Munculnya video blog (vlog) dari seorang youtuber bernama Yu Mi yang memperlihatkan kehidupan di Korea Utara (Korut) tampak bahagia seolah menjadi justifikasi rezim Kim Jong-Un bahwa negaranya tidak se-menyeramkan yang digambarkan media-media Barat. Benarkah demikian?
Seorang video blogger (vlogger) asal Korea Utara (Korut) bernama Yu Mi membagikan video kesehariannya di Ibu Kota Korea Utara (Korut), Pyongyang, dalam kanal Youtube Olivia Natasha – YuMi Space DPRK Daily sejak Agustus 2022.
Dalam video pertama yang berdurasi empat menit dan telah ditonton lebih dari 41ribu kali tersebut dia menunjukkan bahwa kehidupan di Korut berjalan normal dan tampak bahagia.
Jelas, munculnya video ini menarik perhatian dunia internasional yang beranggapan bahwa Korut merupakan negara yang misterius dan menyeramkan.
Dalam sepuluh video yang di unggah, Yu menampilkan keseharian di Pyongyang dan berbicara dalam bahasa Inggris namun dengan aksen Korea yang masih terdengar jelas.
Yu kedapatan memperkenalkan es krim Korut pada penonton di unggahan pertamanya. Sejak itu, Yu secara teratur menyoroti berbagai cerita gaya hidup Pyongyang, seperti mengunjungi taman hiburan, berbelanja di toko bahan makanan, makan di restoran, dan berlatih di studio kebugaran.
Fokus seluruh tayangan YouTube menggambarkan Pyongyang sebagai tempat tinggal yang diinginkan. Yu Mi juga menyebutkan bahwa pemimpin tertinggi Korut, Kim Jong-Un berusaha memperbaiki kehidupan warganya.
Sebelumnya, media sosial juga sempat dihebohkan dengan kehadiran vlogger cilik asal Korut bernama Song A.
Tidak berbeda jauh dengan Yu Mi, Song A juga membagikan kesehariannya di Korut namun dengan aksen bahasa inggris yang kental.
Gambaran tentang kehidupan sehari-hari di Korut yang muncul di media sosial bukan hanya dari dua bocah asal Korut tersebut saja. Beberapa warga negara dari luar Korut pun tampak beberapa kali membagikan bagaimana kehidupan di sana.
Salah satunya warga negara Indonesia (WNI) bernama Haris, dengan akun TikTok @kharismuda. Dalam video yang di unggah 2020 lalu, meskipun awalnya sempat khawatir ketika memutuskan berlibur ke Korut, namun pada kenyataannya Korut digambarkan tidak se-menyeramkan yang di kira.
Haris mengatakan Pyongyang ternyata kota yang maju, suasananya bersih dan teratur. Tidak ada copet, kemiskinan, dan kelaparan, apalagi kriminalitas, begitu setidaknya yang menjadi narasi Haris.
Bahkan, Korut sudah mempunyai sistem transportasi kereta bawah tanah yang disebut Metro sejak tahun 1974. Menurut Haris sama ketika berkunjung ke negara lain, liburan di Korut akan aman selama mengikuti aturan dari pemerintah setempat.
Testimoni semacam itu tampaknya menjadi oase di tengah narasi buruk soal Korut dan rezim Kim Jong-Un.
Lantas, mengapa testimoni dari pihak ketiga di sosial media dan bukan merupakan saluran resmi pemerintah Korut menjadi penting bagi citra rezim Kim Jong-Un?
Kim Jong-Un dan Alternatif Kebenaran
Di tengah pemberitaan negatif oleh media mainstream internasional terhadap rezim Kim Jong-Un karena terbatasnya informasi tentang negara itu, muncul sebuah kebenaran baru di media sosial yang menyatakan kehidupan di Korut tidak sepenuhnya seperti apa yang di beritakan.
Testimoni dari para pegiat media sosial nampaknya menjadi justifikasi rezim Kim Jong-Un bahwa warga Korut memiliki kehidupan yang sama seperti negara lain.
Konten-konten di media sosial yang mulai muncul menggambarkan bagaimana keseharian warga di Korut berjalan normal tersebut seakan membungkam pemberitaan yang sebelumnya diyakini bahwa Korut negara yang menyeramkan. Ini menggambarkan apa yang kita sebut sebagai fenomena post-truth.
Jayson Harsin dalam tulisannya Post-Truth and Critical Communication Studies, menjelaskan post-truth sebagai kondisi sosial dan politik di mana masyarakat tidak lagi menghormati kebenaran yang sebenarnya, tetapi justru meyakini suatu ide yang sebetulnya belum tentu tepat, hanya karena faktor perasaan dan lebih mudah dipercaya.
Harsin beranggapan, kampanye post-truth bisa dengan mudah menyebar ke suatu sistem yang masyarakatnya mulai memiliki kebiasaan mencari kebenaran dari suatu isu. Itu dikarenakan keingintahuan masyarakat adalah permintaan.
Merujuk apa yang di jelaskan Harsin, rasa penasaran masyarakat di era informasi ini tentang bagaimana gambaran kehidupan di Korut sedikit demi sedikit mulai terjawab.
Hal ini yang kemudian mulai disadari pemerintah Korut dengan mulai bermunculannya konten-konten yang menjelaskan kehidupan normal yang ada di Korut.
Rezim Kim Jong-Un tampaknya mencoba membentuk perspektif baru dengan menyajikan fakta yang selama ini seolah tertutupi oleh berita negatif karena terbatasnya informasi yang diperoleh masyarakat tentang Korut.
Pemerintah Korut seolah ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa kabar negatif tentang kehidupan disana tidak sepenuhnya benar. Masyarakat Korut hidup bahagia meskipun tidak terlihat mewah seperti negara tetangga mereka, Korea Selatan (Korsel).
Hal tersebut kemudian tampak memperlihatkan bahwa kebenaran tidak ada yang absolut. Pembentukan perspektif ini sesuai dengan apa yang di jelaskan oleh filsuf Jerman Friedrich Nietzsche melalui paham perspektivisme.
Nietzsche mengatakan sesungguhnya tidak ada satu orang pun yang memiliki kemampuan mengetahui kebenaran absolut tentang dunia nyata, karena kebenaran yang di akui pada ujungnya bermula dari interpretasi yang pada dasarnya berawal dari subjektivisme.
Dia juga menjelaskan inti perspektivisme adalah suatu penyelubungan akan realitas kaotis itu sendiri. Perspektivisme muncul sebagai akibat tekanan akan kebutuhan berkomunikasi.
Dalam tingkat yang lebih tinggi, kebutuhan berkomunikasi telah bertransformasi menjadi kebutuhan akan pengetahuan atau kebenaran.
Lalu, dengan mulai dibukanya secara terbatas informasi tentang keadaan masyarakat di Korut apa yang hendak dicapai rezim Kim Jong-Un?
Cara Baru Perbaiki Citra?
Di tengah banyaknya pemberitaan negatif tentang kekejaman rezim Kim Jong-Un terhadap rakyatnya oleh media-media Barat, pemerintah Korut agaknya mulai memperbaiki citra di dunia internasional.
Gambaran kehidupan normal di Korut yang terekam di media sosial menunjukkan cara baru pemerintah Korut melawan pemberitaan negatif tentang mereka.
Kini, Korut seolah ingin menunjukkan bahwa negaranya tidak hanya berorientasi pada sektor militer atau military first. Namun, mulai menapaki cara yang lebih soft untuk membentuk citra mereka ke dunia internasional.
Tujuan ini bukan hanya untuk memperlihatkan ke dunia internasional bahwa rezim Korut kini sudah berubah, tetapi juga memperlihatkan ke warga negara mereka sendiri jika pemimpin tertinggi mereka sedang berusaha memperbaiki kehidupan masyarakatnya.
Ini seperti apa yang di jelaskan oleh Michael Mastanduno, David A. Lake, dan G. John Ikenberry dalam tulisannya yang berjudul Toward a Realist Theory of State Action.
Dalam tulisannya itu, mereka ingin melihat hubungan politik domestik sebuah Negara yang hubungannya dengan politik internasional. Realist Theory of State Action menggabungkan level analisis antara level domestik dan level internasional.
Suatu negara bisa mempunyai tujuan ganda baik tujuan domestik maupun tujuan internasional. Begitu pula, suatu negara juga punya cara atau strategi untuk meraih tujuan tersebut, yakni bisa melalui cara atau strategi di dalam negeri sendiri (domestik) maupun di level internasional.
Jadi jika digabungkan, suatu negara bisa mempunyai tujuan domestik yang dikejar dengan menggunakan strategi internasional atau sebaliknya, mempunyai tujuan internasional yang dikejar dengan menggunakan strategi domestik.
Pada konteks Korut, Kim Jong-Un tampaknya ingin mencapai tujuan yang menambah pemasukan domestik lewat promosi pariwisata negara mereka meskipun terbatas dengan strategi konten media sosial yang dapat di lihat dunia internasional.
Strategi lainnya adalah bertujuan memperbaiki citra rezim Korut di dunia internasional dengan memperlihatkan seperti kondisi dalam negerinya yang tidak seperti apa yang di gambarkan selama ini.
Akan tetapi, analisis diatas masih sebatas interpretasi semata. Tujuan yang sebenarnya hendak di capai oleh pemerintah Korut belum benar-benar dapat dipastikan.
Yang jelas, munculnya gambaran kehidupan di Korut yang tersebar di media sosial menjadi sebuah konstruksi “kabar baik” tersendiri bahwa rezim Kim Jong-Un mulai membuka diri ke dunia internasional tentang kondisi masyarakatnya meskipun masih dalam informasi yang terbatas. (S83)