Piala Dunia Qatar 2022 diterpa banyak isu. Unsur politik begitu kuat di belakangnya. Mengapa politisasi bisa dengan mudah terjadi di FIFA?
Piala Dunia! Event olahraga terbesar di dunia itu akhirnya tiba juga. Miliaran pasang mata kini terfokus pada Qatar untuk melihat aksi serta hiburan dari Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Kylian Mbappe, dan kawan-kawan.
Sayangnya, acara yang digelar oleh Federasi Sepakbola Internasional (FIFA) kali ini tampak lebih panas dibanding event Piala Dunia sebelum-sebelumnya. Kalau liat media sosial, pasti kalian sadar bahwa acara yang sedang digelar di Qatar saat ini diterpa isu-isu besar, seperti pelanggaran hak asasi manusia (HAM), pemojokkan terhadap kaum LGBTQ+, terlalu besarnya biaya yang digelontorkan, dan lain-lain.
Yang lebih menariknya, banyak pihak justru mempertanyakan alasan pertama kenapa Qatar bisa terpilih jadi tuan rumah Piala Dunia, karena umumnya seorang tuan rumah adalah negara yang tim nasionalnya (timnas) pernah bertanding di acara tersebut, lalu memiliki penggemar yang besar dan –meskipun tidak wajib- punya liga domestik yang terkenal dan ‘prospektif’ secara ekonomi.
Tapi, pemilihan Qatar sebagai tuan rumah membantah semua poin itu. Mantan Bos FIFA, Sepp Blatter pada tahun 2013 bahkan pernah membocorkan pada publik bahwa keputusan Dewan Eksekutif FIFA memilih Qatar ketika tahun 2010 adalah karena mereka memiliki kepentingan ekonomi yang besar di sana.
Yap, Piala Dunia di Qatar lagi-lagi jadi bukti bahwa sepertinya FIFA dan penyelenggaraan Piala Dunia sangat kental dengan unsur politisasi. Kira-kira mengapa ya asosiasi sepakbola terbesar dunia tersebut bisa sampai demikian?
Rentan Korupsi Sejak Awal?
Sebelum kita jawab pertanyaan di atas, kita perlu telusuri dulu sejarah FIFA. Ketika awal didirikan pada tahun 1904, FIFA hanya diniatkan sebagai asosiasi yang mengurus persepakbolaan negara-negara Eropa dan Amerika Selatan (Amsel) karena saat itu hanya negara-negara di kawasan ini yang punya antusiasme tinggi terhadap sepakbola.
Piala Dunia pertama kemudian diselenggarakan pada tahun 1930 di Uruguay. Kemudian, dalam beberapa dekade, posisi tuan rumah digilir antara negara-negara Eropa dan Amsel. Iyess, Piala Dunia pada awalnya tidak pernah dijadikan sebagai suatu event global.
Namun, semua itu berubah ketika Piala Dunia ditampilkan melalui televisi pada tahun 1950-an. Sejak itu, negara-negara dari berbagai benua ikut tertarik menjadi bagian dari sebuah acara olahraga internasional. Apalagi Piala Dunia secara historis terbukti memberikan keuntungan ekonomi yang luar biasa, utamanya dari ticketing, akomodasi, dan pemasaran.
Dari situlah bibit korupsi FIFA dimulai. Penyelenggaraan Piala Dunia tidak hanya memberikan citra kekuatan yang besar pada negaranya, tapi juga pada orang yang membuat hal itu menjadi kenyataan. Oleh karena itu, dorongan menjadi tuan rumah FIFA juga terjadi akibat ambisi politisi negara yang mendaftarkannya.
Agar suatu negara bisa terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia, mereka harus dipilih oleh suatu badan eksekutif di FIFA yang disebut FIFA Council atau Dewan FIFA. Jumlah anggota dewan ini hampir berubah setiap beberapa periode, tapi untuk sekarang mereka berjumlah 37 orang termasuk dengan Presiden FIFA. Dewan inilah yang kemudian sering dijuluki “dewa-dewa sepakbola”.
Jurnalis kawakan sepakbola Inggris, James Corbett, menyebutkan bahwa dalam menentukan siapa yang jadi tuan rumah Piala Dunia tidak pernah ada yang namanya kontestasi adil, karena segala keputusannya pasti sudah diputuskan di balik layar oleh para anggota dewan tadi.
Hal ini bisa terjadi karena agar para “dewa” tersebut mengamini keputusan negara yang menawarkan diri jadi tuan rumah, mereka tidak hanya bisa menawarkan antusiasme terhadap sepakbola yang ada di negaranya, tapi juga perlu membuat Dewan FIFA kagum. Ini kemudian dilakukan dengan melakukan sejumlah kampanye hubungan masyarakat yang menelan biaya jutaan dollar, pembangunan stadium dan hotel yang mewah, dan eksposur televisi/media. Hal ini umumnya disebut sebagai public bid.
Proses bidding ini pun tidak main-main. Setiap kali FIFA menggelar pembukaan penawaran tuan rumah Piala Dunia, tokoh- tokoh politik besar dari seluruh dunia juga kerap hadir. Ini dibuktikan ketika pemilihan Piala Dunia 2018 dan 2022 yang diselenggarakan pada tahun 2010, yang dihadiri mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Bill Clinton, Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte, dan Pangeran William dari Inggris.
Menariknya, meski pada saat itu acara dihadiri oleh para tokoh politik besar negara-negara Barat, Piala Dunia 2018 dan 2022 akhirnya malah dimenangkan oleh Rusia dan Qatar.
Nah, kalau memang benar kemudian pemilihan tuan rumah Piala Dunia ditentukan oleh kepentingan politik dan ekonomi, kira-kira mungkinkah serangan kritik terhadap Piala Dunia Qatar 2022 muncul dari pihak-pihak yang kalah dalam proses pemilihan tuan rumah pada 2010? Well, kita serahkan jawabannya ke penalaran masing-masing saja ya. (D74)