Rentetan peristiwa memilukan di dunia akibat kerumunan telah merenggut nyawa ratusan orang. Dua di antaranya yakni Tragedi Kanjuruhan dan pesta halloween di Itaewon Korea Selatan (Korsel). Benarkah tragedi itu terjadi by accident atau justru dapat dicegah?
Bulan Oktober tahun 2022 tampaknya layak mendapat julukan “octrouble”. Usai mengawali awal bulan dengan duka atas Tragedi Kanjuruhan Indonesia, bulan ini diakhiri dengan berita duka dari Korea, tepatnya saat perayaan halloween berlangsung di kawasan distrik Itaewon Korea Selatan (Korsel).
Kilas balik Tragedi Kanjuruhan menunjukkan kecintaan fans klub sepak bola Arema Malang dan Persebaya Surabaya telah memicu banyak orang untuk berkumpul menyaksikan pertandingan sepak bola di stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Kerusuhan muncul akibat kekalahan klub Arema Malang, meski tanpa menghadirkan suporter Persebaya Surabaya. Kekalahan tersebut memicu kekesalan dan rasa frustasi para suporter Arema Malang hingga menyebabkan banyaknya suporter yang turun ke lapangan.
Lantas, aparat menyemprotkan gas air mata untuk menghalau suporter di lapangan. Namun, berdasarkan rekaman yang beredar, terlihat gas air mata tersebut tidak hanya disemprot ke arah lapangan saja, melainkan juga ke arah tribun penonton.
Gas air mata yang ditembakan dengan total sebanyak sebelas kali ke berbagai arah tribun akhirnya memicu kondisi yang lebih chaos. Banyak penonton yang mengalami sesak napas akibat berdesak-desakan pada ruang gerak yang sempit dan memakan korban jiwa.
Serupa namun tak sama, tragedi kerumunan massa di Distrik Itaewon, Seoul, Korsel yang menewaskan ratusan korban jiwa memiliki penyebab serupa.
Kerumunan massa yang tidak terkendali menjadi penyebab utama tragedi Itaewon. Berbeda dengan Kanjuruhan, Itaewon tidak dipicu oleh aksi aparat keamanan dan memiliki jumlah massa yang berbeda.
Distrik Itaewon sangat terkenal dengan bar, restoran, maupun kelab malamnya yang berjajar di sepanjang gang-gang sempit sepanjang 300 meter dengan lebar tiga hingga empat meter dengan permukaan jalannya seperti bukit.
Ketika orang-orang terjebak dalam ruang sempit dan berjejal, kerumunan orang yang panik tidak memiliki tempat untuk bergerak sehingga beberapa dari mereka terjatuh dan bahkan terinjak-injak oleh yang lainnya.
Orang-orang yang mengalami henti jantung dan terlambat menerima penanganan cardiopulmonary resuscitation (CPR) akhirnya meninggal dunia.
Lantas, mengapa kerumunan massa semacam itu dapat menyebabkan bencana? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab dan bagaimana antisipasinya agar tak kembali terjadi di kemudian hari?
Naluri Animalistik dan Kematian?
Gustave Le Bon dalam bukunya yang berjudul The Crowd: A Study of the Popular Mind menganalisis secara teoritis mengapa kekerasan massa yang mengerikan di Perancis selama dan setelah revolusi Perancis mampu menimbulkan tragedi.
Le Bon kemudian menciptakan teori penularan alias contagion theory yang menjelaskan bahwa desakan animalistik dalam kerumunan massa mampu mempercepat perasaan jengkel (maddening crowd) seperti sebuah infeksi. Perasaan itu dapat melaju ke tingkat yang lebih keras dan animalistik melalui suatu penularan (contagion).
Setelah kumpulan massa yang menunjukkan berperilaku “haus darah” (bloodthirsty behavior), mereka dapat kembali ke dalam kehidupan yang normal seakan tak terjadi apapun.
Ketika seseorang terjebak dalam kerusuhan, seseorang dapat mengidap hipoksia ditambah dengan kepanikan dan ketegangan yang juga memicu peningkatan jumlah karbondioksida serta adrenalin.
Itulah yang menyebabkan orang bisa pingsan, bahkan henti jantung yang mana jika tidak segera ditangani akan menyebabkan kematian dalam beberapa menit.
Oleh karena itu, naluri alamiah animalistik perlu ditangani oleh crowd management yang melibat sejumlah pihak. Lantas, apakah ini merupakan suatu pertanda bahwa terdapat kegagalan dalam sistem crowd management?
Kegagalan Crowd Management?
Tragedi Kanjuruhan dan Itaewon tampaknya dapat dianggap suatu tragedi yang “apple to apple” untuk dijadikan objek komparasi. Studi komparatif akan mempertimbangkan perbedaan maupun persamaan antar fenomena yang terjadi sehingga dapat ditarik sebab akibat serta faktor yang memungkinkan penyebab suatu fenomena tertentu terjadi.
Sebelum masuk kepada pembahasan, terdapat suatu riset berjudul Multi-Scale Simulation for Crowd Management: A Case Study in An Urban Scenario yang ditulis oleh Luca Crociani, Gregor Lämmel, dan Giuseppe Vizzari yang mengungkapkan tiga konsep utama dalam mengatur crowd management antara lain keselamatan, keamanan, dan kenyamanan.
Ketiga hal ini berperan dalam menjaga arus massa, evakuasi, dan kepadatan massa. Mulai dari pembuatan skenario melalui simulasi arus massa, perhitungan waktu puncak kerumunan, jalur alternatif, hingga kedekatan dengan jalur transportasi diyakini dapat menghindari penumpukan kerumunan pada satu titik.
Pada tragedi Kanjuruhan, masalah crowd management dipicu oleh kegagalan evakuasi ketika situasi kerumunan tidak dapat terkendali. Hal itu dapat terlihat ketika pada kelalaian aparat dalam menembakkan gas air mata ke seluruh tribun dan sulitnya mencari pintu keluar.
Berdasarkan hasil investigasi Komisi Disiplin (Komdis) PSSI sekaligus dikonfirmasi secara langsung oleh manajemen, panitia pelaksana pertandingan, security officer Arema Malang, serta pengelola stadion, salah satu pemicu kerumunan tersebut diyakini karena pintu besar D tidak dibuka.
Selain itu, berkaca pada riset sebelumnya, tak jarang pendekatan militeristik oleh kepolisian memicu korban jiwa. Kembali lagi kepada penjelasan Le Bon terkait kekerasan massa yang dapat dipicu melalui kerusuhan menyebabkan kepolisian lakukan kekerasan kepada penonton di stadion Kanjuruhan. Tentunya kekerasan dan gas air mata bukanlah tindakan yang bijak untuk dilakukan.
Adapun, ditemukan pula permasalahan over capacity dimana penonton yang hadir berjumlah 42.000 orang, sedangkan kapasitas stadion berjumlah 38.000 alias 108 persen dari jumlah kapasitas.
Sementara itu, kesalahan crowd management di Distrik Itaewon didasari oleh kepolisian yang tidak ditugaskan untuk mengontrol massa, melainkan bertugas untuk memastikan kelancaran lalu lintas serta mencegah aksi kriminal. Dengan demikian, kepolisian tidak melakukan tindakan kekerasan seperti pada tragedi Kanjuruhan.
Dari segi persamaan, tragedi Itaewon juga disebabkan oleh over capacity dimana terdapat lebih dari 100.000 orang yang menghadiri perayaan halloween tersebut. Jumlah ini jauh melebihi jumlah pengunjung pada tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu, kedua tragedi tersebut juga minim akan persiapan dari segi tim medis. Terlebih, masalah utama kerumunan ini berhubungan dengan pertolongan pertama yang memiliki urgensi tinggi bagi hidup seseorang.
Orang yang kekurangan oksigen hingga pingsan sangat membutuhkan bantuan PCR, jika terlambat dalam beberapa menit nyawa seseorang akan hilang. Hal itu lah yang mendorong warga Korea untuk ikut memberi bantuan PCR bagi korban yang terjatuh. Namun, fenomena ini tidak ditemukan pada tragedi Kanjuruhan.
Dengan demikian, dari keseluruhan itu dapat disimpulkan bahwa penyelenggara acara dan aparat keamanan tidak benar-benar mempersiapkan sistem mitigasi terhadap crowd management dimulai dari venue, penentuan kapasitas, kesalahan aparat itu sendiri, kesediaan tim medis, exit management, serta koordinasi antar pihak yang buruk.
Lantas, dari semua itu siapakah pihak yang harus bertanggung jawab?
Siapa Bertanggung Jawab?
Sebelum menerka-nerka terkait siapa yang perlu bertanggung jawab, Health and Safety Executive (HSE) di Inggris menyatakan semua acara – tak terkecuali acara dengan risiko rendah – harus membuat dan mendiskusikan perencanaannya dengan polisi, layanan pemadam kebakaran dan penyelamatan, layanan ambulans atau tim medis, dan perencanaan darurat bagi tempat-tempat tertentu (seperti seperti stadion, arena, dan sebagainya) dengan venue management.
Detail dan kompleksitas dari setiap diskusi harus proporsional dengan risiko yang mungkin terjadi. Penyelenggara dan layanan darurat harus memiliki koordinasi yang baik terkait peran masing-masing dalam keadaan darurat atau insiden besar.
Saat ini tersangka tragedi Kanjuruhan antara lain Direktur PT Liga Indonesia Baru (LIB), Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC, Security Officer, Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim, Kabag Ops Polres Malang, dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi.
Sementara enam tersangka dari tragedi Itaewon antara lain pejabat lokal Korsel, kepala kepolisian setempat, pemadam kebakaran, dan sejumlah petugas kepolisian.
Dengan demikian, tragedi Kanjuruhan dan Itaewon menjadi suatu sinyal evaluasi terhadap crowd management bukan hanya bagi pihak penyelenggara acara, namun juga pemerintah setempat, kepolisian, perencanaan acara hingga estimasi jumlah maksimum penonton, terutama sistem prosedur jika insiden besar terjadi.
Selain itu, tragedi yang disebabkan oleh kerumunan massa ini juga menjadi pertanda bahwa sebenarnya tragedi ini terjadi bukan by accident, melainkan dapat dihindari jika para pihak yang bersangkutan mampu menerapkan crowd management yang baik.
Adapun, naluri animalistik kerusuhan perlu dikontrol dengan melibatkan pengendali yang merujuk kepada aparat dan penyelenggara acara. (Z81)