Tensi keamanan kawasan membuat Jepang tampaknya mulai beralih dari kebijakan militer mereka yang pasifis. Di titik ini, Amerika Serikat (AS) seolah menjadi negara yang diuntungkan atas. Lalu, benarkah demikian?
Asia Timur merupakan salah satu regional dalam perpolitikan internasional yang terus mengalami perubahan secara bertahap pada keberhasilan pembangunan ekonomi, maupun politik, sehingga menjadi perhatian yang serius dari aktor internasional.
Dalam beberapa dekade terakhir, Asia Timur menjadi kawasan yang strategis. Selain karena faktor letak strategis, kawasan tersebut terdiri atas negara-negara yang tergolong “kuat” didalamnya.
Tensi berkepanjangan di antara negara-negara kawasan Asia Timur juga mempengaruhi stabilitas keamanan di kawasan. Mulai dari sengketa perbatasan atau kepulauan, luka masa lalu pada perang dunia, hingga masalah nuklir Korea Utara (Korut).
Konstelasi keamanan kawasan sangat mempengaruhi perilaku politik luar negeri dan membentuk pola dan skema interaksi antar negara.
Negara-negara di Asia Timur mulai mengarahkan perhatian kepada perkembangan keadaan sekitar yang dianggap dapat menjadi sumber ancaman dan mencari cara untuk mengatasinya.
Dalam konteks ini, kompleksitas keamanan kawasan berfokus pada unsur-unsur penting berupa kedekatan geografis, anarkisme kawasan, polaritas kekuatan, dan konstruksi sosial yang diperlihatkan melalui pola persahabatan dan permusuhan.
Dalam wilayah Asia Timur sendiri, terdapat banyak bentuk dan macam aliansi yang dilakukan antara negara-negara di kawasan. Aliansi yang terbentuk di kawasan Asia Timur sendiri agaknya tidak dapat lepas dari pengaruh dua negara adi daya yaitu Amerika Serikat (AS) dan negara yang dipimpin Vladimir Putin, yakni Rusia.
Jepang sebagai negara maju, setelah kekalahan mereka di Perang Dunia (PD) II memutuskan untuk menerapkan kebijakan pasifis dalam hal militer. Meski demikian, Jepang selama ini selalu dibantu oleh sekutu terbesar mereka yaitu AS, terutama dalam dimensi militer dan pertahanan. Ihwal yang kemudian membuat pasifisme Jepang seolah berada di ranah abu-abu.
Pada era Perdana Menteri (PM) Fumio Kishida, Jepang belakangan mulai tampak meninggalkan kebijakan pasifis mereka dan seolah mulai mempertegas posisi politik militer dan pertahanan.
Hal itu dibuktikan dengan rencana menaikkan anggaran pertahanan mereka sebesar 2 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mereka. Rencana ini diumumkan PM Kishida pada 9 Desember 2022 lalu, dan akan berlaku untuk lima tahun mendatang sampai tahun 2027.
Lantas, mengapa Jepang merubah strategi keamanan nasional mereka dengan menaikkan anggaran pertahanan mereka?
Kebangkitan Jepang?
Tensi keamanan yang terjadi di kawasan Asia Timur telah menimbulkan suatu persepsi ancaman lebih. Intensitas peningkatan kapabilitas militer di negara-negara tersebut kemudian menjadi perhatian di antara negara-negara di kawasan tersebut.
Kompleksitas keamanan kawasan di Asia Timur pada dasarnya menjelaskan tentang kondisi keamanan yang tidak stabil karena terjadi persaingan di kawasan. Selain itu, kondisi diperkeruh dengan turut melibatkan negara di luar kawasan, dalam hal ini AS dan Rusia.
Oleh karena itu, kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur agaknya menyebabkan terjadinya dilema keamanan atau security dilemma. Aliansi militer dan peningkatan anggaran militer merupakan dua gejala bahwa dilema keamanan menyebabkan perasaan takut dan terancam bagi negara-negara di kawasan Asia Timur.
Menurut Nicholas Wheleer dan Ken Booth dalam buku The Security Dilemma: Fear, Cooperation, and Trust in World Politics, dilema keamanan tercipta ketika peningkatan kekuatan militer yang besar terjadi pada suatu negara yang menimbulkan kecemasan terhadap negara lain.
Hal ini seolah terbukti ketika Jepang mulai meningkatkan rencana anggaran pertahanan mereka menjadi 320 miliar dollar AS. Menariknya mayoritas diperuntukkan belanja rudal dari AS yang dapat menjangkau musuh di kawasan. Ihwal yang dilakukan Jepang pertama kali sejak Perang Dunia II.
Rencana tersebut praktis akan menjadikan Jepang sebagai negara dengan anggaran pertahanan terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Rusia.
Rencana Jepang menaikkan anggaran pertahanan mereka dinilai mencerminkan kekhawatiran negara tersebut atas meningkatnya eskalasi keamanan di kawasan serta keprihatinan mereka atas invasi Putin dan Rusia ke Ukraina yang kerap dianggap sebagai keputusan pemimpin negara paling kontroversial di tahun 2022 lalu.
Menurut Barry Buzan dalam buku The Action-Reaction Model. In: An Introduction to Strategic Studies, model aksi-reaksi atau action-reaction adalah bahwa negara-negara memperkuat persenjataan mereka sebagai respons terhadap ancaman yang datang dari negara lain yang mereka terima di dalam struktur politik yang anarki dalam sitem internasional. Ihwal yang merupakan turunan praktik dari konsep dilema keamanan.
Jepang yang sebelumnya menganut kebijakan pasifis setelah kekalahan di Perang Dunia II, kini mulai kembali ikut aktif dalam membangun pertahanannya.
Penyebab utamanya tak lain karena merasa terancam dengan klaim Tiongkok atas Pulau Senkaku atau Diaoyu di Laut Tiongkok Timur, Isu Taiwan, dan Isu Semenanjung Korea.
Jepang dianggap merasa perlu meningkatkan sistem pertahanan mereka sebagai bentuk kewaspadaan dan perlindungan diri di kawasan.
Tak hanya itu, satu hal yang menarik lainnya dalam kebijakan sistem keamanan nasional Jepang yang baru adalah mereka dimungkinkan melakukan serangan balik dan menyerang secara langsung wilayah negara lain dalam keadaan darurat dan situasi tertentu.
Sebagaimana “aksi-reaksi” dalam dilema keamanan, hal ini kemudian mengundang kecaman dari negara-negara musuh, seperti Rusia, Tiongkok, dan Korea Utara. Ketiga negara tersebut kompak mengkritik kebijakan pertahanan Jepang tersebut.
Merespons hal itu, Tiongkok dan Rusia langsung melakukan latihan militer bersama kedua negara di Laut Tiongkok Timur pada 21 hingga 27 Desember 2022. Sementara, Korea Utara dalam pernyataannya pada 20 Desember 2022 lalu, mengecam rencana Jepang dengan menyebutnya sebagai ancaman serius dan “secara fundamental mengubah” situasi keamanan di kawasan.
Akan tetapi kebijakan anyar pertahanan Jepang mendapat dukungan dari sekutu terbesar mereka, yaitu Amerika Serikat (AS). Dukungan itu langsung dikatakan oleh Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin yang menyebut negaranya mendukung keputusan Jepang untuk memperoleh kemampuan baru yang memperkuat pencegahan regional, termasuk kemampuan “serangan balik”.
Perbedaan reaksi dari sejumlah negara itu lantas menimbulkan pertanyaan lain, yakni apakah kebijakan anggaran pertahanan Jepang murni karena bentuk kewaspadan Jepang atau justru ada hubungan dengan “bisnis jual-beli senjata” dengan AS?
Bisnis Perlombaan Senjata?
Peningkatan anggaran pertahanan Jepang begitu besar dinilai akan membuat Tiongkok dan Rusia cemas. Itu dikarenakan Jepang berpeluang menjadi salah satu negara dengan kapabilitas militer yang kuat dan tak pernah terbayangkan sebelumnya di kawasan Asia Timur.
Kecemasan Tiongkok dan Rusia bukan tanpa alasan. Jika dilihat dari sejarah Jepang pada Perang Dunia II, negeri Samurai memiliki pengalaman sebagai negara dengan militer terbaik di dunia, bahkan membuat AS kerepotan.
Namun, kecemasan bagi Tiongkok dan Rusia tidak berlaku bagi sekutu terbesar Jepang yaitu AS. Naiknya anggaran pertahanan Jepang nampaknya membuat AS “tersenyum”, karena kebijakan itu seolah menjadi sinyal bahwa salah satu konsumen besar bagi industri senjata AS akan muncul.
Dalam dimensi yang berkelindan dalam bingkai “ekonomi-politik pertahanan”, naiknya anggaran pertahanan Jepang membuat motif AS untuk mempertahankan hegemoni di kawasan Asia Timur bukan menjadi kepentingan satu-satunya. Motif bisnis perdangan alutsista dengan Jepang kini tampaknya justru menjadi yang utama bagi AS.
Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), AS dalam kurun 2016-2020 menguasai 37,1 persen ekspor senjata dunia.
Jumlah tersebut kiranya akan bertambah karena Jepang mulai membangun sistem pertahanan mereka yang mayoritas anggaran belanjanya digunakan untuk membeli rudal dari AS.
Menurut seorang filsuf dan psikolog dari AS, William James, AS memiliki pandangan pragmatis. James menjelaskan bahwa konsep pragmatisme mengikuti logika atau pandangan individu dalam melakukan suatu hal dengan menghitung keuntungan yang akan didapat.
Pragmatisme tersebut mencerminkan ideologi AS sebagai negara dengan pakem liberalisme. Berdasarkan konsep pragmatisme, hal yang terpenting adalah kepentingan nasional AS dapat diraih dalam situasi apapun, konflik maupun damai.
Peluang untuk memperoleh keuntungan dalam sebuah tensi antarnegara maupun konflik bukan tidak mungkin dimanfaatkan para koalisi kelompok elite negeri ‘Paman Sam’. Perusahaan senjata di AS sendiri memiliki pengaruh di badan pemerintahan dengan terlibat dalam penyusunan kebijakan makro AS.
Hal itu sekaligus menandakan bahwa hubungan Jepang dan AS memiliki hubungan saling ketergantungan atau interdepedensi.
Menurut Yanuar Ikbar dalam buku Ekonomi Politik Intemasional 2 : Implementasi Konsep dan Teori, interdependensi merupakan saling ketergantungan yang mempertemukan kekurangan dari negara-negara yang ada melalui keunggulan komparatif masing-masing.
Kekuatan dari sebuah interdependensi ditentukan oleh adanya kerawanan dan sensitifitas dari para aktor yang terlibat. Keohane dan Nye dalam Buku Pengantar Studi Hubungan Intemasional karya Robert Jackson & Georg Sorensen, menyatakan sensitifitas berkaitan dengan seberapa besar sebuah negara dipengaruhi oleh kebijakan negara lain sebelum bereaksi atas terjadinya perubahan.
Di titik ini, benang merah peningkatan anggaran pertahanan Jepang yang seolah memiliki kaitan dengan kepentingan ekonomi-politik militer dan pertahanan AS kiranya mulai terlihat.
Namun demikian, penjelasan di atas pun masih sebatas interpretasi semata. Yang jelas, arah konkret peningkatan anggaran pertahanan Jepang memang patut untuk diperhatikan ke depannya. (S83)