Site icon PinterPolitik.com

Mengapa Jokowi Berani Lawan Amerika?

mengapa jokowi berani lawan amerika

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (kiri) dan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden (kanan) mengadakan pertemuan bilateral di sela-sela Konferensi Perubahan Iklim PBB 2021 (COP26) yang digelar di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya, pada November 2021 lalu. (Foto: BPMI Setpres)

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Amerika Serikat (AS) merilis laporan soal kondisi perdagangan manusia yang memburuk di Indonesia. Alhasil, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) melalui Kemlu RI menuding laporan tersebut tidak transparan. Apakah ini pertanda pemerintahan Jokowi berani melawan AS?


PinterPolitik.com

“Overseas, yeah, we try to stop terrorism, but we still got terrorists here livin’ in the USA: the big CIA, the Bloods, and the Crips, and the KKK” – Black Eyed Peas, “Where Is The Love?” (2003)

Sosok karakter pahlawan super seperti Spider-Man selalu digambarkan sebagai manusia berkemampuan lebih yang memegang nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat. Bagaimana tidak? Aksi-aksi Peter Parker selalu dilakukan demi kemaslahatan masyarakat New York City.

Namun, siapa sangka apabila akhirnya nama Spider-Man bisa berubah dan memiliki makna yang buruk? Inilah yang menjadi latar belakang masalah dalam film Spider-Man: No Way Home (2021).

Ya, film yang sangat populer di berbagai belahan dunia itu berangkat dari persoalan disinformasi yang disebarkan oleh Quentin Beck alias Mysterio. Peter dianggap sebagai musuh masyarakat karena berusaha membunuh Beck demi mendapatkan teknologi yang diwariskan oleh mendiang Tony Stark alias Iron Man.

Saking merasa tertekan, Peter akhirnya harus meminta Doctor Strange agar seluruh orang di alam semesta bisa lupa dengan dirinya. Meski begitu, mantra Strange pun membawa malapetaka.

Terlepas dari alur cerita yang ditampilkan film tersebut, ada satu hal yang juga paralel dengan apa yang terjadi di masyarakat dalam dunia nyata. Ini menunjukkan bahwa informasi memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi baik tidaknya seseorang dinilai oleh publik.

Persoalan informasi inilah yang mungkin akhirnya juga terjadi dalam dimensi politik, termasuk politik antar-negara. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Amerika Serikat (AS), misalnya, baru-baru ini membuat laporan terkait situasi perdagangan manusia yang dianggap semakin parah di Indonesia.

Saking parahnya, mengacu pada laporan Kemlu AS, situasi di Indonesia dikategorikan menjadi tingkat dua – atau bisa dimaknai sebagai “perlu diperhatikan”. Negara-negara yang masuk dalam kategori ini adalah negara yang tidak memiliki penanganan konkret meskipun persoalan yang dimaksud semakin banyak terjadi. 

Menanggapi laporan ini, Kemlu RI pun langsung angkat bicara. Melalui Juru Bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menuding balik bahwa laporan AS tersebut tidak transparan dan tidak berdasar.

Upaya membalas dari Kemlu RI ini bisa jadi menarik – mengingat laporan Kemlu AS terhadap situasi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia (HAM) merupakan laporan yang dirilis setiap tahun. Bukan tidak mungkin, ini menjadi pertanda akan berubahnya dinamika global.

Namun, terlepas dari itu, muncul juga pertanyaan-pertanyaan lain. Mengapa pemerintah AS kerap mengusik situasi perlindungan dan penegakan HAM di banyak negara, termasuk Indonesia? Mungkinkah ini berkaitan juga dengan politik elektoral Indonesia yang semakin dekat dengan deadline tahun 2024 mendatang?

Amerika Serikat, Sang ‘Polisi Dunia’?

Isu HAM memang menjadi isu yang mengambil panggung utama dalam masyarakat internasional sejak Perang Dunia II berakhir. Narasi soal perlindungan HAM dan kebebasan individual menjadi perhatian utama – setidaknya bagi AS dan negara-negara Eropa Barat.

Pengusungan narasi tersebut didorong oleh motivasi Perang Dingin – kala dikotomi antara nilai-nilai liberal dan komunis menjadi pembelah utama di antara anggota-anggota masyarakat internasional. Promosi nilai-nilai liberal ini pula yang akhirnya membuat negara-negara Barat dulunya mendorong kebijakan terbuka seperti imigrasi terhadap mereka yang berasal dari Blok Timur – sesuatu yang kini justru malah dibatasi.

Terlepas dari perubahan kebijakan imigrasi Barat, dengan runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin, peperangan narasi yang terjadi sebelumnya turut usai. Ini akhirnya melahirkan tatanan dunia satu-satunya yang dikuasai oleh satu kekuatan adidaya, yakni AS.

Tatanan dunia inilah yang akhirnya disebut oleh John J. Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail: The Rise and Fall of the Liberal International Order sebagai tatanan dunia liberal (liberal international order). Tatanan dunia ini yang berprinsip liberal ini akhirnya ditegakkan oleh AS kepada negara-negara lain – membuat mereka secara terpaksa mengikuti nilai-nilai liberal seperti HAM dan pasar bebas.

Tatanan dunia yang dibangun AS inilah yang akhirnya juga membuat negeri Paman Sam tersebut berperan layaknya seorang ‘sheriff’ – atau bahkan penjaga malam (night watchman) – yang siap menerapkan keteraturan di berbagai kawasan. Salah satu kawasan di mana AS dianggap dominan ialah Eropa.

Mearsheimer juga akhirnya melihat bahwa peran AS bak penjaga malam tersebut menjadikan Eropa sebagai salah satu kawasan paling stabil. Permusuhan di antara negara-negara Eropa sendiri akhirnya semakin jarang terjadi.

Bukan tidak mungkin, peran penjaga malam ala AS ini pun berlaku di kawasan-kawasan lain seperti Asia. Peran ini terlihat dari bagaimana menerapkan sejumlah sanksi ekonomi kepada pejabat-pejabat junta militer Myanmar yang dianggap melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan perlindungan HAM.

Namun, pertanyaan selanjutnya pun kemudian muncul. AS sebagai sebuah negara tentu memiliki kepentingannya sendiri. Mengacu pada banyak tulisan Mearsheimer, tujuan utama dari politik luar negeri AS adalah bagaimana kepentingan negara tersebut terlindungi, baik di kawasannya sendiri maupun di kawasan lain.

Bila demikian, mungkinkah tatanan dunia liberal ala AS sebenarnya hanyalah alat bagi negara tersebut untuk mencapai apa yang diinginkan? Mengapa Indonesia harus berhati-hati dengan narasi liberal ala negeri Paman Sam itu?

Saatnya Jokowi Say No to Amerika?

Persoalan nilai-nilai liberal yang ditegakkan AS tidak dipungkiri memberikan manfaat yang baik bagi hubungan antar-negara pasca-Perang Dingin. Pertempuran antar-negara dan kemajuan kondisi ekonomi bisa dibilang menjadi salah satu manfaat yang timbul akibat kekuasaan unipolar AS.

Namun, kehadiran tatanan dunia demikian bukanlah berarti AS tidak memanfaatkannya. Bagi negara adidaya seperti AS, keteraturan melalui norma dan hukum internasional merupakan sesuatu yang justru mendukung politik luar negerinya.

Mari kita ambil kasus hukum yang melibatkan Nikaragua vs AS di Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1986 silam. Kasus ini berangkat dari bagaimana AS dianggap bersalah dalam mendukung pemberontakan Contra di negara tersebut.  

Hakim-hakim ICJ pun memutuskan bahwa AS telah melanggar hukum kebiasaan internasional. Meski begitu, negara Paman Sam tetap menolak untuk hadir dalam sidang-sidang tersebut.

Sementara, di sisi lain, AS justru cenderung menyalahkan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam sengketa Laut China Selatan (LCS). Narasi yang diekspresikan pun berkaitan dengan pelanggaran terhadap norma dan hukum internasional.

Perbandingan dua fenomena ini seakan-akan mengiyakan apa yang dibilang Mearsheimer dalam tulisannya Bound to Fail terkait tatanan dunia liberal yang lebih berkaitan dengan kepentingan daripada ideologi atau nilai liberal sendiri. Pada akhirnya, tatanan dunia itu hanya dijadikan alat dalam beberapa kesempatan.

Menariknya, isu HAM juga kerap dijadikan legitimasi bagi AS untuk melancarkan kebijakan-kebijakan luar negeri yang mencampuri urusan domestik negara-negara lain. Bukan tidak mungkin, Indonesia pun menjadi salah satu negara sasarannya.

Pertama, Indonesia kini menjadi salah satu unsur penting dalam strategi Indo-Pasifik AS guna menghalau Tiongkok. Sementara, pemerintahan Jokowi memiliki tendensi untuk tetap netral – artinya Jokowi ingin tetap menjalin hubungan baik dengan Tiongkok yang jelas-jelas kini menjadi rival AS.

Sejalan dengan penjelasan Damien D. Cheong, Stephanie Neubronner, dan Kumar Ramakrishna dalam tulisan mereka berjudul Foreign Interference in Domestic Politics, campur tangan asing dalam politik domestik kerap didasari oleh kepentingan negara asing itu sendiri.

Kedua, AS telah memiliki tatanan dunia liberal yang secara tidak langsung diinternalisasi oleh banyak negara sebagai prinsip dan nilai yang dipegang bersama. Perlindungan dan penegakan HAM, misalnya, merupakan bagian dari norma dan hukum kebiasaan internasional yang dianggap perlu ditegakkan.

Negara-negara yang dianggap melanggar akan mendapatkan sejumlah mekanisme sanksi dan hukuman – mulai dari pengucilan hingga sanksi ekonomi. Ini bisa memberikan tekanan (pressure) terhadap Indonesia yang – siapa tahu – dianggap melenceng dari nilai dan prinsip tersebut.

Ketiga, AS dan negara-negara Barat biasa melakukan upaya campur tangan pada lingkungan domestik negara lain secara sembunyi-sembunyi (covert). Dalam menjalankannya, tentu upaya untuk mewujudkan kepentingannya di negara lain adalah dengan menggunakan momentum yang tepat.

Bukan tidak mungkin, momentum tepat ini adalah ketika politik elektoral sedang berjalan. Pesta demokrasi menjadi saat yang pas agar pemerintahan yang terpilih nantinya adalah pemerintahan yang sejalan dengan kepentingan mereka.

Boleh jadi, isu-isu pelanggaran HAM yang dinilai tidak sejalan dengan nilai tatanan dunia yang universal menjadi salah satu penyebab agar preferensi pemilih bergeser kepada sosok calon pemimpin yang lebih disukai oleh AS. Inilah mengapa upaya penegakan HAM secara tidak langsung juga berkaitan dengan kepentingan asing di negara tersebut.

Pada akhirnya, narasi liberal soal perlindungan dan penegakan HAM bakal menjadi isu yang mempengaruhi diskursus elektoral. Layaknya Spider-Man yang akhirnya dibenci, bisa saja sosok yang dianggap bertanggungjawab di balik persoalan HAM yang tengah disorot tersebut mendapatkan efek serupa. (A43)


Exit mobile version