Presiden Joe Biden dan Presiden Xi Jinping baru saja bertatap muka di Bali. Media menggambarkan pertemuan tersebut positif, tapi kalau kita perhatikan, sebenarnya tidak begitu banyak perubahan yang signifikan dalam hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok. Apakah hubungan kedua negara besar ini akan selalu ‘stagnan’?
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 menjadi salah satu event politik yang paling diantisipasi tahun ini. Bagaimana tidak, pertemuan para pemimpin dari 20 negara ekonomi terbesar di dunia ini mempertemukan dua negara yang sering dilihat sebagai rival dalam beberapa tahun terakhir, yakni Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Pertemuan tahun ini bahkan memiliki catatan tersendiri karena untuk pertama kalinya Presiden Joe Biden bertemu secara tatap muka dengan Presiden Xi Jinping setelah dirinya menjadi presiden AS.
Kita pun tidak perlu menunggu berlama-lama hingga akhir KTT G20 untuk menantikan pertemuan Biden dan Xi. Satu hari sebelum KTT dimulai, kedua pemimpin kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut melakukan pertemuan bilateral, dan disebut berbincang selama lebih dari tiga jam.
Beberapa media mencoba menggambarkan pertemuan Biden-Xi berujung positif, dengan beberapa judul artikel menyoroti gestur kedua kepala negara yang tampak tersenyum dan saling berjabat tangan. Kemudian, beberapa kutipan juga berulang kali menjadi judul artikel berita, seperti Biden yang disebut tidak ingin ada Perang Dingin antara AS dengan RRT, misalnya.
Namun, kalau kita coba telusuri lebih dalam, sebenarnya pertemuan Biden-Xi tidak menghasilkan sesuatu yang begitu signifikan. Pertama, Biden dan Xi masih belum memiliki pemahaman yang sama tentang eskalasi konflik di Taiwan; kedua, AS masih belum dapat kepastian tentang sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di RRT; ketiga, ambiguitas kemampuan serta kemauan RRT untuk menghalau Korea Utara (Korut) mengembangkan senjata nuklirnya.
Ya, sederhananya, meski pertemuan kemarin bisa menjadi tolak ukur yang baik, kenyataannya posisi politik AS-RRT masih dalam status stalemate atau buntu.
Beberapa bahkan menilai justru hubungan mereka akan memburuk karena niatan AS untuk memperkuat eksistensi militernya di Asia masih belum terhalang. Kemudian, tidak adanya konsensus bersama juga berarti AS masih bisa memperkuat tekanan ekonominya pada RRT, seperti yang mulai terlihat dalam beberapa waktu terakhir dalam pembatasan ekspor mikrocip dari AS ke RRT, misalnya.
Fenomena ini kemudian memancing pertanyaan, kenapa tensi politik AS-RRT tampak selalu dalam posisi yang stalemate atau buntu? Apakah ini murni hanya akibat kedua pihak tidak benar-benar berani mengeskalasi konflik?
Tiongkok Sebenarnya ‘Disandera’ AS?
Anggapan umum yang terdapat di benak banyak orang tentang kondisi persaingan AS dan RRT adalah kedua pihak saling ketergantungan secara ekonomi sehingga jika ada yang berani membuat hubungan kedua negara ini menjadi seperti ketika era Perang Dingin, maka semua pihak akan dirugikan.
John Thornhill dalam tulisannya China and the US remain locked in mutually assured co-operation di laman Financial Times bahkan menjuluki fenomena politik ini dengan suatu istilah yang disebut mutually assured co-operation, yang bermakna AS dan RRT tidak akan berperang karena sama-sama bergantung pada kerjasama ekonomi.
Akan tetapi, stagnannya persaingan dan tensi politik AS dan RRT sebenarnya jauh lebih dalam dari itu. Kalau memang AS tidak berani menyakiti RRT karena itu juga akan ikut menyakiti perekonomiannya, mengapa Biden baru-baru ini memperketat ekspor mikrocip ke Tiongkok? Padahal, seperti sudah diketahui umum, manufaktur alat elektronik di Tiongkok justru menguntungkan AS karena biayanya lebih murah. Dalam jangka panjang, bukankah ini malah terlalu berisiko bagi AS sendiri?
Well, untuk mencari jawabannya, kita perlu mengenal terlebih dahulu dua konsep dalam politik internasional yang sangat penting, yakni Kindleberger trap dan Thucydides trap. Ilmuwan politik AS, Joseph S. Nye dalam tulisannya The Kindleberger Trap, menjelaskan bahwa Kindleberger trap adalah perangkap yang terjadi jika ada suatu negara yang masih terlalu lemah untuk menjadi adidaya, namun ikut nebeng dalam sistem internasional untuk menjadi kekuatan besar pesaing adidaya.
Jika itu terjadi, Nye melihat bahwa akibatnya akan sangat fatal, mulai dari ketidakpastian ekonomi dan bahkan pecahnya sejumlah perang besar akibat ambiguitas hegemoni. Ini dicontohkan Nye melalui apa yang terjadi ketika AS pertama kali mencoba mengambil posisi sebagai hegemon pada tahun 1930-an ketika Kerajaan Inggris sudah tidak lagi menjadi negara yang terkuat. Kala itu, kelemahan kepemimpinan AS menyebabkan The Great Depression atau Depresi Hebat, dan gagal mencegah meletusnya Perang Dunia II.
Oleh karena itu, Kindleberger trap meyakini bahwa jika jika suatu negara baru semakin menguat dan mendekati hegemon, maka negara yang jadi adidaya sebelumnya perlu memastikan terlebih dahulu negara yang menggantikan atau mendampinginya tidak hanya nebeng dalam sistem internasional, dan cukup kuat untuk menanggung beban sebagai negara hegemon. Dalam konteks AS-RRT, Negeri Paman Sam perlu ‘merestui’ RRT untuk memperkuat diri agar AS tidak perlu memikulnya setiap saat.
Akan tetapi, Thucydides trap yang dipopulerkan Graham T. Allison justru bermakna sebaliknya. Jika suatu tatanan hegemon tertantang oleh sebuah kekuatan baru, maka sudah pasti benturan kekuatan antara keduanya akan mengakibatkan perang besar. Argumen ini diambil Allison dengan mengamati bahwa 12 dari 16 kasus sejak tahun 1500-an, di mana ada sebuah kekuatan baru yang menentang kekuatan besar, akhirnya berujung pada perang.
Kalau kita gunakan pandangan Thucydides trap ini, maka wajar bila AS menghambat RRT menjadi kekuatan besar karena itu berpotensi akan berakhir pada konflik besar.
Namun, yang terjadi antara AS dan RRT justru tampaknya adalah gabungan dari kedua konsep tadi. Hubungan ekonomi antara AS dan RRT memang menjadi pembuka gerbang bagi Negeri Tirai Bambu untuk jadi kekuatan besar dunia, ini bisa kita lihat dari begitu banyaknya investasi AS yang mengalir ke RRT sejak mereka membuka diri pada pasar global pada tahun 1980-an. Sebagai adidaya, tentu AS menyadari hal ini.
Menariknya, di sisi lain ‘gerbang’ tersebut sepertinya dijaga begitu ketat oleh AS agar tidak terbuka terlalu lebar, atau dalam kata lain, agar RRT tidak menjadi kekuatan yang terlalu kuat untuk menantang AS. Itulah mengapa posisi AS terhadap RRT tampak selalu seperti tarik ulur, suatu waktu RRT terlihat dibiarkan oleh AS untuk menjadi kuat, tapi dalam beberapa kesempatan AS juga tampak menjaga agar kekuatan RRT tetap berada ruang lingkup yang aman.
Dengan demikian, jika interpretasi ini benar, maka bisa diartikan bahwa sebenarnya perkembangan RRT menjadi kekuatan besar sesungguhnya selalu dalam kendali AS. AS perlu RRT menjadi lebih kuat, tapi tidak dalam kapasitas yang dapat mengancam dominasi AS.
Dari pandangan ini, kita bisa berkesimpulan bahwa persaingan kedua negara ini mungkin tidak sekompetitif seperti yang diperkirakan banyak orang. RRT selalu dalam pantauan AS sementara AS masih memegang kendali penuh.
Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah, kira-kira kenapa AS perlu berlaku demikian pada Tiongkok?
RRT Bahan Percobaan AS?
Milton Friedman, seorang ekonom AS sempat mengguncang dunia pada tahun 80-an dengan menilai bahwa kebesaran RRT adalah “American-made”, yakni sebuah hasil desain AS. Walau kontroversial, pernyataan tersebut masih menyisakan pertanyaan, yakni kenapa AS perlu menciptakan pesaingnya sendiri?
Well, jawaban dari pertanyaan itu bisa kita refleksikan melalui tulisan Francis Fukuyama berjudul The End of American Hegemony. Di dalamnya, Fukuyama menilai bahwa hegemoni yang mengglobal sesungguhnya telah menyakiti AS, negara digdaya ini memiliki sejumlah persoalan politik domestik yang perlu dibenahi tapi selalu tertuntut oleh tugasnya untuk juga mengawasi dunia.
Oleh karena itu, berdasarkan pandangan Fukuyama tadi, sebenarnya masuk akal bila AS mulai berpikir mendelegasikan sejumlah tanggung jawab globalnya pada negara-negara baru yang mulai bangkit. Sederhananya, multipolarisme dibanding unipolarisme mungkin adalah salah satu pertimbangan yang begitu menggiurkan bagi AS dalam waktu-waktu dekat ini dalam struktur politik luar negerinya.
Namun, Fukuyama juga menilai bahwa dunia yang relatif mayoritas demokratis adalah sesuatu yang tetap perlu dipertahankan AS sebisa mungkin, akibatnya, AS tidak akan benar-benar merestui kekuatan otoriter seperti Tiongkok menggantikannya sebagai penguasa dunia.
Nah, jika pandangan ini benar, maka kita sepertinya bisa mengambil satu kesimpulan menarik. Jika bangkitnya RRT adalah sesuatu yang didesain AS, dan semua gerak geriknya selalu terpantau dan dikendalikan Paman Sam, maka sejumlah gejolak geopolitik seperti tensi Laut China Selatan (LCS), Taiwan, dan Korut bisa jadi hanyalah gertakan dari Negeri Paman Sam agar RRT tetap menjaga “sikapnya” dan tetap pada ruang lingkup yang sudah disediakan AS.
Mengerikannya, kalau anggapan ini benar, maka kita mungkin bisa analogikan RRT layaknya sebuah eksperimen yang perkembangannya terus dipantau para ilmuwan agar bisa berkembang dengan baik, tapi para ilmuwan tersebut selalu memberikan hukuman jika bahan percobaan ini mulai lepas kendali atau terlalu kuat.
Pada akhirnya, bagaimanapun juga, besar kemungkinannya stagnansi tensi AS-RRT bukanlah sesuatu yang tidak disengaja, tapi ada sebuah agenda besar di baliknya yang dieksekusi sebaik mungkin agar masing-masing pihak tidak terlalu melewati “garis merah”. Yang jelas, semua ini menarik untuk kita simak perkembangannya. (D74)