Site icon PinterPolitik.com

Mahathir Bisa Buat Jokowi Terganggu?

mahathir bisa buat jokowi terganggu

Mahathir Mohamad (kiri) kala masih menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) Malaysia menyaksikan penandatanganan kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Putrajaya, Malaysia, pada 8 Agustus 2019 silam. (Foto: AFP)

Mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad menyebutkan bahwa seharusnya Malaysia meminta kembali wilayah Singapura dan Kepulauan Riau (Kepri) sebagai bagian dari Tanah Melayu. Mengapa Mahathir terdengar ingin mengambil wilayah kedaulatan Indonesia?


PinterPolitik.com

Terkadang, masa lalu membuat manusia merasa sulit untuk melangkah maju. Siapa sangka bila memori-memori masa lalu tidak akan terulang lagi di masa depan?

Padahal, tidak jarang, memori-memori di masa lalu merupakan momen-momen bahagia. Bahkan, bisa dibilang, momen-momen itu menjadi memori paling bahagia yang masih belum terkalahkan.

Kala sang mantan pergi meninggalkan diri kita sendirian, misalnya, tidak jarang kenangan-kenangan masa lalu menjadi satu-satunya peninggalannya. Entah itu memori baik maupun buruk, peninggalan memori itu tetap saja menjadi hal yang paling berharga.

Mungkin, kepemilikan akan apa yang ada di masa lalu ini tengah menghantui banyak orang, termasuk pejabat dan politisi. Salah satunya adalah mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad yang kini menjadi anggota parlemen (MP) untuk Langkawi.

Dalam kegiatan yang bertajuk Kongres Survival Melayu, Mahathir memberikan sejumlah kata-kata dalam pidatonya. Menariknya, Mahathir masih mengungkit-ungkit apa yang terjadi di masa lampau.

Politikus yang sebelumnya juga pernah menjadi PM Malaysia ke-4 pada tahun 1981-2003 tersebut mengatakan bahwa Tanah Melayu dulu luas. Bahkan, bila perlu, Malaysia harusnya meminta kembali bagian dari tanah tersebut – seperti Singapura dan Kepulauan Riau (Kepri) di Indonesia.

Namanya orang Indonesia, pasti sensitif dengan klaim-klaim yang dilakukan oleh pihak Malaysia. Sontak saja, sejumlah politisi dan tokoh Indonesia – beserta para warganetnya – langsung memberi komentar terhadap pernyataan Mahathir.

Ketua Umum (Ketum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir, misalnya, menyesalkan pernyataan mantan PM Malaysia tersebut. Menurutnya, alih-alih memberikan pernyataan yang bisa memicu perdebatan dan perpecahan, seharusnya politikus Malaysia tersebut mengusulkan ide dan gagasan yang mempererat hubungan kedua negara, termasuk dengan negara-negara ASEAN lainnya. 

Tidak hanya Haesar, tanggapan juga datang dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – diberikan oleh Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani. Menurutnya, pemerintah Indonesia hingga saat ini masih memegang kendali penuh atas wilayah Kepri.

Tentu saja, pernyataan Mahathir ini menimbulkan banyak tanya di antara masyarakat Indonesia. Mengapa Mahathir sampai mengeluarkan klaim demikian? Mungkinkah ini berdampak pada wilayah kedaulatan Indonesia tersebut?

Mahathir Ingin Tiru Putin?

Narasi yang dikeluarkan Mahathir sebenarnya bukanlah hal yang baru. Gagasan agar suatu negara kembali mengklaim wilayah yang telah lepas seperti ini sering terjadi juga di berbagai belahan bumi lainnya.

Gagasan dan pemikiran seperti ini disebut sebagai irredentism (iredentisme). Istilah ini berasal dari kata “irredento” dalam Bahasa Italia yang memiliki arti sebagai “yang tidak terpenuhi”. 

Mengacu pada tulisan Zoran Malbašić dan Milovan Trbojević yang berjudul Defining Irredentism as a Security Phenomenon, iredentisme seperti ini kerap terjadi di antara sejumlah negara. Paling dekat, misalnya, ada Filipina yang mengklaim wilayah Sabah (Malaysia) sebagai bagian dari wilayahnya.

Klaim Filipina ini pun sampai menimbulkan sengketa dengan Malaysia. Mengacu pada alasan dari pemerintah Filipina, wilayah Sabah merupakan masih bagian dari wilayah Kesultanan Sulu – sebuah kerajaan yang terletak di kepulauan bagian selatan Filipina.

Kemunculan iredentisme di Asia Tenggara ini sebenarnya cukup masuk akal. Berdasarkan penjelasan Van Jackson dalam tulisannya yang berjudul A Region Primed for Peace or War?, kawasan Asia merupakan kawasan yang masih menempatkan sejarah sebagai salah satu faktor penentu dalam hubungan antar-negara.

Klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas Laut China Selatan (LCS) dengan sembilan garis putus-putusnya (nine-dash line), misalnya, didasarkan pada klaim-klaim historis. Bahkan, pemerintah Tiongkok sampai meningkatkan jangkauan militernya di LCS – membuat banyak negara pengklaim lainnya merasa terancam.

Apa yang dilakukan oleh Tiongkok di LCS ini tentu menjadi masuk akal. Pasalnya, seperti yang dijelaskan Malbašić dan Trbojević dalam tulisannya tadi, iredentisme juga bisa menjadi salah satu penyebab konflik bersenjata antar-negara. 

Contoh paling nyata yang kini bisa diamati adalah konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Meski para ahli melihat banyak faktor mempengaruhi, salah satu alasan yang disebut menjadi motivasi Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menjalankan “operasi khusus” di Ukraina adalah iredentisme.

Seperti yang diketahui, Putin merasa Ukraina merupakan bagian dari Rusia. Sentimen Putin ini didasarkan pada kejayaan Uni Soviet di masa lampau – yakni kala Ukraina masih menjadi bagian dari Uni Soviet.

Berkaca dengan apa yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, mungkinkah hal yang sama bisa terjadi antara Malaysia dan Indonesia – mengingat narasi iredentis telah dikeluarkan oleh Mahathir juga?

Ternyata Mahathir Insecure?

Bila melihat dinamika politik kawasan di Asia Tenggara, konflik bersenjata secara langsung antara Indonesia dan Malaysia menjadi hal yang sulit terjadi. Pasalnya, interdependensi ekonomi dan sosial-budaya antara kedua negara ini juga bisa menjadi salah satu faktor yang menghalangi kemungkinan tersebut.

Di sisi lain, dari sisi geopolitik, terdapat persoalan yang lebih besar – di mana kepentingan Malaysia dan Indonesia bisa konvergen, yakni tensi geopolitik yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Bukan tidak mungkin, ASEAN harus berpandai-pandai mengatasi persoalan ini.

Lantas, bila kemungkinan terjadinya konflik kecil, mengapa Mahathir meluapkan narasi yang bersifat iredentis? Apa sebenarnya tujuan dari mantan PM Malaysia yang pernah se-angkatan dengan Presiden Soeharto tersebut?

Konteks yang menarik dari pernyataan Mahathir adalah tempat di mana sang mantan PM melontarkan gagasan tersebut, yakni di sebuah pertemuan yang bertajuk Kongres Survival Melayu. Istilah yang disebutkan oleh Mahathir pun adalah Tanah Melayu.

Tentu, gagasan iredentis ini bisa dijelaskan menggunakan tulisan Alex Au Wipang yang berjudul Who is Malay?. Dalam tulisan tersebut, Wipang menjelaskan bahwa ada perasaan insecure pada kelompok Melayu di Malaysia – bermula sejak era Malaya (setelah Britania Raya melepaskan kontrol atas koloninya tersebut).

Ini pun sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Mahathir sendiri dalam bukunya yang berjudul The Malay Dilemma. Mantan PM Malaysia tersebut menyebutkan bahwa terjadi disharmoni rasial di antara kelompok-kelompok etnis Malaysia sejak era Malaya – utamanya kelompok Melayu dan kelompok Tionghoa.

Maka dari itu, mengacu pada penjelasan Wipang, kelompok Melayu kerap membutuhkan kisah-kisah kejayaan (grandiose) agar tidak merasa tersaingi dengan kelompok etnis Tionghoa yang punya sejarah panjang soal berbagai dinasti bangsa Tiongkok (Middle Kingdom).

Inilah mengapa akhirnya kelompok Melayu di Malaysia membutuhkan unsur-unsur budaya Austronesia lainnya – dan mungkin pengakuan wilayah juga – di luar batas-batas negara modern Malaysia. Sudah bukan hal yang jarang apabila masyarakat Indonesia kerap dibuat kesal terkait klaim-klaim budaya.

Lagipula, mengacu pada penjelasan Svenja Weber dan Gianpiero Petriglieri yang berjudul To Overcome Your Insecurity, Recognize Where It Really Comes From, validasi eksternal menjadi penting untuk didapatkan ketika terdapat perasaan insecurity (tidak percaya diri). Boleh jadi, pernyataan Mahathir hanyalah semacam validasi di tengah insecurity yang terjadi di dinamika internal Malaysia. (A43)


Exit mobile version