Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Diserang Operasi Intelijen Israel?

Jokowi Diserang Operasi Intelijen Israel

Meski masih setia pada Palestina, pemerintahan Jokowi sering diserang narasi dari Israel (Foto: Merdeka.com)

Berita tentang kunjungan “pejabat senior” Indonesia ke Israel kembali muncul untuk kesekian kalinya. Mungkinkah ini adalah bagian dari serangkaian operasi intelijen? 


PinterPolitik.com 

Di balik berbagai isu besar yang belakangan menyerang Indonesia, ada satu berita menarik yang terselip, yakni kabar tentang pejabat senior Indonesia yang melakukan kunjungan rahasia ke Israel, dalam rangka bertemu dengan Presiden Isaac Herzog. Berita tersebut diviralkan oleh sebuah kantor berita asal Israel bernama i24NEWS. 

Setelah beberapa waktu, akhirnya Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia buka suara. Juru bicara (Jubir) Kemlu, Teuku Faizasyah membantah dengan tegas bahwa ada seorang “pejabat senior” Indonesia yang memimpin delegasi ke Israel. Ia pun menegaskan posisi Indonesia terkait Israel tidak pernah berubah. 

Lebih lanjutnya, Faizasyah juga mengatakan bahwa Kemlu sebagai pelaksana kebijakan luar negeri Indonesia tidak pernah melakukan hal-hal apapun yang berkaitan dengan pada normalisasi hubungan dengan Israel.  

Ya, isu normalisasi hubungan Indonesia-Israel memang menjadi topik besar di balik beredarnya kabar kunjungan tersebut. Namun, ini bukan pertama kalinya Indonesia digosipkan tengah membangun upaya normalisasi dengan Israel.  

Pada Desember 2021 lalu misalnya, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS), Antony Blinken diduga melakukan perbincangan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait normalisasi Israel. Lalu, satu tahun sebelumnya, menurut laporan Bloomberg, Jokowi juga sempat “digoda” kucuran dana Rp 28,5 triliun dari AS bila Indonesia membuka peluang normalisasi dengan Israel. Ada juga berita-berita lain yang tidak sempat disebutkan satu per satu. 

Yang jelas, narasi media tentang normalisasi Indonesia-Israel sudah terjadi cukup lama, dan bisa dibilang cukup intens meski terjadi secara bertahap.  

Dan penting untuk kita pahami bahwa di era informasi ini, media dan politik semakin menjadi suatu hal yang tak terpisahkan, banyak kepentingan-kepentingan politik yang disalurkan melalui media. Tidak sedikit pula aksi propaganda digunakan menggunakan outlet berita. 

Dengan padangan demikian, maka kita bisa ikut pertanyakan, mungkinkah berita tentang hubungan Indonesia-Israel ini adalah bagian dari sebuah agenda politik besar? Dan yang lebih menariknya, mungkinkah ada campur tangan intelijen dalam pemberitaan semacam ini?  

Permainan Strategi Intelijen Israel? 

Perkembangan media telah membuat operasi intelijen menjadi sangat powerful. Kalau melihat sejarah, kita bisa sadari sendiri bagaimana media mampu membuat begitu banyak orang terbius dan setuju dengan ide-ide yang disampaikan Adolf Hitler untuk memerangi Eropa, dan akhirnya rela mati demi Sang Diktator. 

Lantas, mungkinkah berita normalisasi Indonesia-Israel juga merupakan propaganda? Well, ada beberapa poin yang bisa membuktikan bahwa ini kemungkinan besar adalah bagian dari suatu gerakan operasi intelijen di media. 

Pertama, pemberitaan ini mampu menciptakan rasa toleransi masyarakat Indonesia terhadap Israel.  

Yang menarik dari berita-berita tentang normalisasi Indonesia-Israel adalah berita tersebut sebenarnya seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap, seperti nama delegasi yang dikirim, atau poin-poin pembicaraan yang dilakukan. Namun, sebagai dampaknya, berita tersebut mampu memancing rakyat Indonesia mencari informasi sebenarnya tentang interaksi diplomatik Indonesia-Israel. 

Kalau kita perhatikan, setelah berita semacam itu muncul, tidak sedikit media lokal kita berusaha mencoba mengklarifikasi hubungan Indonesia dan Israel. Sebagian media bahkan sampai menguak bahwa Indonesia diduga memiliki nilai dagang dengan Israel setidaknya mencapai US$ 500 juta. Lalu, banyak juga warganet –khususnya komentator akun Instagram @pinterpolitik– yang menyoroti pembelian jet A-4 Skyhawks dari Israel pada tahun 1980-an. 

Ini artinya, terlepas dari berita kunjungan pejabat senior Indonesia ke Israel benar atau tidak, berita semacam ini berhasil memunculkan rasa penasaran dari masyarakat kita. Sebagai dampaknya, muncullah pandangan bahwa ternyata interaksi antara Indonesia dan Israel adalah sesuatu yang lumrah. 

Dugaan ini sebenarnya tidak terlalu imajinatif, karena pemerintah Israel dan badan intelijen Mossad memang memiliki sebuah konsep komunikasi publik yang bernama hasbara. Konsep ini menekankan sejumlah operasi-operasi yang perlu dilakukan Israel agar komunitas internasional, khususnya negara Islam yang menentang Israel, menoleransi keberadaan Israel dalam politik internasional. 

Jika dugaan ini benar, maka intelijen Israel sepertinya sedang mengoperasikan sebuah strategi propaganda yang disebut fabrication of consent atau fabrikasi persetujuan, yang diambil dari buku Edward S. Herman dan Noam Chomsky, berjudul Manufacturing Consent. Strategi ini mengandalkan pembentukkan opini publik melalui media massa agar masyarakat dari suatu negara secara tidak sadar mewajarkan variabel-variabel dasar dari suatu agenda politik supaya nantinya bila agenda politik itu diwujudkan, masyarakat bisa memberikan persetujuan. 

Kedua, yang membuat berita normalisasi Indonesia-Israel tampak seperti sebuah operasi intelijen juga adalah karena ia muncul saat Indonesia sedang dilanda beberapa isu besar. Ruben Durante dalam karya ilmiahnya Attack When the World Is Not Watching? U.S. News and the Israeli-Palestinian Conflict, menyebutkan bahwa Israel seringkali melempar isu besar ketika dunia sedang disibukkan dengan berita lain. 

Terkait serangan Israel ke Palestina misalkan, penelitian Durante menemukan bahwa ternyata serangan Israel seringnya terjadi ketika kantor-kantor berita sedang sibuk, contohnya seperti ketika event olahraga SuperBowl, bencana alam, krisis ekonomi, dan perang. Akibatnya, banyak orang yang mewajarkan berita tentang Israel tersebut dan mungkin sebagian besar justru tidak peduli. 

Dan memang, tidak dipungkiri bahwa saat ini Indonesia sedang disibukkan oleh beberapa isu besar, seperti kenaikan BBM, kasus Ferdy Sambo, dan peretasan Bjorka. Nah, jika hal ini benar, digabungkan dengan betapa seringnya (meski secara periodik) isu normalisasi Indonesia-Israel dilakukan, maka dampak akhir dari strategi propaganda seperti ini mungkin tidak akan jauh dari sebuah konsep yang disebut Huxleyan Dystopia.  

Diambil dari dunia imajinatif mencekam yang dibayangkan Aldous Huxley dalam bukunya berjudul Brave New World, suatu kontrol masyarakat yang efektif sebenarnya adalah kontrol yang didasarkan pada pembanjiran informasi. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat secara tidak sadar akhirnya akan setuju dengan narasi yang dimainkan para manipulator media karena mereka sudah muak dengan banyaknya informasi yang perlu dicerna. 

Nah, terkait konteks pemberitaan Israel, bukan tidak mungkin para intelijen yang bergerak di belakangnya mengandalkan kejenuhan rakyat terhadap isu-isu besar, sehingga akhirnya mereka terpaksa menelan dengan mentah-mentah isu tersebut karena sudah lelah dengan banyaknya isu besar yang menyerap energi mereka. 

Kalau dugaan ini benar, maka misi besar normalisasi Indonesia-Israel sepertinya bukanlah suatu hal yang terlalu mustahil. Lantas, kira-kira bagaimana tahapan selanjutnya dari “operasi” ini? 

NU Bisa Jadi Target Selanjutnya? 

Dalam suatu agenda politik, simbol yang mampu merepresentasikan kepentingan banyak orang merupakan hal yang sangat penting. Simbol atau tanda, menurut Umberto Eco, dalam A Theory of Semiotics, sering digunakan sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi.  

Simbol adalah objek atau peristiwa yang merujuk pada sesuatu. Dan tentu saja, simbol tidak pernah lepas dari sebuah representasi, termasuk di dalamnya adalah politik. 

Lantas, jika Israel memang memiliki ambisi politik besar untuk lakukan normalisasi dengan Indonesia sekaligus mendapatkan “persetujuan” dari masyarakat kita yang cenderung sensitif dengan pembicaraan seputar Israel, maka simbol seperti apa yang kira-kira akan dicari? 

Well, salah satu dugaan besarnya di sini adalah organisasi masyarakat Islam terbesar Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Sudah menjadi rahasia umum bahwa NU “memegang” suara terbesar masyarakat Indonesia, karena banyak kelompok-kelompok daerah yang memang mengikuti pandangan dari para ulama NU. 

Dan entah kebetulan atau tidak, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) saat ini, yaitu Yahya Cholil Staquf adalah sosok yang dikenal memilki hubungan khusus dengan Israel. Pada 2018 lalu, Yahya bahkan sempat dicibir banyak orang karena hadir dalam sebuah acara yang digelar American Jewish Community (AJC). Acara tersebut dilihat sebagai wadah dukungan politik pada Israel. 

Lalu, di kesempatan yang sama Yahya juga sempat bertemu langsung dengan eks Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu. Kemudian, sebagai cherry on top, Yahya pun sering dinilai akan membuka komunikasi dengan Israel karena dianggap sebagai penerus ide mantan Presiden Abdurrahman Wahid tentang pembukaan hubungan Indonesia dengan Israel. 

Dengan demikian, kita bisa interpretasikan bahwa jika memang berita normalisasi Indonesia-Israel adalah sebuah rangkaian strategi operasi intelijen Israel, maka sepertinya mungkin saja langkah selanjutnya akan dilakukan dengan mengeksploitasi hubungan khusus Ketua PBNU saat ini dengan Israel. 

Pada akhirnya, dari semua ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa normalisasi dua negara yang tadinya terlihat mustahil, sepertinya justru akan sangat mungkin terjadi. Sebagai penutup, kita harap saja apapun yang terjadi selanjutnya dapat menyetop konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina secara adil dan damai. (D74) 

Exit mobile version