Sejak 2019, Lebanon mengalami krisis politik dan ekonomi yang benar-benar sulit untuk diperbaiki. Suatu harapan muncul ketika mengetahui adanya peluang sumber daya alam yang diharapkan bisa membawa perubahan lebih baik, namun konsekuensinya harus bergandeng tangan dengan musuh bebuyutannya, Israel. Jadi, apakah ini membuat Israel akan semakin mencengkeram kawasan Timur Tengah?
Pinterpolitik.com
Kondisi perekonomian Lebanon penuh dengan permasalahan yang rumit selama bertahun-tahun, khususnya sejak tahun 2019. Ketika itu, pemerintahan Lebanon menaikkan pajak yang dianggap terlalu tinggi dan mengakibatkan demo besar-besaran di Beirut. Masyarakat yang turun ke jalan menuntut reformasi secara menyeluruh untuk mengubah sistem pemerintahan lebih baik – pemerintahan sebelumnya dinilai mengakibatkan korupsi dan kurangnya keadilan.
Namun, serangkaian protes masyarakat itu tidak mengubah keadaan secara signifikan. Bahkan, mata uang Lebanon kehilangan nilainya lebih dari 95%, ini merupakan valuasi terendah dalam sejarah negara tersebut.
Hingga bulan Maret 2020 Lebanon mengungkapkan bahwa memiliki hutang besar senilai US$92 miliar. Ini juga mengakibatkan masyarakat semakin tidak mempercayai pemerintah. Aksi protes juga terlihat semakin masif dan intens.
Sederet peristiwa sekiranya adalah momentum untuk menuntut perubahan besar. Meski ada usaha untuk itu, seperti perubahan orang-orang di pemerintahan termasuk mundurnya Diab dari kursi Perdana Menteri (PM), lagi-lagi masih belum bisa memberikan dampak sama sekali untuk melihat adanya perubahan.
Justru keadaan bertambah parah ketika mengetahui mata uang Lebanon semakin tidak ternilai. Untuk sebuah bayangan saja, US$100 dolar saja sama dengan 1,5 juta pound Lebanon pada Februari 2021. Menurut Bank Dunia, ditambah dengan kondisi pandemi Covid-19, mata uang Lebanon mengalami inflasi terburuk sejak pertengahan abad ke-19.
Kemudian pada akhirnya ada secercah harapan dari Lebanon yang diharapkan bisa mengembalikkan keadaan lebih baik lagi. Lebanon menemukan sumber energi minyak di sekitar Qana, perairan Lebanon.
Dengan adanya peluang eksplorasi minyak di daerah maritim Lebanon, diharapkan bisa mengembalikan keadaan ekonomi dan politik yang lebih baik. Fokus penghasilan tersebut seharusnya bisa memperbaiki sektor lapangan pekerjaan, asuransi kesehatan, dan jaminan pensiun.
Yang menarik adalah, eksplorasi minyak itu bekerja sama dengan Israel, negara yang selama ini tidak memiliki hubungan diplomatik yang bagus dengan Lebanon. Lantas, bagaimana kerja sama itu bisa terjadi? Lalu, apakah ini cara Israel semakin memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah?
Benci Tapi Butuh
Sejak tahun 2018 hingga 2019, Israel sudah rajin menebarkan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah, khususnnya setelah pengakuan Yarusalem sebagai ibu kota Israel oleh Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Setidaknya sudah tiga negara, yakni Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Sudan yang telah menandatangani kesepakatan kerja sama sekaligus pengakuan kedaulatan terhadap Israel.
Ini juga yang kemungkinan Israel lihat di Lebanon. Lebanon sendiri berada dalam krisis ekonomi dan politik, sehingga partisipasi Israel untuk membuat kesepakatan menjadi penting demi meraih misi kepentingannya.
Hubungan antara Lebanon dan Israel benar-benar dalam salah satu tahapan kompleksitas yang rumit. Namun, pada akhirnya sebuah kesepakatan mesti dilakukan demi keuntungan keduanya. Lalu, apa yang didapat oleh kedua negara?
Pertama, bagi Israel, ini merupakan peluang besar bagi mereka karena bisa menawarkan penawaran yang sangat dibutuhkan oleh Lebanon, sekaligus mencengkeram pengaruhnya di wilayah Timur Tengah.
Karena Israel menjadi kunci untuk memungkinkan membuka keran investasi-investasi, sebagai “penghubung” dengan negara koalisi Israel lainnya terutama AS dan Eropa yang nantinya bisa memberikan peluang naiknya perekonomian Lebanon.
Kemudian, bagi Lebanon, kesepakatan dengan Israel diharapkan dapat menguatkan kembali perekonomian yang sudah runtuh dan memang tidak ada sumber daya yang bisa menjadi solusi nyata permasalahan ekonomi saat ini. Oleh karrena itu, kesepakatan soal maritim setidaknya membuka harapan baru untuk bisa mendatangkan investor lainnya.
Menariknya adalah apabila bisa memanfaatkan dengan baik, maka bisa juga menjadikan Eropa sebagai pasar baru untuk Lebanon karena Benua Biru tengah mengalami kesulitan yang disebabkan oleh perang Rusia-Ukraina.
Dilansir dari Aljazeera, jalur 23 (ladang gas Qana) yang ada digambar merupakan area sumber minyak terbesar di wilayah Lebanon dan jalur 29 adalah wilayah milik Israel (ladang gas Karish). Nantinya lokasi Qana adalah bagian yang akan dieksplorasi oleh Lebanon.
Sampai sejauh ini terlihat Israel sedang berada di atas angin, dengan keunggulan daya tawar yang ada ditambah mengetahui bahwa alasan Lebanon adalah memulihkan perekonomian yang sudah kacau. Sudah seharusnya Lebanon menjadi “sasaran empuk” agar bisa mendapatkan tanda tangan perjanjian kerja sama sekaligus kesepakatan pengakuan kedaulatan.
Lebanon Lolos Dari Cengkraman
Kedua negara ini telah bersepakat tanpa adanya syarat rekonsiliasi terhadap hubungan dengan Israel. Berarti Lebanon mendapatkan apa yang mereka inginkan, tanpa harus tunduk terhadap prasyarat pengakuan kedaulatan secara formal.
Tapi bagaimana bisa?
Secara di atas kertas Israel unggul dalam kesepakatan maritim ini, namun pada akhirnya harus menahan hasrat untuk bisa “melumat” Lebanon. Apa yang menjadi keunggulan Lebanon untuk bisa menahan “gempuran” Israel?
Alasan utamanya adalah Lebanon akan memberikan persenan kepada Israel. Namun catatannya adalah harus melibatkan pihak lain dalam hal infrastruktur penambangan minyaknya, dan sejauh ini yang bisa digandeng oleh Israel melalui AS sebagai penengah kesepakatan ini adalah Total, perusahaan energi asal Perancis. Sayangnya, belum ada kejelasan soal pembagian keuntungan secara pasti antara kedua negara.
Jadi bisa dilihat bahwa Israel memilih memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan persenan laba dari ladang minyak Lebanon, serta cenderung sabar untuk mendapatkan pengaruh politiknya. Pilihan yang cukup bijak bagi Israel karena tidak bisa selamanya melakukannya dengan frontal dan itu juga mempengaruhi citra politik Israel sendiri.
Jadi kita bisa melihat pertarungan geopolitik dalam hal sumber daya alam terutama minyak yang menjadi alat daya tawar sebuah negara.
Memang kepemilikan sebuah komoditas minyak merupakan sebuah keuntungan terbesar bagi negara yang memilikinya. Bukan hanya sekadar membuat negara tersebut secara ekonomi meningkat drastis. Namun juga menambah kekuatan daya tawar sendiri kearah politik negara terhadap penawaran kepada negara lainnya.
Seperti kita ketahui, komoditas energi menimbulkan konflik politik antar negara hingga pada tingkatan yang lebih tinggi lagi atau singkatnya sampai pada tahap peperangan.
Dalam jurnal yang ditulis oleh Odysseas Christou dan Constantinos Adamides yang berjudul Energy Securitization and Desecuritization in the New Middle East, menyebutkan, komoditas energi akan mempengaruhi setidaknya lima sektor yang mempengaruhi peta konflik maupun isu secara umum, yaitu pengaruhnya secara politik, militer, sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dalam lanjutannya mereka berdua menuliskan bahwa sebuah komoditas khususnya energi, bisa digunakan menjadi sebuah objek keamanan sebuah negara. Jadi, secara umum bisa dipadukan antara politik dan keamanan karena komoditas energi mempunyai nilai jual yang tinggi dan menarik sebagai daya tawar.
Inilah yang dilakukan Lebanon terhadap Israel. Kepemilikan sumber daya minyak berhasil mereka konversi sebagai daya tawar politik. Lebanon tidak menjadikan sumber dayanya sebagai objek ekonomi semata, melainkan sebagai objek politik dan pertahanan.
Lebanon menunjukkan kepada kita bahwa beginilah caranya untuk memanfaatkan keunggulan geopolitik yang ada. Sesulit apapun kondisi negara dalam negerinya, harus tetap sadar terhadap keunggulan sendiri.
Setidaknya untuk sekarang, keunggulan geopolitik energi bisa memberikan nafas panjang untuk pemerintahan Lebanon. Karena perlu strategi daya tawar lainnya untuk menghadapi kemungkinan dinamika politik kawasan lainnya
Akan tetapi, menjadi sangat penting bagi Lebanon ketika kesepakatan ini bisa berhasil perlu dimanfaatkan secara benar untuk perbaikan. Sebab masalah utamanya ada pada pemerintah dengan segala kompleksitas yang mengacaukan stabilitas dalam negerinya. (A88)