Dalam pembicaraan via telepon dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi, Menlu Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Wang Yi menyebutkan bahwa kini adalah saatnya bagi “momen Asia”. Ungkapan itu mencuat setelah Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya disebut berusaha mempengaruhi agenda KTT G20 2022 – yang mana Indonesia menjadi tuan rumah.
“Saya telah menunggu Anda. Di Jawa, ada legenda mengatakan bahwa orang kuning akan datang dari timur untuk membebaskan orang Jawa dari orang kulit putih dan melepaskan mereka dari penderitaan” – potongan percakapan dalam Merdeka 17805 (2001)
Pada tahun 2001, terdapat sebuah kerja sama pembuatan film antara dua rumah produksi yang masing-masing berasal dari Indonesia dan Jepang. Film berjudul Merdeka 17805 (2001) – atau ムルデカ 17805 dalam Bahasa Jepang – yang diproduksi oleh Rapi Films dan Toho Co. menuai kontroversi di Indonesia.
Sebenarnya, hampir sama dengan film perang pada umumnya, Merdeka 17805 (2001) menceritakan potongan peristiwa-peristiwa sejarah atas sebuah bangsa atau negara – khususnya kala pasukan Kekaisaran Jepang datang mengusir pemerintah Hindia Belanda.
Namun, tema dalam film itu ternyata dipersoalkan. Apalagi, terdapat satu potongan adegan yang menunjukkan seorang perempuan tua yang mebungkung di hadapan pasukan Jepang – sembari mengatakan bahwa kedatangan Jepang telah ditunggu-tunggu karena telah diramal oleh Prabu Jayabaya akan membebaskan Indonesia dari belenggu orang-orang kulit putih.
Sontak saja, film ini akhirnya dilarang oleh pemerintah untuk ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia. Alasan utamanya adalah adegan tersebut – dinilai membuat bangsa Indonesia terlihat lebih inferior.
Meski hanya satu adegan yang dipersoalkan, alur cerita dalam film tersebut setidaknya memiliki satu tema, yakni peran Kekaisaran Jepang dalam mengusir bangsa Eropa dari Asia. Bahkan, film ini dituding memiliki pesan bernada propaganda.
Gagasan seperti ini tampaknya juga mulai muncul dalam arah politik luar negeri dari sebuah negara di masa kin, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dalam sebuah komunikasi via telepon dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi, Menlu Tiongkok Wang Yi menyebutkan bahwa saat ini adalah “momen Asia”.
Istilah itu keluar karena Tiongkok menganggap Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat terlalu memaksa Indonesia untuk memasukkan agenda selain agenda ekonomi dalam KTT G20 2022 yang akan dilaksanakan di Bali, yakni isu terkait konflik antara Rusia dan Ukraina.
Namun, bukan tidak mungkin, narasi soal ke-Asia-an ini tidak tiba-tiba muncul. Dalam pertemuan Conference on Interaction and Confidence-Building Measures in Asia (CICA) pada tahun 2014 silam, Presiden Tiongkok Xi Jinping mengatakan bahwa ini adalah saatnya untuk Asia menentukan nasib sendiri bagi negara-negara Asia – menjadi semacam pernyataan bernada Pan-Asianisme.
Kebangkitan Tiongkok dan narasi ke-Asia-an ini pun bukan tidak mungkin memunculkan sejumlah pertanyaan. Apa sebenarnya makna dari Pan-Asianisme? Lantas, mengapa Tiongkok seakan-akan mendorong identitas ke-Asia-an di panggung politik internasional ini?
Pan-Asianisme Baru ala Tiongkok?
Identitas mengenai rasa ke-Asia-an ini bukan sekali ini saja muncul. Bahkan, identitas dan narasi Pan-Asianisme ini telah muncul sekitar abad ke-19 di sejumlah negara.
Tentunya, kemunculan Pan-Asianisme pada pertengahan abad ke-19 tidak begitu saja terjadi. Terdapat peristiwa-peristiwa sejarah yang menjadi pemicu terhadap meningkatnya rasa identitas dan solidaritas ke-Asia-an.
Mengacu pada tulisan Christopher W. A. Szpilman dan Sven Saaler yang berjudul Pan-Asianism as an Ideal of Asian Identity and Solidarity, 1850-Present, bangsa-bangsa Asia mulai menganggap bangsa Barat sebagai ancaman pada tahun 1839-1842, yakni kala Perang Opium meletus di pesisir Tiongkok. Dalam perang itu, Tiongkok harus menerima kekalahan setelah dihantam oleh bangsa-bangsa Eropa.
Meski terdapat banyak versi dari gagasan Pan-Asianisme, sebagian besar berpusar pada narasi the West (Barat) vs. the Orient (Timur). The Orient dalam hal ini adalah kebudayaan-kebudayaan berada dalam lingkaran pengaruh bangsa Tiongkok – seperti Jepang dan Korea.
Tidak mengherankan apabila akhirnya gelombang Pan-Asianisme ini banyak bermunculan di negara-negara Asia Timur – termasuk Asia Tenggara. Pada Perang Dunia II, misalnya, gagasan semacam ini diusung oleh Kekaisaran Jepang.
Pada akhir abad ke-20, gelombang pan-Asianisme ini kembali tumbuh di sejumlah negara Asia Tenggara – seperti Malaysia dan Singapura. Pemimpin-pemimpin seperti Mahathir Mohamad dan Lee Kuan Yew mengusung gagasan bahwa masyarakat Asia memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan Barat.
Pada akhirnya, sepanjang sejarah, gagasan-gagasan Pan-Asianisme ini selalu berpusar narasi anti-Barat – baik kala Perang Opium meletus, Kekaisaran Jepang dalam Perang Dunia II, maupun nilai-nilai Asia ala Mahathir-Lee. Bukan tidak mungkin, semangat Pan-Asianisme inilah yang kembali dipromosikan oleh Xi Jinping dari Tiongkok.
Kala AS dan negara-negara Barat menekan Indonesia dalam persoalan KTT G20 2022, misalnya, istilah “momen Asia” boleh jadi memunculkan narasi Us vs. Them antara negara-negara Asia dan negara-negara Barat. Apalagi, negara-negara Asia Tenggara disebut sudah mulai risau dengan sikap AS yang dianggap mulai memaksa mereka untuk memilih pihak.
Sebagai negara penantang AS, Tiongkok bisa tampil menjadi pemimpin (leader) di kawasan Asia – khususnya Asia Timur. Bila ini terjadi, Xi Jinping bukan tidak mungkin membutuhkan kerangka organisasi untuk mengatur struktur keamanan dan ekonomi regional.
Lantas, bila semangat Pan-Asianisme ini berlanjut menjadi semangat regionalisasi di Asia – katakanlah muncul Asian Union (Uni Asia) layaknya Uni Eropa (UE), apakah yang akan terjadi terhadap situasi geopolitik Asia? Mungknikah Uni Asia muncul sebagai kawasan terkuat – bahkan mengalahkan AS?
Andai Seluruh Asia Bersatu
Bagaimana jadinya bila Uni Asia ini muncul layaknya UE? Pertanyaan inilah yang mungkin menimbulkan angan-angan tersendiri bagi banyak pihak.
Pasalnya, kawasan Asia bisa dibilang menjadi kawasan yang vital bagi ekonomi, keamanan, dan politik secara global. Apalagi, kawasan Indo-Pasifik kini menjadi fokus utama geopolitik – di mana banyak negara emerging seperti Tiongkok, India, dan Indonesia berada.
Setidaknya, terdapat sejumlah keuntungan bila skenario Uni Asia ini benar-benar terjadi. Pertama, Uni Asia bakal menjadi kawasan dengan aktivitas ekonomi terbesar di dunia.
Asia sendiri merupakan kawasan dengan ekonomi yang paling besar dan tercepat dalam pertumbuhan secara regional. Berdasarkan data dari International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2019, nilai produk domestik bruto (PDB) kawasan Asia mencapai hingga USD31,58 triliun (atau sekitar Rp450.000 triliun).
Dengan potensi ekonomi sebesar itu, Uni Asia bisa melebihi kekuatan ekonomi AS maupun UE. Bukan tidak mungkin, inilah mengapa ASEAN dan negara-negara Asia seperti Tiongkok dan Jepang – memperkuat kerja sama ekonomi dan dagang di kawasan Asia-Pasifik.
Kedua, secara populasi, kawasan Asia juga memiliki jumlah populasi terbesar di dunia secara kawasan. Berdasarkan estimasi Worldometer, jumlah populasi kawasan ini mencapai 4,7 miliar orang (59,76 persen populasi dunia) dengan usia rata-rata 32 tahun.
Populasi tentu menjadi faktor penting dalam menentukan kekuatan entitas politik internasional. Mengacu pada tulisan Nicholas Eberstadt yang berjudul Demography and International Relations, semakin besar populasi sebuah negara, semakin besar juga sumber (resources) yang dimiliki oleh negara tersebut untuk membuat kebijakan luar negeri.
Ketiga, dengan adanya regionalisasi melalui sebuah kerangka organisasi, integrasi juga akan semakin menghubungkan antar-negara, baik secara sosial maupun ekonomi. Perpindahan antar-warga Uni Asia akan semakin gencar dengan kerangka bebas visa semacam Schengen ala UE.
Perpindahan manusia dan peningkatan interconnectedness antar-negara juga akan secara tidak langsung menguntungkan negara-negara yang masih berkembang seperti Indonesia – membuat negara-negara ini mendapatkan pengetahuan dan teknologi yang lebih mutakhir melalui kerangka transfer teknologi.
Meski Uni Asia nantinya akan memiliki tiga kelebihan tersebut, bukan tidak mungkin terwujudnya regionalisasi di seluruh kawasan Asia akan mudah. Secara politik dan budaya, tidak semua negara Asia mengakui Tiongkok sebagai pusat pusaran pengaruh utama.
Negara-negara Asia Tenggara sendiri, misalnya, memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap kebangkitan Tiongkok. Kala negara-negara kontinental seperti Kamboja memiliki hubungan dekat dengan Tiongkok, negara-negara maritim seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura memiliki pandangan yang lebih negatif terhadap manuver Tiongkok di Laut China Selatan (LCS).
Pada ujungnya, Uni Asia bisa jadi blessing (berkah) sekaligus curse (kutukan). Siapa tahu realitas ini bisa saja terjadi di masa depan – di mana AS tidak lagi memiliki pengaruh yang kuat di kawasan Asia? Who knows? (A43)