Menjelang satu tahun Perang Rusia-Ukraina berlangsung, publik sudah mulai mengalihkan perhatiannya dari situasi geopolitik global. Akan tetapi, di tahun 2023 ini ancaman perang besar masih ada dan mungkin sedang menghadapi puncaknya.
“There are two problems for our species’ survival – nuclear war and environmental catastrophe – and we’re hurtling towards them. Knowingly.” – Noam Chomsky
Hanya dalam waktu beberapa hari lagi, perang antara Rusia dan Ukraina secara resmi akan berlangsung tepat selama satu tahun. Ya, pada tanggal 24 Februari 2022 silam, Rusia melancarkan “operasi militer khusus” ke Ukraina.
Berbagai dinamika pun telah terjadi. Dimulai dari agresi Rusia yang berhasil mendapatkan sejumlah wilayah Ukraina di awal-awal perang, sampai perlawanan balik dari pasukan Presiden Volodymyr Zelensky pada akhir tahun 2022, yang berhasil mendapatkan kembali wilayah Kherson.
Selain perkembangan langsung di medan tempur, perkembangan isu yang menegangkan juga terjadi di panggung politik internasional.
Kita tentu ingat bagaimana sejumlah negara Barat, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Eropa secara keseluruhan, menjatuhkan serangan sanksi ekonomi kepada Rusia dan kroni-kroni Presiden Vladimir Putin. Akibatnya, dunia kala itu dihebohkan dengan ancaman krisis ekonomi dan krisis pangan karena Rusia dan Ukraina adalah negara yang cukkup berpengaruh dalam dua hal tersebut.
Kini, tidak lagi hanya mengandalkan ekonomi, kekuatan gabungan negara Barat juga mulai berani mengirim sejumlah main battle tank (tank tempur) ke Ukraina. Rumor tank yang dikirim pun tidak main-main, AS disebut-sebut akan mengirimkan tank M1-Abrams-nya, tank tempur berat andalan mereka, begitu juga Jerman dengan tank Leopardnya, walau sampai saat ini belum benar-benar dipastikan.
Selain tank-tank berat ini, sejumlah kabar juga menyebutkan negara-negara Barat tengah mempersiapkan mengirim rudal-rudal canggih yang mampu mencapai jarak tempuh 200 mil. Yap, bisa kita katakan dengan kiriman-kiriman senjata ini Ukraina telah dijadikan sebagai negara berkekuatan militer terkuat di Eropa Timur.
Sembari melihat dinamika yang menunjukkan perang belum kunjung selesai, orang-orang semakin bertanya-tanya, akan berakhir seperti apa Perang Rusia-Ukraina ini? Apa yang akan terjadi bila Rusia menang atau Ukraina menang?
Bagaimanapun Juga Dunia Akan Tersiksa?
Tidak dipungkiri bahwa saat ini perhatian dunia terhadap Perang Rusia-Ukraina semakin berkurang, mungkin, orang-orang sudah mulai bosan melihat berita tentang Rusia dan Ukraina yang terlihat tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Namun, orang pun sepertinya mulai lupa bahwa terlepas dari seberapa lama perang ini akan terus berlangsung, ada malapetaka besar yang senantiasa menunggu di balik semua skenario akhir perang yang dapat terjadi.
Untuk skenario pertama, tentang apa yang akan terjadi bila akhirnya Rusia kalah, kita bisa berkaca pada apa yang belakangan ini diungkapkan analis risiko dan pendiri Eurasia Group, Ian Bremmer. Ia mengatakan bahwa dunia kemungkinan besar akan dilanda malapetaka dahsyat bila akhirnya Putin merasa tertekan.
Dalam video wawancaranya dengan Big Think berjudul 10 biggest world threats of 2023, ranked, Bremmer menilai bahwa Rusia yang diasingkan dan terkucilkan sangat mungkin menjadikannya sebagai ancaman dunia yang bahkan lebih besar dari ancaman krisis ekonomi global.
Rusia mungkin memang belum bisa dikatakan benar-benar kalah, akan tetapi, menurut Bremmer, sesuai dengan perkembangan sekarang, sangat jelas sekali Rusia tidak akan sanggup kembali ke keadaan status quo atau semula seperti sebelum melancarkan serangan ke Ukraina.
Negara Eropa sekarang sudah berusaha semampu mungkin melepaskan ketergantungan pasokan energi mereka ke Rusia, dan besar kemungkinannya mereka tidak akan pernah berinvestasi ke sana. Dari perspektif politik, Rusia telah dilihat sebagai penjahat perang oleh AS dan sekutu-sekutu terdekatnya, alhasil, apa pun yang akan Rusia lakukan di masa depan, kubu Barat akan sangat-sangat defensif dan mungkin tidak akan membiarkan Rusia bertindak otonom di panggung internasional.
Namun ancamannya tidak berhenti di situ. Jika memang di perang ini Rusia kalah dan skenario di atas terjadi, maka apa yang terjadi pada Putin dan kelompok nasionalisme Rusia adalah mereka akan merasa sangat terpojok. Apa yang terjadi bila sebuah negara benar-benar terpojok? Layaknya seekor predator yang terkurung, mereka akan merasa putus asa dan bertindak semampu mungkin agar musuhnya ikut menderita bersamanya.
Ya, Bremmer menduga kuat bahwa jika Rusia semakin dikucilkan dan menjadi mirip seperti Korea Utara (Korut) atau Iran, motivasi Putin untuk menggunakan senjata nuklirnya akan semakin kuat. Kalau sudah demikian, entah di manapun Anda hidup, kita semua akan jadi korbannya.
Lalu, bagaimana jika Putin menang? Well, skenario yang akan terjadi sepertinya juga tidak akan baik bagi dunia.
Pengamat sekaligus sejarawan politik internasional, Liana Fix dan Michael Kimmage dalam tulisan mereka What If Russia Wins?, menilai bahwa dominasi Rusia di wilayah Ukraina akan sangat menghancurkan skala keseimbangan kekuatan tidak hanya di Eropa, tapi juga berpotensi pada dunia.
Sebagai respons langsung kekuatan Rusia yang terlegitimasi, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) akan semakin memperkuat pertahanannya di perbatasan-perbatasan dekat Rusia. Kemudian, proses bergabungnya Finlandia dan Swedia kemungkinan besar akan semakin dipercepat dan dipermudah karena dua negara itu sanggup menjadi “pengunci” geografis Rusia di perbatasan utara, khususnya untuk menutup potensi ancaman dari pelabuhan Saint Petersburg.
Polarisasi politik dunia pun akan semakin dikerucutkan, sangat mungkin sekali negara-negara NATO akan memainkan narasi “kalian bersama kita atau melawan kita”. Alhasil, negara yang selalu berusaha netral seperti Indonesia akan terombang-ambing dengan segala bentuk ancaman yang bisa muncul dari kubu Barat maupun kubu Rusia.
Yap, bagaimanapun juga, kalau kita ingin melihat keadaannya, akhir perang Rusia dan Ukraina justru besar kemungkinannya tidak akan jadi suatu hal yang bisa kita antisipasi secara antusias.
Lantas, bagaimana kita bisa “yakin” bahwa perang yang ada sekarang bisa menjadi masalah lebih besar yang mungkin berujung pada perang dunia baru?
Diam-diam Menjadi Besar?
Satu hal yang kerap keliru di benak orang dalam memprediksi datangnya sebuah perang besar adalah umumnya mereka menganggap perang tersebut dimulai dengan suatu peristiwa ddahsyat layaknya pertandingan final dalam turnamen sepakbola.
Namun, perang besar tidak terjadi seperti itu. Kalau kita melihat sejarah, khususnya dalam melihat penyebab meletusnya Perang Dunia I, sejarawan umumnya menyebut pembunuhan Adipati Agung Franz Ferdinand-lah yang menjadi pemantik perang, akan tetapi, sebelum Ferdinand terbunuh pun daratan Eropa sebenarnya sudah dilanda ketegangan yang begitu tinggi, khususnya di wilayah Balkan.
Robert Gilpin dalam bukunya War and Change in World Politics, menyebutkan bahwa gesekan kekuatan dunia yang berujung pada perang, sesuai sejarahnya, terjadi akibat perang-perang kecil yang terakumulasi.
Penjelasannya lebih jelasnya adalah sebagai berikut. Politik internasional membuat seluruh negara di dunia memiliki interaksi dengan tetangga-tetangganya. Pada awalnya, hubungan antar negara yang berdekatan mungkin berlangsung secara damai, perdagangan bisa terjalin, kolaborasi proyek bisa dibangun, dan semacamnya.
Namun, seiring perkembangan waktu, percikan-percikan politik secara alamiah pasti akan terjadi, entah itu karena ketidakcocokan budaya, perbedaan norma, atau hanya akibat perbedaan pandangan tentang apa yang bagus dan apa yang jelek. Kalau sudah begitu, persaingan pun terjadi, jika tidak bisa menemukan titik temu, maka konflik kecil antara kedua negara itu meletus.
Lalu, bagaimana konflik antar dua negara bisa jadi perang besar? Well, di dalam perang, segala macam taktik dan strategi perlu dipermainkan agar memperoleh keunggulan, dan sering kali, negara yang terlibat dalam perang mencari bantuan dengan negara lain yang mungkin tidak terdampak langsung agar mereka bisa memberikan bantuan ekonomi atau sekadar tenaga kerja.
Nah, karena politik internasional secara dasarnya adalah sebuah jejaring yang menghubungkan beberapa negara, mau tidak mau jika ada satu negara yang memutuskan memberi bantuan pada negara yang sedang berperang, risiko diskriminasi politik akan meluas, negara yang tidak dibantu akan merasa dimusuhi dan akhirnya mereka mengajak negara lain juga untuk membantunya.
Masih untung bila antar negara yang membantu tersebut tidak terjadi percikan politik juga.
Kalau sudah begitu, skenario yang dapat terjadi antara dua negara yang saling berjauhan dan tidak terlibat langsung dalam perang akan dihadapkan pernyataan seperti ini oleh negara yang ikut terseret perang:
“Kalau kalian mau manfaat hubungan politik kita berlanjut, kalian harus bantu kami membantu teman kami yang sedang membantu temannya dalam perang.”
Dari sini, tentu sudah jelas bukan bagaimana konflik yang relatif “domestik” seperti Perang Rusia-Ukraina dapat menjadi bibit dari suatu perang besar di masa depan?
Pada akhirnya, tulisan ini hanya menjadi basis logika kita saja tentang sifat-sifat dasar suatu perang. Kita perlu sadar bahwa meskipun panasnya politik internasional saat ini tidak sepanas seperti tahun lalu, ancaman perang besar masih ada di sekitar kita. Kita harap saja usaha untuk menciptakan perdamaian lebih besar dari egoisme menciptakan dominasi di planet bumi ini. (D74)