Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte kembali menyampaikan permohonan maaf terkait praktik perbudakan negaranya selama 250 tahun. Lantas, mengapa permohonan maaf itu kembali diungkapkan. Serta apakah Indonesia pada akhirnya mampu memaafkan Belanda atas praktik penjajahannya di masa lalu?
Pemerintah Belanda seperti tidak ada habis-habisnya untuk mengungkapkan permohonan maaf kepada Indonesia. Baru-baru ini, Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte kembali menyampaikan permohonan maaf di depan umum atas praktik perbudakan negaranya selama 250 tahun.
Dia juga menekankan bahwa praktik tersebut merupakan jenis kejahatan terhadap kemanusiaan. Utamanya, Rutte meminta maaf atas praktik perbudakan yang terjadi di Suriname, pulau-pulau seperti Curacao, Aruba di Karibia, serta Indonesia bagian Timur.
Rutte menyebutkan persoalan waktu dan momen yang tepat untuk menyampaikan permohonan maaf merupakan masalah yang rumit lantaran tidak akan ada jawaban yang tepat untuk menjawab persoalan tersebut.
Permohonan maaf itu kemudian diterima oleh PM Aruba Evelyn Waver-Croes. Di samping itu, negara-negara lainnya seperti pulau Sint Maarten menolak untuk menerima permohonan maaf tersebut.
Lantas, bagaimana Indonesia memaknai serta merespons permohonan maaf Belanda?
Tak Akui Kemerdekaan?
Makna permohonan maaf Belanda atas penjajahannya terhadap Indonesia perlu ditelusuri berdasarkan makna dan pengakuan penjajahan itu sendiri.
Baik Indonesia maupun Belanda, keduanya masih memiliki perbedaan pendapat terkait kapan Indonesia merdeka. Indonesia berpegang teguh dengan keyakinannya bahwa Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, sedangkan Belanda mengakui Indonesia merdeka pada 27 Desember 1949.
Berdasarkan hasil penulusuran berbagai sumber, Belanda hingga kini masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 secara de jure.
Di samping itu, sebenarnya pada tahun 2005 Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot pernah mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 melalui pidato resminya di Gedung Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Namun, hal itu hanya dapat dianggap sebagai pernyataan de facto atau sementara belaka.
Sikap Belanda demikian seakan-akan seringkali dinilai sebagai penghindaran sanksi atas praktik agresi militer di masa lalu. Sanksi itu dapat berupa pembayaran pampasan perang kepada Indonesia dengan mengembalikan uang sebesar 4,5 miliar gulden kepada Indonesia yang pernah dibayarkan pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dalam kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk melunasi utang Hindia Belanda.
Artinya, jika Belanda mengakui secara de facto dan de jure kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka setelah itu hingga 27 Desember 1949 Belanda mengakui melakukan agresi militer di negara yang sudah merdeka sehingga dapat dikategorikan sebagai aksi invasi.
Lantas, apakah Indonesia menerima permohonan Belanda atas praktik penjajahan dan perbudakannya di masa lalu?
Ditolak atau Diterima?
Kolaborasi media Historia dan media dari Belanda bernama De Volkstrant memuat arikel berjudul Mayoritas Responden Tuntut Belanda Akui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang ditulis oleh Hendri F. Isnaeni.
Artikel itu memuat sebuah jajak pendapat publik Indonesia mengenai penjajahan Belanda di Indonesia dengan total responden sebanyak 1.604 dari 34 provinsi.
Menariknya, jajak pendapat itu awalnya memuat sebuah artikel pengantar dari media De Volkskrant dan Historia yang mana menyebut Belanda menolak mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 namun mengakui Indonesia merdeka pada 27 Desember 1949.
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia setelah keduanya menandatangani De Overdracht alias dokumen penyerahan kedaulatan sehingga pernyataan itu dianggap sebagai pengakuan secara de jure.
Pengantar itu kemudian menarik sebuah pertanyaan yang diajukan kepada responden terkait penerimaan mereka jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Hasil jajak pendapat menunjukkan mayoritas masyarkat di Indonesia tidak menerima pengakuan Belanda bahwa Indonesia merdeka pada tahun 1949. Hal itu dilihat hasil sebanyak 52 persen responden “tidak menerima” pernyataan demikian lantaran Belanda telah kehilangan otoritasnya sejak 17 Agustus 1945.
Selain itu, sebanyak 24 persen responden “tidak menerima” karena Belanda sudah seharusnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Adapun, sebanyak 16,27 persen responden “menerima” atas dasar adanya peralihan kedaulatan secara de jure memang terjadi pada 27 Desember 1949.
Meskipun sebagian besar responden tidak menerima pernyataan Belanda perihal tanggal kemerdekaan, namun nyatanya pemerintah Indonesia sendiri seolah tidak menganggap pengakuan kemerdekaan Belanda sebagai suatu hal yang urgen.
Pengakuan itu tentu tidak akan terlepas dari kepentingan politik dan upaya untuk meneruskan hubungan diplomatik Indonesia dan Belanda. Utamanya, ketika pemerintah Orde Baru membuka jalan hubungan diplomatik demi kepentingan dagang dan pembangunan ekonomi Indonesia.
Jika pemerintah Indonesia seolah tidak menganggap pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia sebagai suatu hal yang urgen, lantas apakah benar permohonan maaf Belanda mengandung unsur “ada udang di balik batu”?
Politik Reparatif Belaka?
Menurut seorang profesor sejarah di University of Sydney Robert Aldrich dalam tulisannya yang berjudul Apologies, Restitutions, and Compensation permohonan maaf Belanda yang disertai dengan pengakuan akan kejahatan yang pernah dilakukannya disebut sebagai salah satu bentuk dari reparative politics alias politik reparatif.
Alrich menjelaskan setidaknya terdapat tiga bentuk tindakan politik reparatif antara lain permohonan maaf dan penyesalan, pengembalian objek warisan, serta kompensasi moneter atas kejahatan kolonial yang pernah dilakukan.
Pada akhirnya, penjelasan Aldrich menjadikan apa yang dilakukan Belanda saat ini menjadi wajar. Berawal dari permohonan maaf dan penyesalan, Belanda memutuskan untuk mengembalikan pusaka keris milik Pangeran Diponegoro yang selama ini tersimpan di Museum Nasional Etnologi Leiden kepada Indonesia.
Kompensasi moneter atas kejahatan kolonial juga turut digelontorkan Belanda untuk membayar praktik kolonialismenya di masa lalu.
Pada bulan lalu, salah seorang anggota kabinet PM Belanda sempat menyampaikan permohonan maaf sekaligus menyediakan dana sebesar Rp3,2 triliun sebagai kompensasi kejahatan kolonialisme terutama praktik perbudakan.
Pernyataan itu telah dibenarkan Menteri Perlindungan Hukum Belanda Franc Weerwind terkait isi laporan RTL bahwa Pemerintah Belanda berencana meminta maaf secara resmi pada bulan Desember.
Pemerintah Belanda bahkan akan menyediakan dana sekitar Rp422,31 miliar untuk membuka museum perbudakan.
Kembali kepada konsep politik reparatif, Aldrich menyebutkan beberapa faktor-faktor yang mendorong terjadinya praktik politik semacam itu antara lain karena adanya kepentingan politik, sektarianisme, nasionalisme, kondisi geopolitik, disparitas kekuatan antarnegara, dan sebagainya.
Hal itu kemudian menjadi masuk akal mengingat Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini melakukan pertemuan bilateral dengan PM Rutte untuk membahas perundingan Indonesia-EU CEPA, kerja sama transisi energi, kerja sama investasi, serta kerja sama penanggulangan kejahatan lintas batas.
Merujuk pada kerja sama Belanda-Indonesia pada tahun 2020 silam, Raja dan Ratu Belanda pernah dikabarkan membawa investasi senilai Rp14,3 triliun. Beberapa di antaranya adalah pengembagan Tanjung Priok (khususnya Terminal Vopak), pengembangan pabrik susu Friesland Campina, dan investasi Shell (Royal Dutch Group) di sektor hilir minyak dan gas.
Investasi-investasi tersebut bisa jadi merupakan bentuk politik reparatif Belanda. Pasalnya, di beberapa negara eks-jajahan – terutama Afrika – reparasi kolonial berupa investasi dan bantuan dana seringkali dianggap sebagai bentuk baru penjajahan di era kontemporer.
Menurut Sheriff Folarin dalam tulisannya yang berjudul Reparation or Recolonization menjelaskan reparasi kolonial yang merujuk pada bentuk neo-kolonialisme era modern ditandai dengan upaya dominasi pengaruh suatu negara atas negara lain dalam hal ekonomi dan budaya tanpa kontrol secara langsung seperti penjajahan di masa kolonial.
Oleh karena itu, permohonan maaf Belanda kemungkinan tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, melainkan sebagai upaya politik reparatif belaka yang dilatarbelakangi dengan kepentingan ekonomi, diplomatik, dan budaya.
Selain itu, mayoritas publik tidak menerima akan pengakuan Belanda yang menganggap Indonesia merdeka pada 27 Desember 1949. Namun, pemerintah Indonesia sendiri seakan memberi tanggapan bahwa permohonan maaf dan pengakuan kemerdekaan sebagai dua hal yang tidak urgen. (Z81)