Site icon PinterPolitik.com

Korut Akan Sulut Perang Asia?

2022 03 25 12 13 07 c0477d6cde61b082fcbae0f28086305e 620x413 thumb

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un berjalan menjauhi apa yang media sebut sebagai "model baru" rudal balistik antar benua (ICBM) dalam foto tanpa tanggal yang dirilis Kamis (24/3/2022) oleh Kantor Berita Sentral Korea (KCNA). (Foto: ANTARA FOTO/REUTERS/KCNA /HP/DJ)

Korea Utara (Korut) meluncurkan 80 rudal sebagai respons atas latihan militer bersama Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan (Korsel). Namun, belakang ini Korut memang gencar melakukan peluncuran rudal. Lantas, adakah aktor penyokong di balik peluncuran itu? Serta mampukah peluncuran rudal itu memicu perang di kawasan Asia?


PinterPolitik.com

Ketegangan konflik antara Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) masih terus berlanjut. Baik Korut maupun Korsel masih belum bisa berdamai mengakhiri perang di antara mereka, meskipun kedua pemimpin negara itu pernah tampil akrab dengan berjabat tangan dengan hangat pada tahun 2018 lalu.

Sekilas terkait Perang Korea, perang ini terjadi pada 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953. Perang tersebut juga mendapat julukan sebagai perang proksi alias proxy war antara Amerika Serikat (AS) plus sekutu dan komunis Republik Rakyat Tiongkok (RRT) plus Uni Soviet.

Peserta utama perang tak lain yaitu Korut dan Korsel. Sekutu utama Korsel adalah AS, Kanada, Australia, dan Inggris, juga ditambah bantuan dari negara lainnya.

Di sisi lain, Korut dibekingi oleh RRT yang menyediakan kekuatan militer, sedangkan Uni Soviet menyediakan penasehat perang, pilot pesawat, dan juga persenjataan.

Berdasarkan sejarah singkat tersebut, gerak-gerik sekutu di Korsel menjadi suatu hal yang signifikan bagi Korut. Terlebih, ketika baru-baru ini AS dan Korsel sempat melakukan latihan militer bersama.

Aksi AS dan Korsel hampir pasti menyulut amarah Korut, yang bahkan sempat meluncurkan 80 rudal pada 2-5 November 2022 atau tiga hari yang sama ketika AS dan Korsel menggelar latihan militer. Peluncuran rudal itu juga melibatkan 500 personel dalam latihan angkatan udara Korut.

Aksi itu disebut-sebut sebagai respons langsung atas provokasi AS dan Korsel. Berdasarkan suatu laporan, Korut mengklaim bahwa peluncuran rudal itu sebagai simulasi serangan yang menargetkan pangkalan udara Korsel dengan memusnahkan target udara di ketinggian dan jarak tertentu.

Meskipun minim informasi sehingga menyebabkan spekulasi dari berbagai pengamat, peluru kendali balistik antarbenua alias intercontinental ballistic missile (ICBM) disebut-sebut gagal saat di tahap kedua peluncuran.

Dari berbagai pandangan ahli, terdapat satu yang menilai Korut sebenarnya tidak sedang menguji potensi rudal. Salah satunya diungkapkan oleh analis di Forum Pertahanan dan Keamanan Korea Selatan Shin Jong Woo yang menyebut rudal EMP Korut umumnya ditembakkan pada ketinggian ratusan kilometer, bukan ribuan.

Shin juga berpendapat bahwa peluncuran rudal bisa menandakan bahwa Korut sedang berlomba untuk unjuk gigi karena berada dalam situasi putus asa dan terburu-buru. Benarkah demikian?

Saling Unjuk Gigi?

Sehubungan dengan hal itu, AS dan Korsel mengklaim militer bersama mereka merupakan tanggapan atas peningkatan jumlah dan skala uji coba rudal Korut selama beberapa tahun belakangan. Dengan kata lain, latihan militer bersama dianggap sebagai suatu respons atas ancaman Korut yang semakin besar.

Sebenarnya, pada tahun 2019 lalu Korsel dan AS juga sempat menjadwalkan untuk melakukan latihan militer bersama. Berita ini kemudian dibantah oleh Presiden Donald Trump ketika bertemu dengan Presiden Korsel Kim Jong Un di Singapura ketika itu.

Itu agaknya merupakan usaha Trump untuk menghentikan program pembuatan senjata nuklir Korut. Trump meyakinkan dengan tidak lagi menggelar latihan militer bersama secara besar-besaran dengan Korsel.

Sehubungan dengan hal itu, AS dan Korsel tampaknya sedang memainkan suatu tindakan exhibisionist dalam ranah politik. Berdasarkan Cambridge Dictionary, istilah exhibisionist merujuk kepada seseorang yang sedang berusaha untuk menarik perhatian melalui perilaku tertentu.

Lantas, jika memang ternyata Korut hanya upaya “cari muka” alias merujuk pada political exhibisionist, mengapa rudal menjadi suatu pilihan utamanya mengingat negara itu tampaknya belum dapat dikatakan sebagai negara makmur? Adakah negara penyokong di balik peluncuran rudal tersebut?

Siapa Penyokong Rudal Korut?

Kemungkinan lainnya yang tak kalah menarik yaitu adanya intervensi Rusia dalam intrik ini. Probabilitas itu sendiri berangkat dari pernyataan militer Korsel dimana mereka menganalisis puing-puing rudal yang ditembakkan Korut.

Sebelumnya, mereka menganalisis puing rudal itu karena fenomena ini merupakan pertama kalinya semenjak semenanjung Korea terbagi pada akhir perang dimana rudal ditembakkan begitu dekat dengan perairan teritorial Korsel.

Akhirnya, Korsel mencari rudal di dalam perairan dengan mengirim kapal penyelamat. Kementerian Pertahanan Korsel kemudian menyatakan rudal itu diidentifikasi sebagai rudal SA-5 yang dapat digunakan sebagai rudal darat-ke-darat.

Dia juga menambahkan bahwa rudal itu serupa dengan rudal yang digunakan Rusia untuk ditembakkan darat-ke-udara.

Adapun, dugaan lainnya didasari oleh sumber pendapatan Korut yang menjadi sumber pendanaan rudal.

Analis dari Institute of Science and International Security menyatakan bahwa setidaknya terdapat lima sumber dana program pembuatan senjata Korut antara lain karena perdagangan dengan Tiongkok, pekerja Korut yang dikirim ke Tiongkok, industri narkoba, dugaan penyaluran uang dari perusahaan Tiongkok, dan hasil penjualan senjata.

Hal itu menunjukkan bahwa mungkin saja negara penyokong di balik peluncuran rudal itu bisa jadi adalah Tiongkok. Pernyataan itu didasari oleh data dari Badan Intelijen Pusat AS yang mencatat sekitar 75 persen perdagangan Korut yaitu dengan Tiongkok.

Dengan adanya dua dugaan bekingan tersebut, lantas apakah perang Asia akan meletus karena peluncuran rudal itu?

Sulut Perang Asia?

Pertanyaan terakhir yang agaknya paling mengkhawatirkan yaitu terkait kemungkinan perang di kawasan Asia, terutama Korut dianggap sebagai negara yang kuat karena senjata nuklirnya dan potensi terlibatnya AS dalam konfrontasi.

Menurut teori deterrence yang diungkapkan oleh Robert P. Haffa Jr. dalam tulisannya yang berjudul ​​The Future of Conventional Deterrence: Strategies for Great Power Competition, untuk mempertahankan perdamaian dunia melalui upaya pertahanan tanpa aksi militer maupun peperangan yang dapat diwujudkan dengan tekanan kapabilitas aktor penangkal dengan keunggulan sebuah kualitas, jumlah kekuatan, dan daya juang yang besar serta terlatih yang dimiliki oleh negara dalam melakukan strateginya.

Kapabilitas dapat menjadi suatu instrumen untuk menekankan keyakinan negara penyerang bahwa ancaman yang dilakukan hanya akan menghadirkan sebuah konflik bersenjata dari potensi keuntungan yang diinginkan sehingga membutuhkan strategi yang kredibilitas dan kejelasan politik dalam melakukan tindakan.

Peluncuran rudal agaknya merupakan salah satu cara Korut dalam membuktikan kemajuan teknologi rudal dan nuklirnya. Upaya itu merupakan suatu ancaman belaka untuk mengantisipasi ancaman yang dibuat oleh negara lawan sehingga Korut harus membuat lawan mundur.

Peluncuran rudal tampaknya menjadi strategi jitu Korut untuk menunjukkan kredibilitasnya jika terjadi serangan atau perang dengan negaranya, maka akan memiliki dampak yang luar biasa bagi negara lawan sehingga dirinya harus menarik perhatian pada ancaman yang diberikan.

Di saat bersamaan, kemungkinan mengarahkan rudal langsung kepada musuh pun masih cukup sulit tampaknya untuk dibayangkan jika Korut memiliki persepsi detterence.

Oleh karena itu, intrik yang belakangan memanas kemungkinan tidak mampu memicu perang di kawasan Asia karena hanya sebatas upaya political exhibisionist ataupun deterrence belaka. (Z81)

Exit mobile version