Intervensi yang dilakukan Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) dalam pengelolaan kompetisi sepak bola Arab Saudi membuat kedatangan para pemain bintang sepak bola Eropa ke Saudi Pro League (SPL) dengan tawaran gaji fantastis dinilai hanya mengulang kesalahan yang dilakukan Xi Jinping di Tiongkok. Benarkah demikian?
Eksodus para pemain bintang sepak bola Eropa ke Saudi Pro League (SPL) tidak lepas dari intervensi yang dilakukan Pangeran Mohammed bin Salman (MbS).
Intervensi yang dimaksud adalah gelontoran dana dari lembaga investasi milik pemerintah Arab Saudi yang dipimpin sang putra mahkota, yakni Public Invesment Fund (PIF) yang mengakusisi 80 persen saham empat klub besar SPL. Empat klub tersebut adalah Al Ittihad, Al Ahli, Al Hilal, dan Al Nassr.
Dengan gelontoran dana yang seakan tidak terbatas jumlahnya, menjadikan empat klub tersebut dapat mendatangkan para pemain yang sebelumnya berkarier di liga-liga top Eropa dengan tawaran gaji yang nilainya fantastis.
Cara yang dilakukan Arab Saudi dalam rencana pengembangan sepak bola mereka sekarang, tampak serupa dengan yang dilakukan Tiongkok pada periode 2015 hingga 2020, yang kemudian jamak dinilai sebagai contoh kesalahan dalam rencana pengembangan sepak bola.
Well, mengapacara yang dilakukan Tiongkok tersebut dinilai sebagai contoh kesalahan pengelolaan sepak bola?
Seperti yang dijelaskan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Soccer Dream Xi Jinping Gagal Total?, pemerintah Tiongkok saat itu menyediakan mekanisme bagi klub Chinese Super League (CSL) untuk menggelontorkan dana demi memboyong pemain-pemain liga top Eropa untuk menaikkan pamor dan kualitas sepak bola Tiongkok, yang pada akhirnya diharapkan berdampak pada pendapatan negara dan citra politik pemerintahan Xi Jinping.
Namun, ketika Pandemi Covid-19 melanda dan negara dalam kondisi krisis, hal itu membuat klub-klub CSL tersebut mengalami masalah finansial hingga menyebabkan klub tidak dapat membayar gaji dari para pemain bintang mereka. Akhirnya, para pemain itu memilih hengkang dan membuat sepak bola Tiongkok mengalami kemunduran.
Berkaca dari contoh tersebut, sifat negara nondemokratis seperti Tiongkok dan Arab Saudi yang ingin memiliki kendali di segala sektor kehidupan masyarakat dinilai sebagai sebuah kesalahan jika terkait dengan rencana pengembangan sepak bola.
Hal itu dikarenakan, mencampuradukkan rencana pengembangan sepak bola dengan politik dapat membuat dampak positif perkembangan sepak bola hanya bersifat sementara.
Beda halnya dengan apa yang dilakukan negara no–demokratis, dalam pengelolaan kompetisi sepak bola di negara-negara demokratis seperti di Eropa dan Amerika Serikat (AS), minimnya intervensi negara membuat perkembangan sepak bola menjadi lebih sustainable dan menimbulkan sebuah kompetisi olahraga yang sehat.
Lantas, dengan karakteristik yang sama sebagai negara non-demokratis, benarkah Arab Saudi akan mengulangi kesalahan dalam merencanakan pengembangan sepak bola yang dilakukan Tiongkok?
“Investasi” Keliru?
Sistem pemerintah yang non–demokratis dan cenderung otoriter sering dikatakan menjadikan olahraga sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaannya. Tak terkecuali sepak bola.
Sepak bola acap kali dijadikan sebagai alat politik sebuah pemerintahan untuk mencapai tujuan politik mereka.
Natalie Koch dalam publikasinya yang berjudul Sport and Soft Authoritarian Nation-building menjelaskan rezim otoriter yang lunak telah lama tertarik menjadikan olahraga elite dan massal sebagai strategi alat untuk mendapatkan rasa hormat dan legitimasi di panggung global.
Karakteristik dari rezim tersebut adalah dengan tidak mengandalkan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaannya.
Namun, mereka lebih mengedepankan dengan strategi persuasif, yang salah satunya dilakukan dengan menjadikan olahraga sebagai alat politik mereka dengan dalih sebuah investasi.
Dengan dijadikannya olahraga menjadi strategi politik rezim otoriter, membuat liga domestik negara non–demokratis yang melibatkan terlalu jauh campur tangan pemerintah menjadi tidak terlalu kompetitif dibandingkan liga domestik negara demokratis.
Ignacio Lago, Carlos Lago-Peñas, dan Santiago Lago-Peñas dalam tulisan yang berjudul Democracy and Football menjelaskan tingkat kompetitif liga domestik tim-tim di negara demokrasi yang membebaskan pengelolaan investasi sepak bola mereka ke mekanisme pasar lebih baik dibandingkan negara non–demokrasi.
Dengan begitu, iklim persaingan dalam liga diyakini akan menjadi lebih sehat dan kompetisi liga domestik akan semakin menarik.
Dalam ekonomi, hal tersebut dikenal dengan konsep laissez faire yang artinya biarkan berbuat, biarkan terjadi, dan biarkan setiap orang berbuat sekehendak hati. Frasa ini digunakan oleh fisiokrat di abad ke-18, sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan.
Pandangan laissez faire menyatakan kewajiban negara bukanlah melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan, melainkan bersandar pada sistem pasar. Laissez faire juga menyebut pemerintah tidak boleh memberi hak khusus dalam sebuah bisnis.
Dalam konteks Arab Saudi, campur tangan MbS dengan dalih bentuk investasi yang dilakukan pemerintah saat ini dalam sepak bola mereka menjadi salah satu contoh karakteristik rezim otoriter yang lunak.
Gelontoran dana investasi pemerintah disertai dengan campur tangannya dalam urusan sepak bola membuat klub-klub liga domestik mereka menjadi kaya raya dalam waktu cepat hingga mampu menggoda pemain-pemain liga top Eropa dengan tawaran gaji yang fantastis untuk rela merumput di liga yang tidak sekompetitif di Benua Biru.
Sang Putra Mahkota tampaknya sadar ada beberapa pemain top Eropa yang sudah tidak lagi mementingkan tingkat kompetitif sebuah liga, tapi lebih mementingkan gaji karena memasuki akhir masa kejayaan karier mereka.
Namun, kedatangan para pemain bintang yang diharapkan meningkatkan kualitas sepak bola mereka tampaknya tak bisa secara instan dirasakan dampaknya.
Liga domestik dengan campur tangan pemerintah seperti yang terjadi di Arab Saudi saat ini kiranya belum dapat menyaingi tingkat kompetitif liga yang berjalan tanpa campur tangan pemerintah seperti di Eropa atau bahkan di AS.
Liga sepak bola domestik AS, yakni Major League Soccer (MLS) juga terus dengan membebaskan iklim investasi terhadap klub.
Seharusnya, jika MbS ingin menjadikan SPL sebagai daya tarik bagi kepentingan negara, investasi yang dilakukan PIF bukan hanya terhadap empat klub saja.
Itu dikarenakan, keistimewaan khusus yang diberikan berpotensi menimbulkan kesan monopoli kompetisi.
Lalu, meskipun memiliki kesamaan dengan Tiongkok yang merupakan negara dengan karakteristik nondemokratis, mengapa Arab Saudi disebut-sebut harus mencontoh MLS di AS yang meminimalisir campur tangan pemerintah dalam sepak bola dibandingkan CSL di Tiongkok?
MLS Harusnya Panutan MbS?
Sepak bola di AS sejatinya bukanlah olahraga yang populer. Rakyat AS lebih identik dengan olahraga basket dan bisbol yang juga sudah membesarkan nama AS di mata dunia.
Namun, berkat pengelolaan yang dilakukan dengan profesional, sepak bola AS kini telah berkembang pesat dan menjadi salah satu olahraga yang semakin populer di sana.
Ini seolah menjadi bukti dengan minimnya campur tangan pemerintah dalam urusan sepak bola, iklim investasi menjadi sehat sehingga pada akhirnya berdampak pada kualitas pemain dan kompetisi itu sendiri.
Josh Gans dalam tulisannya yang berjudul Call It Soccer: The Rise of The World’s Game in The United States menjelaskan MLS sebagai liga kasta tertinggi di negara itu juga awalnya berinvestasi pada pemain bintang dari liga-liga Eropa.
Namun, hal itu dimaksudkan demi meningkatkan kualitas liga, serta berfungsi sebagai teknik pemasaran yang berguna mengubahnya menjadi kompetisi yang jauh lebih terhormat tanpa embel-embel politik di belakangnya.
Ihwal itu sangat penting untuk perkembangan dan popularitas permainan sepak bola modern dan profesional.
Selain itu, sepak bola AS juga fokus dengan perkembangan pemain. Contohnya adalah program MLS Next, yang sebelumnya dikenal sebagai United States Development Academy, sebagai liga pemuda yang bertanggung jawab atas perkembangan ini.
Para pemain muda ini didorong dan diberikan jalur yang realistis untuk pindah ke Eropa dan mencoba menjadikannya sebagai pemain sepak bola, sebuah alternatif selain berkuliah.
Lalu, akankah MbS akan menyadari hal itu? Atau justru liga sepak bola Arab Saudi hanya akan mengulangi kesalahan liga sepak bola Tiongkok? (S83)