Site icon PinterPolitik.com

Jokowi-UEA Mesra, Saudi Tersingkir?

jokowi mbz

Presiden Jokowi bersama Presiden Persatuan Emirat Arab (PEA) Mohammed Bin Zayed Al Nahyan (MBZ) melaksanakan salat sunah tahiyatul masjid Raya Sheikh Zayed di Surakarta pada Senin, 14 November 2022. (Foto: Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)

Gestur kedekatan kembali ditampilkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Uni Emirat Arab (UEA) Muhammad bin Zayed (MBZ) di awal pekan ini. Lalu, mengapa relasi kedua negara tampak begitu dekat belakangan ini? Serta mungkinkah UAE akan menggantikan posisi politik dan pengaruh Arab Saudi sebagai leader Negara Teluk?


PinterPolitik.com

Bangunan peribadatan megah bernama Masjid Sheikh Zayed Al-Nahyan di Kecamatan Banjarsari, Solo baru saja diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bersama Presiden Uni Emirat Arab (UEA) Muhammad bin Zayed (MBZ) pada hari Senin, 14 November.

Di sela padatnya agenda pasca menghadiri KTT ASEAN di Kamboja pekan lalu, Presiden Jokowi tetap meluangkan waktunya untuk peresmian itu sebelum menyambut puluhan tamu kenegaraan di KTT G20 Bali.

Selain itu, peresmian masjid itu juga seolah kembali menggambarkan kedekatan Indonesia dan UEA setelah beberapa kesepakatan monumental disepakati kedua negara.

Pertama, MBZ mungkin menjadi warga negara asing pertama yang masih hidup dan diabadikan sebagai nama jalan di Indonesia. Ya, pada awal 2021 lalu, Jalan Tol Layang Jakarta–Cikampek berubah nama menjadi Jalan Layang MBZ.

Tak lama berselang dan di tengah Pandemi Covid-19 yang masih berkecamuk, tersiar kabar kalau UEA akan membangun pabrik vaksin Covid-19 di Indonesia, meski hingga detik ini realisasi proyek itu masih samar.

Kemudian, pada Maret 2021 lalu, UEA berkomitmen untuk menanamkan investasi di Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia. Bahkan, nilai komitmennya sangat fantastis, yaitu USD10 miliar atau sekitar Rp144 triliun dan jadi yang terbesar dibanding negara lain.

Jika ditelusuri ke belakang, UEA pun telah meneken 16 perjanjian kerja sama senilai Rp314 triliun dengan pemerintah Indonesia. Kerja sama ini meliputi bermacam sektor seperti keagamaan, pendidikan, pertanian, kesehatan, riset, hingga migas.

Adapun proyek pembangunan Masjid Raya Grand Sheikh Zayed dibangun dengan dana hibah dari UEA sebesar USD20 juta atau setara dengan Rp300 miliar. Masjid berkapasitas 10 ribu orang itu kemudian disebut-sebut sebagai simbol persahabatan antara Indonesia dan UEA.

Gestur kedekatan dan kerelaan meluangkan waktu demi meresmikan itu agaknya menunjukkan betapa penting sebuah simbol politik bagi Presiden Jokowi, khususnya dalam konteks politik luar negeri.

Kimly Ngoun dalam tulisannya yang berjudul What Southeast Asian Leaders Can Learn from Jokowi menganalisis bahwa Presiden Jokowi mampu mengkonstruksi seperangkat simbol yang membedakan dirinya dengan pemimpin-pemimpin lain di Asia Tenggara.

Ngoun menilai cara Jokowi menumbuhkan kekuatan politiknya merupakan fenomena yang menarik untuk diamati, terutama kemahiran dalam memainkan simbol.

Graeme Gill dalam Symbolism and Politics juga menjabarkan signifikansi politik simbol bagi penguasa. Salah satunya menjadi elemen kunci bagi proses politik yang berkelanjutan.

Mengerucut pada konteks simbol berupa sebuah tempat peribadatan, Seren Selvin Korkmaz dalam Erdoğan and The Symbolic War over Hagia Sophia mengatakan Hagia Sophia telah lama menjadi arena “perang simbolik” antara golongan sekularis dan Islamis di Turki.

Selama bertahun-tahun, kubu konservatif Turki, yang bersandar pada Islamisme dan nasionalisme, telah bermimpi untuk mengubahnya kembali menjadi masjid. Oleh karena itu, saat Erdoğan kini telah mewujudkan impian mereka, tujuan politik jangka panjang pun kiranya ingin diraih sang pemimpin Turki.

Pada konteks gestur meluangkan waktu di tengah padatnya agenda Presiden Jokowi untuk meresmikan Masjid Sheikh Zayed Al-Nahyan, kiranya juga bukan hanya sekadar terkait simbol kedekatan dua negara semata.

Jika diamati lebih dalam, kedekatan dengan UEA yang ditampilkan Presiden Jokowi bisa saja memiliki korelasi dengan kekuatan politik Timur Tengah lainnya, yaitu Arab Saudi. Mengapa demikian?

UEA Bawa Cuan?

Bagi yang awam dengan geopolitik Timur Tengah, UEA dan Arab Saudi mungkin cukup sulit dibedakan sebagai dua entitas negara karena sama-sama menggunakan frasa “Arab”.

Abu Dhabi merupakan ibu kota UEA, dengan Dubai yang juga menjadi salah satu kota termasyhurnya melalui eksistensi gedung pencakar langit tertinggi di dunia, Burj Khalifa.

Sementara Arab Saudi, adalah negara di mana kota suci bagi umat Islam, yakni Makkah dan Madinah berada dengan Riyadh sebagai ibu kotanya. Kedua negara sendiri saat ini tengah dipimpin oleh sosok yang berambisi membawa perubahan bagi stigma terhadap negara Arab di level internasinal.

Namun, UEA belakangan ini hadir ke ranah geopolitik global dengan satu nilai yang berbeda.

Dalam sebuah analisis berjudul The Dustbin of History: Asian Values, Fareed Zakaria menjelaskan kebangkitan negara-negara Asia, baik dari segi ekonomi hingga politik dengan value atau karakteristik spesifik unik (sosio-politik kultural) yang mereka miliki masing-masing.

Namun, telaah yang dipublikasikan pada tahun 2009 itu hanya berfokus pada Tiongkok dan India. Zakaria pun ketika itu luput dan tak menyangka negara Arab seperti UEA pun mampu untuk “bangkit”, bahkan berpengaruh secara ekonomi dan politik.

Daniele Schilirò dalam Diversification and Development of the United Arab Emirates’ Economy kemudian menyiratkan UEA memiliki value kunci berupa diversifikasi ekonomi dan pendapatan negara.

Tak hanya lekat dengan stigma konservatisme seperti predikat negara minyak, UEA disebut mampu memaksimalkan pendapatan negara dari sektor lain seperti pariwisata, bisnis, dan investasi.

Reputasi apik di bidang ekonomi kiranya menjadikan UEA tampak begitu istimewa dan strategis di mata Presiden Jokowi. Itu misalnya tercermin dari serangkaian penanaman investasi di Indonesia, termasuk SWF fantastis sebesar USD10 miliar.

Namun, apa manfaat yang kiranya diperoleh UEA atas relasi baiknya dengan Indonesia?

Dalam sebuah jurnal berjudul The Strategic Alliance of Saudi Arabia and the UAE, Simone van Slooten memberikan kalimat kunci mengenai ambisi UEA, yakni “aspire to be the greatest player in the wider region” atau “bercita-cita menjadi pemain terhebat di kawasan yang lebih luas” baik dari segi pengaruh ekonomi dan politik.

UEA sendiri memiliki sejumlah intrik eksternal yang agaknya tetap membutuhkan dukungan politik, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari negara seperti Indonesia.

Satu di antaranya ialah dalam isu kawasan saat konfrontasi tak kasat mata terhadap Qatar dan Iran masih eksis hingga kini, yang mana itu menjadi ancaman terhadap sentimen monarki herediter UEA.

Dalam dimensi berbeda, UEA juga seolah telah mengisi kekosongan “kemunduran” pengaruh Arab Saudi belakangan ini di Indonesia. Pada 2017 silam, Presiden Jokowi sendiri secara personal sempat mengungkapkan kekecewaannya terhadap Saudi karena nominal investasi yang kurang memuaskan.

Selain itu, dengan kedekatan Indonesia dan UEA kepada Amerika Serikat (AS), bukan tidak mungkin kedua negara sama-sama memiliki persepsi bisa saling jadi “penghubung” ke negeri Paman Sam dalam berbagai perpanjangan kepentingan politik luar negeri.

Akan tetapi, Indonesia tetap harus berhati-hati mengelola relasi dengan UEA dan proyeksi secara tidak langsungnya yang bisa membahayakan hubungan dengan Arab Saudi. Mengapa demikian?

Bisa Terjebak Dilema?

Arab Saudi sebelumnya diharapkan dapat memberikan sokongan ekonomi dan politik bagi Indonesia. Akan tetapi, skeptisme tersurat yang diekspresikan Presiden Jokowi agaknya membuat sambutan hangat pada UEA dapat dipahami.

Namun, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) yang mulai aktif memimpin negaranya pasca kesehatan Raja Salman bin Abdulaziz yang menurun seolah bisa mengubah situasi di kemudian hari.

Masih di dalam jurnalnya, van Slooten turut menyoroti irisan kepentingan MBS dan MBZ di Timur Tengah serta proyeksinya dari situ. Memiliki rival yang sama, yakni Qatar, Iran, dan Houthi Yaman, UEA dan Saudi nyatanya dikatakan bisa saja berkompetisi di aspek lain.

Dibingkai dalam “Brotherly Competition”, Saudi tampak memiliki ambisi serupa untuk mengekspansi pengaruh ke kawasan yang lebih luas, tak menutup kemungkinan Indonesia.

Atas eksistensi kompetisi itu, van Slooten menilai terdapat probabilitas friksi atau gesekan yang sewaktu-waktu dapat mencemari hubungan baik UEA dan Saudi, termasuk korelasi diplomatik turunannya dengan negara lain seperti Indonesia.

Walaupun tampak mengalami kemunduran pengaruh di Indonesia sejak UEA seolah mengambil alih posisi, Arab Saudi agaknya masih dibutuhkan +62. Mulai dari aspek perdagangan (ekspor-impor), ketenagakerjaan, hingga ibadah haji dan umrah.

Meskipun bukan dalam konteks komparatif yang cenderung membenturkan, mengelola hubungan diplomatik dengan UEA dan Arab Saudi kiranya tetap penting untuk dikedepankan Presiden Jokowi.

Tentu agar salah satu pihak tidak merasa “diabaikan” karena telah memiliki partner menguntungkan lain.

Kendati demikian, analisis di atas masih merupakan interpretasi berdasarkan variabel-variabel yang tampak saling memengaruhi. Bagaimana kelanjutan hubungan antarnegara itu kiranya akan cukup menarik untuk dinantikan ke depan. (J61)

Exit mobile version