Sejak Arab Saudi dipimpin oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS), negara konservatif itu semakin menjadi terbuka. Keputusan tersebut menjadi sebuah pertanyaan, mengapa paham wahabi yang menjadi ciri khas negara Saudi kini seakan dihilangkan? Apakah MBS mampu melepaskan wahabi serta pengikut-pengikutnya?
Paham wahabi disebut-sebut memiliki peran penting dalam pembangunan Arab Saudi, meskipun aliran itu dapat diartikan sebagai pandangan Islam yang berpegang teguh pada purifikasi atau pemulihan Islam sesuai dengan Alquran dan hadis dan melarang inovasi.
Pendiri Wahabi Muhammad bin Abdul Wahab seringkali menyampaikan ide-ide yang bersifat radikal terkait gerakan reformasi konservatif yang didasari oleh aturan moral yang ketat dalam ceramahnya. Abdul Wahab bersama rekannya Muhammad bin Saud kemudian merealisasikan ide-ide pemurnian Islam dengan mendirikan Negara Saudi.
Paham itu diterapkan secara turun-temurun hingga pada akhirnya mulai terhapus ketika Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) berkuasa. Negara Saudi kemudian mulai menunjukkan keterbukaannya dan meninggalkan paham wahabi.
Kini Saudi telah memiliki citra yang lebih moderat dimana perempuan diperbolehkan mengendarai mobil, perayaan natal, perizinan konser dan bioskop, menciptakan kota “surga alkohol”, diperbolehkannya perempuan mengenakan bikini di pantai tertentu, perempuan hidup sendiri tanpa wali, dan sebagainya.
Bahkan, dalam satu wawancara MBS menegaskan ajaran Wahabi bukan satu-satunya ideologi di Arab Saudi. “Hari ini tak boleh ada satu pun pihak yang memaksakan ajaran mereka yang menjadikannya satu-satunya paham di Saudi,” ungkap MBS ketika itu.
Lantas, apa yang melatarbelakangi MBS perlahan menghapus paham yang selalu diakomodir oleh Kerajaan Saudi dan pembangunan negara itu?
Dipicu Revolusi Iran?
Satu hal yang menjadi menarik yakni suatu kemungkinan bahwa wahabi sebenarnya tidak pernah diniatkan sebagai ideologi negara Saudi. Ajaran itu merupakan pengaruh dari revolusi Iran.
Negara Saudi nyatanya pernah menjadi negara yang relatif moderat secara kultural tepatnya pada tahun 1979. Namun, meskipun demikian benih-benih konservatif sudah ada di negara itu. Pada tahun yang sama, Revolusi Khomeini di Iran memengaruhi paham negara tersebut.
Gejolak politik yang terjadi di Iran telah memberi dampak yang signifikan bagi seluruh negara-negara Liga Arab. Ajaran Khomeini menyebar ke seluruh Semenanjung Arab. Ajaran tersebut lantas menjadi tantangan bagi negara-negara Arab.
Demi meredam ajaran Khomeini di Saudi, Raja Khalid bin Abdulaziz kemudian menerapkan doktrin yang menyatakan bahwa agama Islam yang diterapkan di Saudi adalah Islam yang paling benar, sementara Islam Syi’ah dari Iran ditekankan sebagai Islam yang salah.
Dengan demikian, pihak kerajaan Saudi memperkuat hubungan politiknya dengan kelompok Wahabi. Alhasil, negara Saudi berhasil melekatkan ideologi itu hingga menjadikannya sebagai identitas atau ciri khas negara itu.
Bahkan, penyebaran Islam sesuai dengan paham wahabi juga dijadikan salah satu agenda politik internasional.
Lalu, jika memang ajaran wahabi tidak pernah diniatkan menjadi acuan paham di Saudi, bagaimana nasib kelompok wahabi dalam pemerintahan MBS saat ini?
Tidak Benar-Benar Dihapus?
Berangkat dari penjelasan bahwa wahabi yang tidak benar-benar diniatkan sebagai paham di negara Saudi, penghapusan paham ini kiranya dapat menjadi suatu upaya strategi politik MBS untuk menyingkirkan lawan politiknya.
Penghapusan ajaran wahabi ternyata juga dibarengi dengan penangkapan ulama yang mengkritik kebijakan MBS. Bahkan dirinya dipandang sebagai salah satu aktor yang membatasi kekuasaan ulama soal urusan negara.
Spekulasi mengenai penyingkiran lawan politik terlihat jelas ketika MBS menahan tiga orang pangeran senior Saudi. Dua di antara ketiganya yang paling menonjol antara lain Pangeran Ahmed bin Abdul Aziz, mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Saudi yang juga sepupunya dan Pangeran Mohammed bin Nayef (MBN), mantan putra mahkota dan Mendagri yang sedang menjabat saat itu.
Keduanya ditahan, diinterogasi, serta diselidiki dengan dalih pengkhianatan, meskipun tidak ada tuduhan jelas terhadap mereka. Pada akhirnya, kekuasaan mereka sirna. Bahkan, MBN telah disingkirkan dari jabatannya demi melicinkan jalan MBS untuk mengambil tahta melalui ayahnya, Raja Salman.
Setelah berhasil keluar dari jerat cercaan internasional menyusul isu pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi tampaknya MBS tidak punya hal yang ditakutkan. Terlebih, dirinya merengkuh dukungan penuh dari Presiden Trump.
Dengan begitu, MBS seolah memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun yang dia inginkan demi mengamankan kekuasaannya. Baik itu harus menyingkirkan golongan ulama, keluarga yang jadi pesaing, pelaku bisnis, maupun kelompok penekan.
Oleh karenanya, MBS agakmya menerapkan sistem kediktatoran, namun diselaraskan dengan gaya Abad ke-21. Tak heran, jika orang-orang dari golongan apapun yang menentangnya atau mengkritik kebijakannya akan bernasib buruk.
Nyatanya, pembebasan perempuan yang dianggap sebagai moderat tak selalu sejalan dengan hakikat kebebasan hak asasi di negara moderat. Dengan demikian, tampaknya MBS tidak benar-benar menghapus paham wahabi, melainkan lebih kepada strategi politik belaka untuk menyingkirkan orang-orang yang dapat mengancam kekuasaannya.
Namun, di saat yang bersamaan, upaya MBS untuk menciptakan citra moderat dipercaya mampu mewujudkan upaya diversifikasi ekonomi negara itu. Benarkah demikian?
Kurangi Ketergantungan Minyak?
Di samping kemungkinan isu penyingkiran lawan politik, penghapusan paham wahabi dipercaya dapat meningkatkan investasi melalui diversifikasi ekonomi di negara yang terkenal akan ketergantungan minyaknya itu.
Dalam satu konteks tertentu, hubungan antara MBS dengan Presiden Uni Emirat Arab (UEA) Putra Mahkota Mohammed bin Zayed alias MBZ digambarkan layaknya seorang mentee dan mentor.
Bisa jadi, MBS merefleksikan bagaimana MBZ mendiversifikasi ekonomi negaranya kea rah pariwisata bersamaan dengan progresivitas moderat UEA sejauh ini.
Upaya diversifikasi ekonomi kemudian boleh jadi diyakini MBS mampu untuk mempertahankan pendapatan negara dari lonjakan harga minyak dunia.
Selain itu, upaya tersebut bisa jadi merupakan buah pembelajaran dari negara-negara Arab lain yang berhasil menjadi negara maju yang tidak bergantung kepada produksi minyak. Salah satu contohnya yaitu negara Turki yang menjadikan negara itu sebagai negara maju alias emerging market oleh International Monetary Fund (IMF).
Turki merupakan produsen terkemuka di dunia khususnya pada sektor pertanian, tekstil, kendaraan bermotor, kapal, sarana transportasi lainnya, bahan bangunan, elektronik konsumen, dan peralatan rumah tangga.
Oleh karenanya, salah satu kebijakan yang paling menonjol dari MBS yakni terkait diversifikasi ekonomi yang diturunkan melalui program-program yang dituju untuk mencapai target dalam Visi 2030.
Visi 2030 merupakan kerangka strategi sekaligus misi Saudi untuk mengurangi ketergantungan minyak sebagai sumber utama pendapatan negara. Diversifikasi akan merambah pada pengembangan di sektor pendidikan, kesehatan, hingga pariwisata.
Untuk mewujudkan pengembangan pada seluruh sektor tersebut, penghapusan citra wahabi terhadap dunia internasional diperlukan agar dapat meningkatkan minat investor dalam maupun luar negeri untuk berinvestasi.
Pembangunan yang kini dilakukan MBS dilihat sebagai upaya yang cukup agresif, terlebih Saudi tengah melakukan proyek ambisius antara lain NEOM (kota cerdas termasuk infrastruktur modern di dalamnya), the red sea project, qiddya (pusat hiburan, olahraga, dan seni), pengembangan Provinsi Asser, menjadikan gerbang Diriyah sebagai tujuan wisata budaya, serta AMAALA sebagai proyek wisata super mewah (berfokus pada kesehatan, hidup sehat, dan meditasi).
Selain itu, dengan citra negara yang lebih terbuka dan moderat, MBS juga kiranya ingin menjadikan Saudi sebagai mitra komunitas internasional dalam isu-isu global kontemporer. Bahkan dari sektor olahraga, Saudi menunjukkan ambisinya untuk menjadi tuan rumah olimpiade internasional di masa mendatang.
Kedua kebijakan di dalam dan luar negeri yang diusung pemerintahan MBS kiranya merupakan implementasi dari teori two-games level yang diungkapkan oleh Robert D. Putnam.
Konsep two-level games dapat diartikan sebagai sebuah metamorfosa yang terjadi pada dua ranah yaitu internasional (level 1) dan domestik (level 2). Keterkaitan antara keduanya akan mempermudah keberhasilan kebijakan.
Di titik ini, narasi penghapusan paham wahabi yang diungkapkan oleh Pangeran MbS hanya lah sebuah upaya untuk memperbaiki citra internasional dan diversifikasi ekonomi. Selain itu, Pangeran MBS bisa jadi berniat untuk meningkatkan investasi dan melepas ketergantungan minyak. (Z81)