruh masyarakat Eropa melalui media massa dan dipolitisir oleh para politisi tertentu, yang tidak mewakili gambaran sebenarnya dunia Islam dan gaya hidup mereka sebagai “orang asing” bagi nilai-nilai Barat. 

Faktanya, Islam sebagai sebuah agama pada hakekatnya memiliki peradaban nilai universal sejalan dengan inti peradaban negara barat. Diantaranya keadilan, HAM, demokrasi, kebebasan beragama, toleransi, dan lain-lain, yang bisa menjadi shared values, bukan sebuah pertentangan (kontradiksi). 

Kesalahpahaman yang dimiliki oleh masyarakat Barat terhadap Islam tampaknya dikarenakan pada umumnya masyarakat Barat mempelajari dan memahami Islam dari buku-buku para orientalis. 

Mereka mengkaji Islam dengan tujuan untuk menimbulkan miskonsepsi terhadap Islam serta adanya motif politis yaitu untuk mengetahui rahasia kekuatan Islam yang tidak lepas dari ambisi imperialis Barat untuk menguasai dunia Islam. 

Menariknya, perkembangan Islam di negara-negara barat tidak dapat dihindari. Semakin masyarakat menolak keberadaan maupun perkembangan Islam agaknya justru semakin banyak pula masyarakat yang memeluknya. 

Dengan hal tersebut, diharapkan bahwa perspektif negatif dan aksi provokatif terhadap Islam semakin berkurang atau bahkan menghilang di Eropa dan bahkan dunia. (S83) 

Exit mobile version