Dinamika politik internasional semakin memperlihatkan Amerika Serikat melemah. Mengapa ini bisa terjadi?
Banyak dari kalian yang mungkin mulai sadar, belakangan ini isu-isu politik internasional sepertinya semakin menjadi buah bibir masyarakat. Mulai dari pandemi Covid-19 yang menuntut perubahan cukup radikal sikap politik dan ekonomi negara-negara, hingga dinamika perang antara Rusia dan Ukraina yang dampaknya membuat para menteri luar negeri menggeleng-gelengkan kepala.
Namun, ada satu hal menarik yang mulai menjadi tren dari sejumlah isu internasional penting yang belakangan terjadi, yakni peran polisi internasional –yakni Amerika Serikat (AS)- yang semakin dianggap tidak lagi menentukan alur politik internasional.
Contoh terbaru yang bisa kita refleksikan adalah tentang persoalan produksi minyak Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC). Ketika awal-awal Perang Ukraina, Presiden AS, Joe Biden meminta OPEC meningkatkan produksi minyaknya untuk menangkal embargo minyak yang dijatuhkan dunia pada Rusia. Akan tetapi, OPEC yang secara de facto dipimpin Arab Saudi belakangan justru malah membatasi produksi minyaknya.
Terkait Perang Ukraina sendiri, banyak kritikus politik di AS yang menyayangkan kegagalan kabinet Biden dalam mencegah meletusnya perang di Ukraina. Anggapan umum yang beredar di sana, kalau AS memang masih menjadi polisi internasional, seharusnya Rusia tidak akan berani menyerang Ukraina yang belakangan terlihat lebih dekat dengan negara-negara Barat.
Fenomena ini tentu menarik untuk dikaji, apa yang sebenarnya terjadi di balik AS yang semakin terlihat “melemah”?
Era Unipolarisme Sudah Berakhir?
Kalau kalian memang mulai merasa pengaruh AS semakin melemah, berlega hatilah, karena itu bukan hanya perasaan kalian saja.
Dalam sebuah polling yang dilakukan Axios-Ipsos pada tahun 2021, tercatat sebanyak 79 persen warga AS merasa bahwa negaranya sedang dalam kondisi “falling apart”, dalam artian orang-orang itu melihat AS mulai kehilangan digdaya militer, ekonomi, dan geopolitiknya.
Kemudian, di survei berbeda yang dilakukan Pew Research Center pada tahun 2022, ketika ditanya tentang persaingan antara AS dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), 47 persen warga AS melihat bahwa negaranya terlihat semakin melemah, sementara 66 persen orang melihat RRT justru tampak semakin kuat.
Yap, fenomena ini sepertinya memang mulai jadi perhatian orang banyak. Kalau di AS, ide melemahnya negara mereka diberi istilah American decline, dan sebutan itu sudah sering menjadi topik pembicaraan para pengamat politik internasional, bahkan dari kalangan militernya sekalipun.
Dalam laporan National Defense Strategy tahun 2018, dituliskan secara gamblang bahwa keunggulan militer AS yang sudah berlangsung lama mulai berkurang, khususnya dari aspek teknologi. Contohnya adalah pengumuman jet pembom baru, B-21 Raider, yang jadi jenis pembom baru AS setelah 30 tahun lamanya. Dari pandangan pengembangan teknologi militer, jangka waktu ini dianggap sangat lamban.
Well, kalau kita coba cari alasan spesifiknya, misteri melemahnya AS sebenarnya masih menjadi teka-teki. Namun, sejarawan Emmanuel Todd pernah mengatakan, ada kemungkinan saat ini AS mengalami sindrom imperium besar yang pernah dialami Kerajaan Inggris dan Kekaisaran Romawi. Sindrom ini bergerak pada logika ironi, di mana semakin luas pengaruh negara di dunia, maka kekuatan riilnya justru semakin melemah.
Dominion yang besar, seperti yang dimiliki Inggris, Romawi, dan sekarang mungkin AS, membutuhkan biaya pemeliharaan yang luar biasa besarnya, secara finansial maupun politik. Suatu negara hegemon berkewajiban tidak hanya menjaga kestabilan politik dan ekonomi negerinya, tapi juga negara lain karena jika tidak mereka akan lepas dari imperium sang hegemon.
Ini kemudian berkorelasi dengan tulisan Ian Bremmer dalam bukunya Every Nation For Itself: Winners and Losers in a G-Zero World, yang berargumen bahwa saat ini sebenarnya tidak ada yang ingin jadi hegemon tunggal karena membutuhkan tenaga dan uang yang banyak untuk mempertahankan kekuatan yang besar.
Nah, dari pandangan ini, mungkin kita bisa sedikit simpulkan bahwa barangkali salah satu alasan kenapa saat ini AS melemah adalah karena memang mereka sudah mulai kelimpungan menjaga hegemoninya. Di sisi lain, justru ini bisa saja adalah sesuatu yang disengaja, artinya, AS mulai sadar bahwa mungkin di masa depan mereka jangan sampai jadi hegemon tunggal lagi karena ternyata peran itu sangat merugikan.
Bisa jadi itu juga mengapa sejumlah negara berkembang seperti RRT dan India mulai terlihat menguat, karena mungkin AS memang ingin mereka jadi “big brothers” bagi negara-negara Asia, sehingga AS tidak perlu lagi menghabiskan tenaga dan uang besar untuk membina wilayah tersebut. (D74)