Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Kalah Perkasa dari Modi?

jokowi kalah perkasa dari modi

Jokowi dan Narendra Modi (Foto: BPMI)

Dalam Deklarasi Bali yang dibuat oleh para pemimpin negara G20, peran Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi disebut-sebut jadi faktor krusial. Padahal, pertemuan itu dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Mengapa itu bisa terjadi?


PinterPolitik.com

Bulan November tahun 2022 ini mungkin menjadi salah satu bulan yang paling dibanggakan di Indonesia. Alasannya tidak lain adalah karena untuk pertama kalinya negara kita jadi tuan rumah pertemuan 20 negara perekonomian terbesar di dunia yang dikenal sebagai G20. 

Terlebih lagi, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang diselenggarakan di Bali tersebut berjalan relatif lancar meski dunia kini sedang dilanda beberapa tensi geopolitik – seperti perang Rusia-Ukraina, persaingan Amerika Serikat (AS)-Tiongkok, dan ancaman resesi global. 

Terkait panasnya persaingan antara negara besar yang sekarang sedang terjadi di panggung dunia, Deklarasi Bali, yang menjadi rangkuman dari para petinggi negara anggota G20, secara spesifik membahas dampak perang yang sedang terjadi di Ukraina dalam poin-poin pembahasannya. Namun, ada satu kalimat menarik yang sempat jadi perbincangan sejumlah pengamat dalam deklarasi tersebut, yakni kalimat “Today’s era must not be of war” (Era hari ini tidak boleh jadi era perang).

Mengapa kalimat itu jadi sorotan? Well, ketika Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin bulan September lalu, Modi mengucapkan kalimat yang sama ketika membayangkan perdamaian antara Rusia dan Ukraina. Banyak orang kemudian melihat pencatatan kalimat tersebut dalam deklarasi yang memang cukup banyak membahas perang Ukraina adalah bukti bahwa Modi memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perumusan Deklarasi Bali.

Hal ini kemudian dikonfirmasi oleh Sekretaris Pers Gedung Putih AS, Karine Jean-Pierre, yang mengatakan bahwa Modi memainkan peran yang sangat signifikan dalam proses negosiasi antar-negara yang dibangun sebelum perumusan Deklarasi Bali.

Menanggapi hal itu, mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Indonesia Rizal Ramli menyentil pemerintahan Jokowi yang memang dianggap sukses menyelenggarakan KTT G20, tapi hanya sebatas acaranya sedangkan, untuk substansi, terlihat bahwa kesuksesan justru diambil oleh PM India Narendra Modi.

Lantas mengapa Modi tampak terlihat bisa lebih berpengaruh dibanding Jokowi dalam menjalankan narasi perdamaian dunia?

Politik Strongman Berpengaruh?

Hal pertama yang mungkin terlintas di benak banyak orang ketika dilemparkan pertanyaan seperti di atas mungkin adalah persoalan kekuatan geopolitik. Secara diplomatis, tentu wajar Modi lebih didengar oleh banyak negara karena India adalah negara yang punya daya tawar kuat dan memiliki kedekatan khusus dengan Rusia, tapi di sisi lain tetap masih dalam sisi baik dari negara-negara Barat.

Alasan tersebut tentu tidak salah tapi kita tidak boleh melupakan salah satu hal penting lain tentang mengapa suatu negara bisa dilihat memiliki daya tarik diplomatis yang tinggi, yaitu kemampuan diplomasi para pejabat atau petinggi negaranya. 

Kalau kita perbandingannya, modal politik Jokowi dan Modi dalam masing-masing negaranya sebenarnya tidak terlalu jauh. India dan Indonesia adalah sama-sama negara Gerakan Non-Blok (GNB), memiliki kedekatan historis dengan Rusia, serta sama-sama memiliki proyeksi ekonomi yang tinggi dalam rantai ekonomi dunia dalam masa mendatang. Memang, India umumnya dilihat sebagai negara yang ‘lebih maju’ dari Indonesia, tapi kira-kira mungkinkah ada hal lain yang membuat peran internasional Modi tampak lebih besar dari Jokowi?

Dalam studi politik internasional, sesuai dengan tulisan Idiosyncrasy in Foreign Policy Decision Making Situational karya Muhammed Umer Hayat, sifat dan gaya kepemimpinan seorang kepala negara berperan sangat besar dalam menentukan politik luar negeri suatu negara, meskipun suatu negara punya kekayaan alam yang luar biasa, hal itu tidak ada artinya bila kepala negaranya tidak berusaha menjadikan kekayaan tersebut sebagai kekuatan negara. Konsep ini umumnya disebut dengan istilah ‘idiosinkrasi’. 

Terkait idiosinkrasi, sepertinya ada satu hal yang tampak membedakan gaya politik Modi dan Jokowi, dan mungkin berkaitan dengan alasan kenapa Modi hal itu adalah citra pemimpin strongman

Tidak dipungkiri Modi adalah seorang politisi strongman di negaranya. Partainya, Bharatiya Janata Party (BJP) memiliki lebih dari 50 persen kursi parlemen di India, dan citra kuat Modi yang masih bertahan hingga sekarang diprediksi akan memberikannya jabatan PM India untuk ketiga kalinya dalam pemilihan umum (pemilu) 2024 nanti. Namun, citra strongman Modi tidak hanya berlaku secara domestik, melainkan juga internasional.

Analis pertahanan dari RAND Corporation, Derek Grossman dalam tulisannya Modi’s Foreign-Policy Juggling Act, menilai bahwa semenjak Modi menjadi PM India pada tahun 2014, India telah berubah dari sebuah negara non-blok menjadi pemain strategis dalam teater geopolitik Asia-Pasifik. Hal ini dilakukan Modi dengan cara memperkuat hubungan dengan negara-negara kuat dan menengah dunia, seperti memperkuat hubungan militer dengan Rusia dan ekonomi dengan AS, melalui gimmick menjadikan India sebagai penghalau Tiongkok jadi negara hegemon di Asia-Pasifik. 

Menariknya, salah satu narasi publik yang dimainkan Modi untuk turut serta mengambil antusiasme rakyat dalam politik luar negeri adalah narasi supremasi militer India terhadap Pakistan. Hal ini kemudian beresonansi kepada tulisan Ameem Lut dan kawan-kawan berjudul Strongmen and informal diplomats: Toward an anthropology of international relations, yang menganalisis bahwa ada peningkatan popularitas gaya diplomasi strongman pada abad ke-21. 

Nah, sebagai alasannya, Ameem melihat bahwa gaya kepemimpinan seperti ini jadi andalan bagi sejumlah pemimpin negara karena mampu memberikan kesuksesan politik internasional dan domestik. Ini karena isu yang dimainkan pemimpin strongman seringkali menyentuh semangat nasionalisme yang kemudian menciptakan populisme politik domestik, seperti narasi melawan ancaman eksternal negara, misalnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa seorang politisi strongman memiliki ambisi yang lebih kuat untuk jadi aktor internasional dibanding politisi biasa.

Kembali berefleksi kepada studi internasional, praktik seperti ini umumnya disebut sebagai two-level game theory yang diungkapkan Robert D. Putnam, yang menyoroti kelihaian seorang tokoh politik dalam bermain di dua dunia sekaligus, yakni politik domestik dan politik internasional.

Ini kemudian menjadi motivasi bagi seorang politisi strongman seperti Modi untuk berkiprah selincah mungkin dalam politik internasional karena ia melihat dampak nyatanya sangat terasa untuk dukungan politik dalam negeri.

Dari penjelasan di atas, kita sepertinya bisa sedikit menalarkan bahwa mungkin saja alasan lain kenapa Modi lebih dipandang sebagai aktor internasional yang sukses dibanding Jokowi adalah karena ia adalah seorang politisi strongman, berbeda seperti Jokowi yang populernya dipandang orang masih dalam kendali partai politik.

Lantas, mungkinkah Indonesia memiliki politisi strongman-nya sendiri di era modern ini?

Era Strongman Indonesia Sudah Lewat?

Tidak sedikit mungkin di antara kita yang setuju jika Indonesia memiliki presiden kuat yang mampu menjadikan Indonesia sebagai pemain politik internasional yang besar, walau hal itu berpotensi membawa kita ke arah sistem diktatorial. 

Peter Hartcher dalam tulisannya Why Indonesia rejected the path of strong-man politics, menilai celah bagi seorang pemimpin strongman sangatlah kecil. Pertama, dari aspek sosial, masyarakat Indonesia cenderung memiliki stigma memilih seorang politisi yang merakyat dan lemah lembut. Ini dicontohkan dengan kuatnya kekuatan politik Jokowi di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019, padahal ia dihadapkan dengan seorang potensi strongman yakni Prabowo Subianto.

Beberapa alasan tentunya berperan di balik kemenangan-kemenangan tersebut. Bisa jadi ini adalah bukti bahwa rakyat Indonesia masih trauma dengan pemimpin sayap kanan yang otoriter seperti mantan Presiden Suharto, bisa jadi juga ini karena kita kerap melihat sifat lemah lembut sebagai sifat seorang pemimpin yang ‘baik’.

Well, itu dari pandangan masyarakat. Di sisi lain, seorang presiden strongman juga tidak sesuai dengan sistem politik yang berlaku dalam menentukan presiden di Indonesia. Seperti yang kita tahu, penentuan calon presiden dan calon wakil presiden di Indonesia ditentukan berdasarkan kekuatan partai politik melalui skema presidential treshold. Jikalau ada seorang strongman namun ia tidak disukai oleh partai politik, tentu strongman tersebut tidak akan diberi kesempatan jadi presiden.

Kemudian, kalaupun memang ada orang strongman yang terpilih menjadi presiden di Indonesia, karier politiknya mungkin tidak akan bertahan lama karena kembali lagi perpolitikan di Indonesia kekuatannya bertumpu pada partai politik. Bisa saja akan ada sejumlah sabotase yang kuat untuk melengserkan pemimpin strongman tadi.

Pada akhirnya, kita bisa ambil dua kesimpulan penting. Pertama, jika suatu negara (khususnya negara berkembang) ingin jadi aktor internasional, maka ambisi seorang strongman president sepertinya memang dibutuhkan. Kedua, kalaupun dugaan pertama tadi benar, Indonesia tampaknya belum bisa jadi negara yang strategis di politik internasional karena celah kekuasaan bagi seorang strongman di negeri ini sangatlah kecil. (D74)

Exit mobile version