Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Ternyata “Bidak” Australia?

jokowi ternyata bidak australia

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (kanan) bersepeda bersama Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese (Albo) di Kompleks Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada 6 Juni 2022 lalu. (Foto: AAP)

Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese (Albo) menjadikan pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai pertemuan bilateral pertamanya setelah dilantik. Mengapa Albo begitu spesialkan Jokowi?


PinterPolitik.com

“Bicycle, bicycle, bicycle. I want to ride my bicycle, bicycle, bicycle. I want to ride my bicycle. I want to ride my bike” – Queen, “Bicycle Race” (1978)

Mungkin, itulah kutipan lirik lagu yang kini terngiang-ngiang di kepala Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese (Albo). Bagaimana tidak? Albo baru saja mendapatkan sepeda barunya.

Sepeda baru ini terbilang unik – bisa dibilang menjadi jenis sepeda satu-satunya yang ada di Canberra, Australia. Tidak seperti sepeda-sepeda umumnya yang berbahan plastik dan logam seperti aluminium dan titanium, sepeda baru Albo ini menggunakan bambu sebagai bahan bakunya.

Sepeda yang berbahan bambu ini merupakan pemberian Presiden Joko Widodo (Jokowi), sahabatnya yang tinggal di Bogor, Jawa Barat, Indonesia. Mungkin, Jokowi sadar bahwa temannya, Albo, merasa kesengsem dengan sepeda bambu yang digunakannya untuk mengelilingi Istana Bogor bersama.

Namun, bisa dibilang, serangkaian kegiatan Albo bersama Jokowi merupakan puncak dari serangkaian fokus dan komentar Albo soal Indonesia. Bagaimana tidak? Albo sudah berkali-kali membahas dan menyebutkan nama “Indonesia” di pidato-pidato sebelumnya – bahkan sejak dirinya belum terpilih sebagai PM negeri Kanguru tersebut.

Kala kampanye, misalnya, Albo mengatakan Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara besar Asia yang akan menguasai dunia – bersama Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan India. Maka dari itu, Albo menekankan bahwa Australia harus memperkuat hubungannya dengan negara tetangga yang ada di utaranya itu.

Tidak hanya dalam kesempatan itu, Albo juga sempat berjanji akan segera berangkat ke Indonesia setelah terpilih menjadi PM dalam pemilihan umum (Pemilu) pada Mei lalu. Janji ini akhirnya terwujud setelah Albo sebelumnya ke Jepang untuk menghadiri sebuah pertemuan tinggi bersama Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden.

Bisa dibilang, perlakuan-perlakuan “spesial” Albo sebagai PM Australia terhadap Indonesia ini menjadi unik. Pasalnya, Indonesia dan Australia kerap memiliki hubungan diplomatik yang fluktuatif – alias panas-dingin.

Lantas, apa yang mendasari Albo begitu bersikap ‘baik’ bak sahabat sendiri terhadap Indonesia? Mengapa ini bisa jadi kebijakan yang strategis bagi Australia baru di bawah Albo?

Albo Takut ke Jokowi?

Pandangan Albo soal posisi penting negara tetangga yang ada di utaranya ini sebenarnya bukan tanpa alasan. Pasalnya, Indonesia merupakan pintu masuk pertama bagi ancaman apa pun – khususnya ancaman keamanan – bagi Australia.

Dasar dari kebijakan luar negeri yang diambil oleh Albo ini sebenarnya berangkat dari pendekatan konstruktivisme dalam studi Hubungan Internasional. Setidaknya, dalam pendekatan ini, negara-negara layaknya individu dalam masyarakat yang bertindak sesuai peran dan identitas mereka dalam berinteraksi dengan satu sama lain.

Identitas inilah yang akhirnya mempengaruhi cara mereka bersikap – dalam hal ini arah politik luar negeri dalam hubungan antar-negara. Pasalnya, Australia tidak dapat dipungkiri merupakan negara yang mayoritas berpenduduk kelompok Kaukasia (kulit putih).

Identitas ini bukan tidak mungkin terbawa dan menyebabkan regional security complex (kompleks keamanan regional). Teori ini dicetuskan oleh Barry Buzan dan Ole Wæver dalam buku mereka yang berjudul Regions and Powers.

Pada intinya, teori ini menjelaskan bahwa kondisi dan letak geografis mempengaruhi interaksi antar-negara dalam suatu kawasan. Bagi Australia, kawasan yang dimaksud merupakan kawasan Asia-Pasifik.

Ross B. Taylor dalam tulisannya yang berjudul Parsing Australia’s Security Complex menjelaskan bahwa kompleks keamanan yang dimiliki Australia ini membuat para pengambil kebijakannya terus merasa curiga terhadap negara-negara yang bisa menjadi ancaman, khususnya negara-negara Asia yang ada di utaranya, meskipun berkali-kali menekankan bahwa Asia adalah masa depan – seperti apa yang Albo katakan dalam kampanyenya.

Maka dari itu, tidak mengherankan apabila Albo berulang kali berusaha memfokuskan kebijakan luar negerinya ke negara-negara Asia – terutama Indonesia. Fokus politik luar negeri Australia yang berfokus pada Asia – utamanya sebagai sumber ancaman potensial – sebenarnya tidak hanya ada di pemerintahan Albo, melainkan di pemerintahan-pemerintahan sebelumnya seperti PM Scott Morrison.

Namun, apakah ini berarti Albo mendekati Jokowi hanya karena merasa takut terhadap Indonesia? Bisa jadi. Namun, ancaman dari Indonesia terhadap Australia ini bisa dibilang menjadi semakin nihil – dengan disparitas kekuatan yang ada di antara keduanya.

Secara keamanan, misalnya, Australia bisa dibilang memiliki kemampuan militer yang lebih kuat dan mutakhir dalam hal teknis dan alat utama sistem pertahanan (alutsista). Apalagi, dengan pakta yang disepakati negara Kanguru itu dengan Britania (Inggris) Raya dan AS – AUKUS, Australia bisa lebih leluasa dalam melakukan deterrence terhadap kemungkinan ancaman keamanan dari Indonesia.

Lantas, bila Australia sebenarnya tidak takut terhadap Indonesia, mengapa Albo begitu mengutamakan Indonesia dalam kebijakan luar negeri pemerintahannya? Mungkinkah Indonesia hanya menjadi salah satu “bidak” dalam strategi besar geopolitik Australia?

Hanya Jadi “Bidak” Australia?

Geopolitik adalah politik yang didasarkan pada kondisi dan letak geografis. Dalam hal ini, sumber dan ukuran ancaman juga dipengaruhi oleh geografi.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Indonesia bisa jadi pintu masuk utama bagi ancaman utara yang bisa saja datang ke Australia. Meski begitu, pemerintah Indonesia sendiri belum tentu dapat menjadi ancaman besar bagi negeri Kanguru itu.

Lantas, bila benar demikian, siapa sebenarnya yang bisa menjadi ancaman utara terbesar bagi Australia? Jawabannya adalah negara yang dalam dua dekade terakhir menjadi negara yang disebut-sebut bisa menjadi penantang potensial bagi dominasi AS di dunia, yakni Tiongkok.

Setidaknya, terdapat dua jenis ancaman yang bisa ditimbulkan oleh Tiongkok terhadap Australia. Ancaman pertama adalah ancaman ekonomi – yang mana mulai menjadi bahan diskursus di antara pengambil kebijakan Australia.

Bagaimana tidak? Meski Tiongkok jelas menjadi ancaman, Australia secara tidak langsung memiliki ketergantungan pada tingkatan tertentu secara ekonomi terhadap negeri Tirai Bambu.

Dalam hal perdagangan dan investasi, misalnya, Tiongkok tentu menjadi salah satu negara mitra utama. Ketergantungan dalam bidang ini membuat Australia semakin merasa terancam dengan adanya sanksi dagang yang diterapkan pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok.

Ancaman kedua adalah ancaman strategis. Ini bisa dilihat dari upaya Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Pasifik Selatan yang notabene merupakan wilayah domain Australia.

Bantuan dan investasi Tiongkok di negara-negara kepulauan Pasifik Selatan, mengacu pada artikel PinterPolitik.com yang berjudul Tiongkok vs Australia di Papua?, disebut mulai membuat negara-negara tersebut mulai terbebas dari belenggu pengaruh Australia. Bahkan, beberapa waktu lalu, Tiongkok mulai menawarkan pakta pertahanan terhadap negara-negara Pasifik Selatan seperti Fiji dan Vanuatu.

Dengan dua ancaman besar dari Tiongkok, Indonesia bisa menjadi jawaban strategis bagi pemerintahan Albo. Boleh jadi, Australia kini tengah menerapkan strategi buck-passing (lempar tangan) dan Indonesia menjadi salah satu “bidak” dalam strategi ini.

Dalam bukunya yang berjudul The Tragedy of the Great Power Politics, John J. Mearsheimer menjelaskan bahwa strategi ini digunakan untuk menjaga kekuatan negara itu sendiri – sembari membiarkan negara lain menghadapi ancaman yang sama. Contoh paling jelas dari penggunaan strategi ini adalah ketika Britania Raya membiarkan negara-negara Eropa lainnya – seperti Prancis – untuk terlebih dahulu menghadapi Jerman Nazi dalam Perang Dunia II.

Di sisi lain, Indonesia juga bisa menjadi “bidak” dalam strategi yang lebih besar – yang mana bisa jadi dijalankan oleh AS. Negara Paman Sam yang juga merasa terancam dengan kebangkitan Tiongkok bisa saja merasa perlu menjalankan sistem hub-and-spokes – suatu sistem aliansi di kawasan Asia-Pasifik yang menempatkan AS sebagai hub dan negara-negara sekutunya seperti Australia dan Jepang sebagai spokes-nya.

Arah politik luar negeri Albo yang mengistimewakan Indonesia bisa jadi adalah perpanjangan dari sistem hub-and-spokes AS. Pasalnya, negara-negara Asia Tenggara – seperti Indonesia – menjadi negara yang penting dalam perebutan pengaruh antara AS dan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik dan bukan tidak mungkin Australia menjadi jembatannya.

Berkaca dari gambaran strategi dan manuver Australia terhadap Indonesia, bukan tidak mungkin Presiden Jokowi – dan pemerintahan-pemerintahan selanjutnya – harus berhati-hati dalam bersikap. Layaknya sedang bersepeda, pemerintah Indonesia pun perlu menyeimbangkan kepentingan di antara dua kubu kekuatan geopolitik ini dengan baik agar tidak jatuh – baik ke kanan maupun ke kiri. (A43)


Exit mobile version