Pada 13 Juli 2022 lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden berkunjung ke Israel. Setelah lakukan pertemuan dengan Perdana Menteri (PM) Yair Lapid, Biden disebut sebagai seorang “Zionis hebat”. Apa maksudnya?
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada tanggal 13 Juli 2022 memulai tur diplomasi empat harinya ke negara-negara Timur Tengah. Tur ini dibuka dengan kunjungan ke negara sekutu terkuat AS di sana, yakni Israel.
Sesuai artikel opini yang ditulis Biden sendiri di laman The Washington Post berjudul Joe Biden: Why I’m Going to Saudi Arabia, tujuan kedatangan Biden ke Timur Tengah adalah untuk memulai babak baru mengenai keterlibatan AS di kawasan ini. Menurut Biden, Timur Tengah yang aman dan ter-integrasi sangat menguntungkan AS dalam banyak hal.
Sikap ini dibuktikan dengan kabar bahwa ternyata salah satu hasil perbincangan Biden dengan Perdana Menteri (PM) Israel Yair Lapid adalah pembahasan tentang Abraham Accords. Ini adalah perjanjian perdamaian dengan upaya normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dengan negara-negara Teluk Arab, yang dimulai pada tahun 2020, melalui dorongan dari mantan Presiden Donald Trump.
Ketika melakukan pidato di Israel, Biden juga mengatakan bahwa AS akan selalu mendukung solusi dua-negara antara Israel dan Palestina. Solusi ini membayangkan Negara Palestina yang merdeka dan hidup berdampingan bersama Israel.
Namun, yang menarik dari pertemuan antara Lapid dan Biden adalah, ketika memberikan pernyataan pers, Biden tiba-tiba mengaku bahwa dirinya adalah seorang Zionis dan untuk sebutan Zionis sendiri tidak perlu hanya disematkan pada orang keturunan Yahudi.
Pernyataan ini lantas ditanggapi oleh Lapid. Dengan muka semeringah, Lapid membenarkan klaim Biden bahwa dia adalah seorang Zionis. Tidak hanya itu, Lapid juga menyebut Biden adalah seorang Zionis hebat yang menjadi salah satu teman terdekat Israel.
Bagi banyak orang, pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, bukannya istilah Zionis hanya bisa disematkan pada orang Yahudi? Tapi jika demikian, Biden sendiri justru mengaku bahwa dia bukanlah keturunan Yahudi.
Lantas, kenapa Biden disebut sebagai “Zionis hebat”? Apa makna politik di balik julukan ini?
Biden Sang Zionis?
Kalian mungkin sering mendengar istilah “Zionis”. Kerap kali, kata ini digunakan dalam kalimat yang sifatnya mengantagoniskan Israel. Padahal, secara harfiah, kata “Zion” yang diambil dari bahasa Ibrani artinya adalah tanah tertinggi di Tanah Israel.
Di media populer, bahkan kata Zionis dicerminkan sebagai manifestasi kejahatan itu sendiri, taruhlah seperti anime Gundam pada tahun 1979 dengan organisasi antagonis utamanya yang bernama Zeon.
Lantas, sebenarnya apa yang dimaksud dengan menjadi seorang Zionis – khususnya dalam konteks politik?
Well, Theodor Herzl, seorang jurnalis keturunan Yahudi dari Hungaria-Austria, adalah orang pertama yang menjadikan zionisme sebagai sebuah paham gerakan politik. Melalui bukunya yang berjudul Der Judenstaat yang diterbitkan pada tahun 1896, Herzl berambisi bahwa para kaum Yahudi yang diusir dari Eropa kala itu harus bisa menciptakan sebuah negara Zionis di Palestina.
Merupakan rahasia umum bahwa tulisannya ini kemudian menjadi propaganda politik bagi pembela Yahudi. Secara akumulatif, ide-ide tentang negara Yahudi yang dituangkan Herzl menjadi alasan berdirinya Israel sebagai sebuah negara itu sendiri pada tahun 1948.
Karena dampaknya yang begitu krusial, Herzl kemudian dianggap sebagai “Bapak Zionisme” oleh para kaum Yahudi. Dan dari bukunya ini, kita setidaknya bisa merangkum tiga poin tentang apa maksud sebenarnya menjadi seorang Zionis modern.
Pertama, seseorang yang disebut sebagai Zionis adalah mereka yang menginginkan atau mendukung berdirinya sebuah negara Yahudi di Tanah Israel. Dalam konteks politik, seorang Zionis yang dimaksud dalam poin pertama ini berpandangan bahwa kaum Yahudi memiliki alasan yang kuat untuk memiliki tempat berdaulat di Palestina, bukan hanya sebagai imigran yang diusir dari Eropa.
Kedua, Zionis adalah orang yang menjunjung tinggi pertahanan negara Yahudi di Tanah Israel. Dalam bukunya, Herzl melihat orang-orang Arab yang tinggal di Palestina sebagai “pribumi” yang akan selalu melihat kaum Yahudi sebagai pendatang yang membawa ancaman – meski sebenarnya bisa didebatkan bahwa Yahudi pun merupakan pribumi di kawasan tersebut.
Nah, karena Herzl memandang kaum Yahudi di Israel akan selalu dianggap sebagai ancaman bagi tetangga-tetangga Arabnya, ia mengatakan bahwa seorang Zionis juga perlu terlibat langsung dalam membela negara Yahudi-nya ketika mendapat perlakuan keras dari “pribumi”. Dalam konteks politik, pandangan ini menjadi ide nasionalisme patriotik yang berperan layaknya doktrin pertahanan negara.
Ketiga, dan ini yang paling kontroversial, Herzl meyakini bahwa agar masa depan kaum Yahudi bisa aman dan terjamin, negara Yahudi yang mandiri – atau bisa kita sebut berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) adalah satu-satunya jawaban. Dengan demikian, seorang Zionis juga selalu menginginkan Israel yang terpisah dari kaum “pribumi” versi Herzl, yang bisa kita artikan sebagai etnis Arab di wilayah sekitarnya. Sederhananya, Zionis adalah mereka yang inginkan partisi atau pemisahan dari Palestina.
A. B. Yehoshua, seorang penulis Israel dalam artikelnya Defining Zionism: The Belief That Israel Belongs to the Entire Jewish People, menilai bahwa ide-ide Zionisme yang berangkat dari tulisan Herzl ini tidak hanya berlaku bagi orang keturunan Yahudi. Mereka yang punya pandangan sama meski non-Yahudi juga bisa disebut sebagai seorang Zionis.
Lantas, apakah Biden sudah memenuhi 3 poin itu?
Untuk poin pertama, jelas sudah lolos, karena AS adalah negara yang terus mendukung Israel sebagai negara merdeka, terlepas dari siapapun presidennya. Poin kedua, dengan salah satu hasil kunjungannya kemarin, yakni Deklarasi Bersama Kemitraan Strategis AS-Israel, yang digadangkan akan jadi dasar rancangan kerja pertahanan baru AS di Timur Tengah, sepertinya Biden juga lolos.
Dan untuk poin ketiga, yakni partisi negara Yahudi dan Palestina, ini agak sulit disesuaikan dengan Biden, tapi kita bisa menginterpretasikannya.
Meski secara umum Biden mendukung solusi dua-negara, kenyataannya, AS di bawah Biden belum berbuat banyak dalam mewujudkan hal itu. Taruhlah kasus pemukiman Israel di tepi barat Palestina, misalnya, yang dikabarkan semakin hari semakin banyak gedung Israel. Padahal, wilayah itu masih jadi wilayah sengketa.
Namun, Biden sampai saat ini tampak belum memberikan respons apapun. Dengan demikian, ucapan Biden tentang solusi dua-negara perlu dikritisi lebih lanjut. Secara de facto, Biden saat ini belum menunjukkan AS benar-benar mendukung solusi dua-negara.
Dengan demikian, kita bisa interpretasikan bahwa istilah Zionis hebat yang disematkan pada Biden mungkin bukanlah hanya cuap–cuap biasa.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa tujuan sebenarnya dari julukan “Zionis hebat” dari Israel pada Biden?
Israel Lempar Ancaman?
Di dalam politik, bisa dipastikan bahwa hampir di balik setiap pernyataan seorang politisi ke publik, pasti ada makna tersembunyi yang hanya akan dipahami oleh audiens tertentu, khususnya kelompok politisi lain yang memang jadi target pernyataan.
Setidaknya, hal itulah yang diyakini penulis, sekaligus kritikus politik AS, William Safire dalam bukunya Safire’s Political Dictionary. Melalui sebuah istilah yang disebut dog whistle, Safire mengatakan para politisi sering kali menggunakan teknik komunikasi politik yang menyimpan dua makna.
Secara awam, pernyataan politik yang dilontarkan mungkin tampak seperti testimoni persahabatan yang mendalam dengan salah satu tokoh. Namun, bagi mereka yang menjadi rival politik atau potensi sekutu dari politisi tersebut, pernyataan politik yang dilontarkan juga bisa menjadi ajakan bekerja sama atau justru ancaman.
Menggunakan perspektif ini pada julukan “Zionis hebat” yang disematkan Lapid pada Biden, kita setidaknya bisa menyimpulkan tiga jawaban. Pertama, ini adalah ancaman nyata pada musuh Israel, seperti Iran dan Palestina, bahwa Presiden AS yang sekarang akan sangat memperhatikan pertahanan negaranya. Ini juga bisa bekerja secara ofensif, jika Israel lakukan serangan (tidak selalu konvensional, bisa berupa serangan siber atau spionase), maka mereka pun perlu berhadapan dengan AS.
Kedua, ini juga barangkali jadi aba-aba pada Arab Saudi, atau negara Islam lainnya yang selama ini tidak tergabung dalam Abraham Accords, bahwa Presiden AS yang sekarang akan sangat membantu Israel memperkuat kembali ambisi normalisasi diplomatik dengan negara-negara Islam.
Pada intinya, dengan interpretasi yang demikian, kita bisa menyimpulkan dua hal. Pertama, dengan simbolisme menguatnya dukungan AS ini, Israel bisa dipastikan akan melakukan manuver politik yang besar dalam waktu dekat. Ini bisa berupa agresivitas pada Iran, atau Palestina.
Kedua, dalam waktu dekat juga, persuasi normalisasi diplomatik Israel kepada negara-negara Islam bisa diperkirakan akan semakin kuat, terlebih lagi, Saudi juga baru saja dikunjungi Biden. Bukan tidak mungkin, Negara Minyak itu akan diiming-imingi sesuatu yang sulit ditolak agar bergabung Abraham Accords.
Perkiraan demikian juga perlu jadi pertimbangan bagi Indonesia. Sebagai negara dengan populasi mayoritas Islam, bisa saja negara kita kembali dibujuk bergabung ke Abraham Accords, seperti yang pernah terjadi pada tahun 2020 lalu ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikabarkan menolak ajakan tersebut. (D74)