Berkaca pada struktur keberagaman di kabinet Selandia Baru, penerimaan akan golongan minoritas dan kesetaraan gender tidak terlepas dari peran perempuan dalam ranah politik. Lantas, mampukah Indonesia memenuhi prinsip keberagaman yang selama ini digunakan sebagai “pemanis” pencitraan para politisi?
Selandia Baru mengesahkan Undang-Undang (UU) larangan membeli rokok seumur hidup bagi warga yang berusia remaja. Aturan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menghapus budaya merokok di negara tersebut selamanya.
Selandia Baru telah menjadi negara pertama di dunia yang menyetujui larangan merokok bagi para remaja. Para remaja yang lahir di atas tahun 2008 tidak diperkenankan untuk membeli rokok.
Pada awalnya, RUU diinisiasi oleh Menteri Kesehatan (Menkes) Selandia Baru Ayesha Verrall. Menurutnya, upaya demikian dilakukan agar para remaja tidak akan pernah mulai merokok akibat adanya pelanggaran atas penjualan dan suplai rokok tembakau bagi kelompok remaja baru. Upaya itu disertai juga dengan pengurangan kandungan nikotin pada rokok saat ini.
Ketegasan dan keberhasilan Verrall itu dinilai mampu menjadi salah satu bukti kontribusi perempuan dalam ranah politik. Di samping itu, Selandia Baru memang dikenal sebagai negara yang menerapkan prinsip keberagaman dan kesetaraan.
Kedua hal tersebut pada akhirnya mampu mendorong aktor politik perempuan untuk menunjukkan eksistensinya kepada publik.
Adapun Perdana Menteri (PM) Selandia Baru Jacinda Ardern juga dianggap sebagai politisi perempuan yang memiliki karir fenomenal dalam bidang kesehatan.
Dirinya merupakan salah satu tokoh politik di Selandia Dia Baru yang membawa negara tersebut berada pada peringkat pertama dalam menangani virus Covid-19 yang dipublikasikan oleh sebuah institut bernama The Lowy Institute dalam publikasi berjudul Covid Performance Index.
Selain meraup prestasi tersebut, Ardern sebelumnya dikenal sebagai perdana menteri termuda pertama di Selandia Baru. Selain itu, kabinet yang dipimpin olehnya juga menjadi sorotan dalam mewujudkan prinsip keberagaman.
Lantas, mengapa Selandia Baru seolah begitu “berwarna” dengan progresivitasnya? Serta, bagaimana jika isu dan konteks tersebut dikomparasikan dengan Indonesia?
Warna-Warni di Kabinet?
Keberagaman dari berbagai golongan telah mewarnai kabinet di Selandia Baru. Pada tahun 2020 lalu, kabinet Selandia Baru memilih Grant Robertson sebagai wakil perdana menteri gay serta Nanaia Mahuta sebagai menteri luar negeri perempuan pertama di negara tersebut.
Kabinet Ardern saat ini memiliki total 20 orang yang terdiri dari lima orang suku Maori, termasuk Mahuta yang memiliki tato wajah suku Maori-nya yang khas. Tiga dari lima orang suku Maori berasal dari kelompok LGBT+ serta dua di antaranya memiliki hubungan suku budaya dengan pulau Pasifik lainnya.
Partai Buruh Ardern yang beraliran kiri-tengahnya memang memenangkan suara mayoritas absolut di bawah sistem pemungutan suara proporsional. Kendati demikian, Ardern tetap memilih dua anggota parlemen Hijau ke dalam kementerian, meskipun di luar kabinetnya.
Adapun, warna-warni keberagaman dapat ditelisik dari pengangkatan jabatan menteri komunitas dan sektor sukarela bernama Priyanca Radhakrishnan yang berdarah India. Dia pernah menjadi pekerja sosial dan menempuh pendidikan di Singapura.
Carmel Sepuloni yang merupakan keturunan Pulau Tonga turut ditunjuk sebagai menteri pembangunan sosial. Ayesha Verrall dengan latar belakangnya sebagai dokter kesehatan masyarakat yang berasal dari salah satu negara di Asia bernama Maldewa, menempati jabatan sebagai Menteri Riset, Sains, dan Inovasi Selandia Baru.
Ardern sebelumnya memang terkenal dengan citranya yang mengakui keberagaman melalui penanganan baiknya setelah pembantaian di masjid Christchurch pada tahun 2019. Tak heran, keberagaman kabinet Ardern dan identitas dirinya telah menjadi “aset” validasi kepemimpinannya yang mengedepankan kemampuan serta prestasi para pejabat kabinet.
Keberagaman kabinet di Selandia Baru menunjukkan bahwa setiap orang dengan identitas tertentu memiliki saling setara satu sama lain.
Namun, apakah kesetaraan semacam itu benar-benar tanpa celah jika diimpelementasikan?
Politik Identitas “Positif”?
Henri Tajfel mendefinisikan identitas sosial sebagai bagian dari konsep yang melekat pada diri seseorang yang didasari oleh pengetahuan individu tersebut akan nilai dan emosional dirinya sebagai bagian dari anggota suatu kelompok sosial.
Jika merujuk pada definisi seperti itu, identitas sosial merupakan suatu faktor utama dalam praktik politik identitas, terutama jika seseorang memiliki kepentingan tertentu dalam ranah politik.
Uniknya, menurut Joseph A. Schumpeter dalam publikasinya yang berjudul Capitalism, Socialism, and Democracy menyatakan bahwa demokrasi modern di era digital tidak lagi berkisar pada kehendak mayoritas seperti doktrin demokrasi klasik.
Demokrasi modern lebih lanjut dijelaskan sebagai suatu perjuangan dalam mencapai kesetaraan melalui jabatan publik. Kesetaraan itu bisa dikategorikan sebagai kesetaraan rasial, kesetaraan gender, kesetaraan bagi penyandang disabilitas, hingga kesetaraan bagi mereka yang memiliki preferensi sosial-politik berbeda.
Umumnya, praktik politik identitas memang sering dikonotasikan sebagai suatu hal yang negatif. Namun, istilah tersebut kini dapat menjadi solusi bagi kelompok minoritas untuk melawan narasi-narasi kepatutan politik yang membungkam suara dan partisipasi mereka di ruang publik.
Misalnya saja, ketika Rishi Sunak dilantik sebagai PM Inggris kaum minoritas menaruh ekspektasi dan harapan yang besar untuk mewujudkan kesetaraan di Inggris.
Cakupan identitas pun berlaku pada identitas perempuan yang berpartisipasi dalam ranah politik. Oleh karenanya, Verrall dan Ardern mampu menjadi ikon perempuan dalam mewujudkan kesetaraan di Selandia Baru.
Pemanfaatan praktik identitas politik dan kesetaraan di kabinet Selandia Baru mungkin dapat memberi pengaruh yang cenderung positif. Hal ini juga tidak terlepas dari kemampuan, prestasi, serta hasil kinerja para pejabat di dalamnya sehingga profesionalitas tetap menjadi prioritas pertama pemerintahan.
Iklim keberagaman dan kesetaraan yang positif seperti ini agaknya bisa menjadi refleksi bagi Indonesia yang seringkali menjadikan kekayaan suku dan budaya sebagai kebanggaannya. Lantas, bagaimana implementasi prinsip kesetaraan akan keberagaman di Indonesia?
Hanya Mitos?
Indonesia merupakan negara yang populer akan kekayaan suku dan budaya. Identitas tersebut seringkali dijadikan “pemanis” dalam narasi yang dibawakan para politisi ketika kampanye untuk meraup suara.
Namun, praktik demokrasi klasik seringkali masih ditemukan di Indonesia. Narasi-narasi terkait presiden berdarah Jawa bahkan tidak pernah luput diperbincangkan ketika masa-masa kampanye.
Padahal, merujuk pada pernyataan Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, seiring berkembangnya sebuah ideologi baru, pandangan akan identitas multikultural dianggap sebagai penghormatan terhadap keragaman budaya.
Narasi kesetaraan gender terhadap partisipasi perempuan dalam politik juga menjadi “pemanis” yang seringkali dilontarkan oleh para politisi. Narasi ini juga perlu dipertanyakan kembali terkait konteks profesionalitasnya.
Adapun, pelibatan kaum minoritas yang belum menjadi prioritas utama, terlebih pada kaum disabilitas dan kelompok LGBT. Menurut W.W. Rostow dalam tulisannya yang berjudul Politics and the Stages of Growth, masyarakat yang sudah terlepas dari sentimen negatif yang dilekatkan pada kelompok marjinal dengan berfokus pada track record dan pencapaian-pencapaian dapat dianggap sebagai masyarakat yang telah mencapai kematangan dalam berpolitik.
Terlebih, ketika berbicara mengenai kelompok LGBT, masyarakat agaknya masih sulit untuk menerima kelompok tersebut. Padahal, masyarakat itu sendiri menjadi elemen terpenting terhadap keberhasilan kelompok marjinal untuk berpartisipasi dalam ranah politik.
Oleh karena itu, pengaruh aspek budaya dan sosial di Indonesia secara tidak langsung berpengaruh kepada penerimaan identitas sosial suatu kelompok. Meskipun demikian, adanya narasi kesetaraan gender bisa menjadi pembuka gerbang agar mampu menurunkan sentimen negatif terhadap golongan minoritas.
Pada akhirnya, berdasarkan gambaran penerapan prinsip kesetaraan kabinet di Selandia Baru kiranya dapat menjadi refleksi akan pentingnya kesetaraan berbagai golongan maupun kelompok di masyarakat yang mampu pengaruhi partisipasi politik di pemerintahan. (Z81)