Site icon PinterPolitik.com

“Kiamat Ekonomi” Jokowi dari Karawang?

kiamat ekonomi jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (Foto: Biro Pers Setpres)

Perbincangan tentang resesi ekonomi menjadi hal yang menarik sekaligus ditakuti oleh publik. Sementara, Indonesia mulai mengalami gejala-gejala memburuknya keadaan ekonomi, seperti fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di Karawang, Jawa Barat. Perlukah ini kita waspadai? 


PinterPolitik.com  

Perbincangan ancaman krisis ekonomi telah menjadi hantu yang menggerayangi seluruh negara di dunia saat ini. Banyak negara yang diduga akan jatuh ke masa resesi dan beberapa bahkan sudah mulai mengalami dampak buruk langsung krisis ekonomi pada politik – contohnya seperti Sri Lanka yang Perdana Menterinya (PM) bahkan terpaksa harus mundur akibat permasalahan ekonomi. 

Keadaan dunia yang seperti ini tentu membuat kita perlu berkaca pada Indonesia. Apakah kita juga akan menghadapi hal yang sama? 

Well, apa pun jawaban pastinya, yang jelas Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mulai mewanti-wanti tentang semakin nyatanya krisis ekonomi dunia. Ketika mengisi acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) pada 22 Juni 2022, Jokowi mengungkapkan bahwa – menurut data yang diperolehnya dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) – saat ini ada 60 negara di dunia yang terancam “ambruk” akibat krisis. 

Jokowi pun tidak lupa memberikan pesan waspada terhadap potensi menyebarnya permasalahan ekonomi dunia ke aktivitas di Indonesia. Sektor energi, pangan, dan keuangan, menurut Jokowi, harus menjadi perhatian bersama-sama karena, jika ketiga hal itu mulai bermasalah, krisis akan sangat mungkin terjadi. 

Terkait itu, meski obrolan tentang bahaya resesi ekonomi Indonesia yang semakin dekat masih jarang dibahas, sepertinya kita sudah mulai disajikan beberapa petunjuk bahwa keadaan ekonomi sebenarnya sedang dalam kondisi yang tidak baik. 

Belum lama ini, dikabarkan bahwa ada ratusan perusahaan telah gulung tikar di Karawang, Jawa Barat. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Karawang Abdul Syukur mengatakan sampai saat ini hanya ada 900 perusahaan yang masih bertahan di Karawang. Padahal, pada tahun 2018, jumlah perusahaan di Karawang tercatat ada 1.762.  

Masalah utamanya dipercaya akibat upah minimum kabupaten/kota (UMK) Karawang yang begitu tinggi. Akibatnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi secara besar-besaran dan, bahkan, ini diduga berdampak langsung pada peningkatan tingkat perceraian yang ikut naik di Karawang. 

David Rodeck dalam tulisannya What Is a Recession? di laman Forbes mencatat bahwa peningkatan pengangguran yang signifikan dalam waktu dekat adalah salah satu rambu merah terjadinya resesi. 

Bila benar demikian, mengapa pembicaraan mengenai bahaya resesi sampai saat ini masih sangat minim di Indonesia? Padahal, kita memiliki pengalaman pahit krisis moneter 1998 (Krismon 98). 

Pemerintah Kerap “Buta” Krisis? 

Meski Krismon 98 sering dianggap sebagai krisis ekonomi besar yang terjadi secara tidak terduga akibat rantaian peristiwa finansial internasional, kenyataannya krisis yang memulai era Reformasi di Indonesia tersebut hanyalah akumulasi dari sejumlah permasalahan ekonomi kecil yang sudah terjadi sebelum tahun 1998. 

Wakil Presiden (Wapres) Indonesia ke-11 Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah mencatat bahwa salah satu alasan sesungguhnya kenapa Krismon 98 bisa terjadi sedemikian liarnya adalah karena buruknya sistem perbankan Indonesia yang sudah diterapkan selama sekian tahun.  

Ketika itu, Boediono menilai bahwa perbankan Indonesia tidak memiliki sistem early warning atau siaga awal yang baik. Sebelum tahun 1998, sudah banyak bank yang memiliki permasalahan modal.  

Oleh sebab itu, ketika rupiah tertekan akibat krisis Asia, bank-bank tidak bisa berbuat apa-apa karena banyak perusahaan yang meminjam modal dalam bentuk valuta asing. Menariknya, petunjuk-petunjuk krisis ini terjadi ketika Indonesia memasuki masa “lepas landas” – karena memiliki pertumbuhan ekonomi yang dinilai pesat.  

Karena kenyataan itu, ekonom Galina Hale dalam tulisannya Could We Have Learned from the Asian Financial Crisis of 1997-98? mengatakan bahwa sesungguhnya Krismon 98 dapat dihindari jika saja para investor dan pembuat kebijakan di Indonesia tidak mengabaikan beberapa tanda peringatan krisis ekonomi.  

Dari pemahaman ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa, berbeda dengan suatu bencana alam yang tidak bisa ditebak, bencana finansial sesungguhnya jauh lebih mudah untuk diprediksi. Petunjuk-petunjuk permasalahan ekonomi seharusnya bisa kita deteksi terlebih dahulu karena suatu krisis finansial besar tidak mungkin terjadi tanpa akumulasi masalah-masalah finansial kecil. 

Pendapat serupa disampaikan juga oleh analis risiko finansial sekaligus penulis buku The Black Swan, Nassim Nicholas Taleb. Dalam artikelnya yang berjudul Why Did The Crisis of 2008 Happen? Taleb menilai bahwa, secara keseluruhan, segala krisis ekonomi yang pernah terjadi pada umat manusia mayoritas disebabkan karena minimnya kesadaran akan keadaan ekonomi yang sebenarnya dan abainya pemerintah dalam mendeteksi sekaligus mengatasi akar-akar permasalahan ekonomi besar. 

Di dalam dunia ekonomi, dampak dari risiko-risiko yang terabaikan tetapi mampu menjadi pemantik krisis besar disebut sebagai fat-tail effect. Umumnya, di atas kertas, keadaan perekonomian dapat diprediksi, berdasarkan sekian kalkulasi, suatu investasi diharapkan dapat “balik modal” dalam waktu sekian tahun, misalnya. 

Namun, dalam dunia nyata, keadaan ekonomi dipengaruhi juga oleh beberapa faktor yang umumnya tidak tercantum dalam kalkulasi awal, taruhlah seperti peningkatan harga minyak dunia yang tiba-tiba, tensi geopolitik, PHK besar-besaran, dan fluktuasi perilaku masyarakat. Hal-hal ini kemudian menjadi fat-tail effect ketika memiliki pengaruh yang cukup dalam mengakibatkan suatu miskalkulasi finansial. 

Sederhananya, karena kita melewatkan satu variabel penting dalam menganalisis kestabilan ekonomi, kita akhirnya malah menggunakan kalkukasi yang “tercacatkan” oleh fat-tail effect

Namun, dalam sebuah artikel wawancara di laman The New Yorker, Taleb mengungkapkan bahwa sebenarnya banyak pihak – termasuk pemerintah dan investor – yang sebenarnya sudah memprediksi suatu krisis akan terjadi tetapi memang tidak berbuat apa-apa untuk mencegahnya.  

Hal ini dicontohkan Taleb dengan persoalan pandemi Covid-19, yang dari tahun 2019 sesungguhnya sudah ada beberapa pihak yang khawatir itu akan menjadi pandemi global. Namun, anehnya, seluruh pemerintah dunia mengabaikan peringatan-peringatan itu – sampai akhirnya keadaan sudah terlambat. 

Lantas, mengapa penanganan krisis kerap terlambat ditangani? 

Layaknya Katak yang Direbus? 

Ada sebuah anekdot menarik yang ditulis oleh novelis Daniel Quinn dalam bukunya The Story of B. Di dalamnya, Quinn bercerita bahwa jika Anda menaruh seekor katak di sebuah panci yang berisi air mendidih, maka katak tersebut secara panik pasti akan loncat untuk menyelamatkan dirinya. 

Namun, jika Anda meletakkan katak itu dengan hati-hati di dalam panci berisi air hangat dan kecilkan apinya, ia akan tetap mengapung dengan tenang. Saat air mulai memanas, katak itu akan tenggelam dalam keadaan pingsan yang tenang, dan tak lama kemudian, dengan senyum di wajahnya, katak itu akan membiarkan dirinya direbus sampai mati. 

Anekdot ini layaknya pas jika kita menggunakannya untuk menjelaskan mengapa pemerintah kerap terlambat merespons suatu keadaan genting meskipun itu dapat berakibat fatal di negaranya. Kembali berkaca ke Krismon 98, permasalahan modal asing mungkin tidak terasa bagi pemerintah karena secara makro perekonomian masih dianggap dalam keadaan baik. Namun, tidak dipungkiri bahwa luka-luka kecil tetap terjadi meski itu belum membuat negara lumpuh. 

Jared A. Brock dalam artikelnya We’re Living in a Boiling Frog Economy mengatakan bahwa, jika lingkungan sosio-ekonomi-politik berubah dalam waktu yang lambat secara gradual, kebanyakan orang secara tidak sadar akan mendapati diri mereka menanggung penderitaan yang besar berkat normalitas yang merayap. 

Di dalam konteks ekonomi, apa yang dimaksud Jared adalah, kita seringkali menghadapi kenaikan harga suatu barang secara gradual tetapi menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Padahal, jika dirunutkan secara kronologis, mungkin kenaikan harga tersebut akan terlihat luar biasa. 

Kembali mengutip perkataan Nassim Nicholas Taleb, normalisasi ini salah satunya dapat terjadi akibat pengaturan alur informasi dan juga media sosial. Di internet, kita selalu akan menemukan argumen sandingan bahwa keadaan ekonomi Indonesia mungkin tidak separah yang diprediksi oleh beberapa ekonom tertentu. Dan seringkali, narasi-narasi ini lebih mampu menutupi argumen para ekonom yang berusaha membangun kesadaran bahwa keadaan ekonomi kita tidak baik-baik saja. 

Hal ini lumrah terjadi karena para pemegang kepentingan mungkin merasa terlalu berisiko bila harus melakukan persiapan-persiapan pencegahan krisis. Oleh karena itu, Taleb mengatakan bahwa jika kita ingin benar-benar tanggap dalam menghadapi krisis, maka model bisnis dan ekonomi secara keseluruhan perlu dirombak.  

Well, pada akhirnya apa yang disarankan Taleb mungkin adalah hal yang terlalu imajinatif – meskipun merupakan sebuah ide yang menarik.  

Bagaimanapun juga, kembali ke konteks keadaan ekonomi sekarang, seharusnya krisis kecil yang terjadi di Karawang mampu menjadi teguran awal bahwa Indonesia harus lebih waspada akan ancaman resesi. Masyarakat dan pemerintah tidak boleh melihat ini hanya sebagai fenomena ekonomi yang “normal”.  

Karena itu, jika Jokowi ingin selamat dari potensi resesi, ia dan kabinetnya perlu lebih tanggap dan sigap dalam mendeteksi variabel-variabel krisis kecil yang kapan saja bisa menjadi krisis besar. (D74) 

Exit mobile version