Site icon PinterPolitik.com

Israel Dukung Kemerdekaan, Palestina Menang?

pm israel yair lapid di sidang majelis umum pbb 169

PM Israel Yair Lapid dukung negara Palestina dalam pidato di Sidang Majelis Umum PBB. (Foto: AFP/Timothy A. Clary)

Perdana Menteri (PM) Israel Yair Lapid menghebohkan dunia dengan pernyataannya yang mendukung kedaulatan Palestina. Ini merupakan pertama kalinya Israel bersedia untuk mengakui Palestina. Lantas, apakah Israel memiliki kepentingan politik tertentu di baliknya?


PinterPolitik.com

Dunia seakan terkesima dengan pernyataan yang baru-baru ini dilontarkan oleh Perdana Menteri (PM) Yair Lapid terkait dukungannya terhadap kemerdekaan Palestina. Di depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dia bahkan menyebut solusi kedua negara ini merupakan upaya perdamaian dan menekankan pentingnya masa depan anak-anak, keamanan, serta ekonomi kedua negara.

Sontak, pernyataan kontroversial Lapid dikritik keras oleh rivalnya pada pemilihan umum (pemilu) yang akan dilangsungkan pada 8 November mendatang yaitu Benjamin Netanyahu, mantan PM Israel.

Bagi seorang pemimpin yang telah lama menentang kedaulatan Palestina selama periode 1996 hingga 1999 dan 2009 hingga 2021, Netanyahu menganggap Lapid lemah karena menempatkan kembali warga Palestina ke pusat panggung internasional dan menempatkan Israel kembali ke lubang. Netanyahu juga mengungkapkan kemarahannya yang berapi-api bahwa pernyataan Lapid akan membahayakan posisi Israel terhadap isu Iran.

Menurut Ahmad Rafiq Awwad, seorang profesor ilmu politik di Universitas Al-Quds, Lapid hanya melontarkan pernyataan itu guna menarik suara dari pemilih Israel-Arab. Menurutnya Lapid tidak menawarkan apa-apa lantaran dia butuh dukungan suara dari partai-partai berbasis kiri.

Komentar sinis dan pesimistis tersebut diamini oleh seorang analis politik lainnya, Haytham Daraghmeh yang menyatakan hari demi hari Israel tetap melakukan peningkatan pembangunan yang merusak tanah Palestina.

Polisi Israel juga melakukan pemindahan paksa jamaah Muslim di kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur, untuk kemudian membuat tempat aman bagi kaum Yahudi ultranasionalis yang menandai Tahun Baru Yahudi.

Berbeda dari pendapat para pengamat, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas menyambut positif pernyataan Lapid. Dia juga meminta kedua pihak untuk duduk bersama di meja perundingan untuk pada akhirnya menerapkan solusi dua negara.

Berdasarkan berbagai respons tersebut, akankah Israel mengakhiri polemik yang seakan tiada akhir dengan mengakui Palestina sebagai negara yang berdaulat?

Polemik Tiada Akhir?

Sebelum berandai-andai lebih jauh akan adanya perdamaian antara Israel dan Palestina, polesan polemik tragis akan selalu melekat bagi sejarah keduanya. Hubungan pelik antar dua negara itu selalu melahirkan perseturuan yang tiada habisnya. Agaknya konflik bahkan tidak dapat dikelola, namun perlu diselesaikan.

Polemik Israel-Palestina diawali dengan konflik administrasi dimana keduanya memperebutkan tanah yang sama. Kala itu, Inggris mengambil alih wilayah Palestina. Pada tahun 1923 Liga Bangsa-Bangsa (LBB) memberi mandat kepada Inggris atas kendali administratif wilayah tersebut, termasuk mendirikan tanah Yahudi.

Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membagi dua wilayah Palestina antara lain negara Yahudi merdeka dan negara Arab merdeka dengan menetapkan Kota Yerusalem sebagai ibu kota bagi orang Yahudi.

Ketetapan itu ditentang keras oleh orang Arab Palestina yang berpendapat bahwa mereka mewakili mayoritas dan berhak untuk mendapat lebih banyak wilayah.

Konflik Israel-Palestina bahkan tidak dapat disebut lagi sebagai perselisihan administratif belaka, namun telah merambah pada konflik pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Lalu, setelah lebih dari setengah abad dan melewati banyak perundingan perdamaian, mengapa Lapid menyatakan dukungannya pada negara Palestina secara terang-terangan?

Wujudkan “NATO Arab”?

Jika berbicara mengenai diplomasi, maka tidak akan terlepas dari kebijakan di dalam negara itu sendiri dan negara lainnya. Salah satu teori yang mengatur kompleksitas hubungan antar negara yaitu two level games yang diungkapkan oleh Robert D. Putnam dalam bukunya yang berjudul Diplomacy and Domestic Politic.

Menurutnya faktor utama yang harus diperhatikan dalam mengukur keberhasilan kebijakan publik dapat dianalisis melalui dua tingkatan alias level untuk mendapatkan pengakuan internasional. Dua tingkatan tersebut antara lain tingkat internasional (sebagai tingkat pertama) dan tingkat domestik (sebagai tingkat kedua).

Bargaining between the negotiators, leading to a tentative agreement; call that Level 1 or international level” - Robert D. Putnam (1988)[1] 

Pada tingkatan pertama, terjadi proses tawar-menawar antara negosiator yang berujung pada perjanjian sementara pada tingkat internasional. Peran negosiator dianggap sangat signifikan mengingat setiap perwakilan negara memiliki kepentingan yang berbeda-beda sehingga dibutuhkan negosiator yang memiliki tanggung jawab yang tinggi serta harus perwakilan dari petinggi suatu negara.

Jika mengacu pada konsep tersebut, maka langkah Israel dalam merebut dukungan dari negara-negara Arab dinilai cukup tepat. Peran Amerika Serikat (AS) selaku negosiator tidak terlepas dari keberhasilan Israel dalam menggaet dukungan dari empat negara Arab.

Pada tahun 2020 Israel mendapat dukungan baru dari negara-negara Arab seperti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan dan Maroko. Normalisasi hubungan Israel dengan UEA dilakukan pada tanggal 13 Agustus, Bahrain dilakukan pada tanggal 15 September, Sudan dilakukan pada tanggal 23 Oktober, dan Maroko dilakukan pada tanggal 10 Desember.

Normalisasi hubungan ini diperkuat oleh pengaruh kepentingan masing-masing negara termasuk dalam menghadapi ancaman regional untuk mencapai stabilitas dan peningkatan ekonomi, penanganan Pandemi Covid-19, dan ketidakstabilan atas pecahnya perang Rusia-Ukraina. Adapun, para ahli menyebutkan keempat negara tersebut akan masuk ke dalam “NATO Arab” besutan Israel dan Amerika Serikat.

Tentunya keberhasilan diplomasi ini melahirkan gelombang pro dan kontra yang luar biasa. Pasalnya, kondisi Palestina dinilai semakin memilukan.

Selain itu, negara-negara Arab juga memberi perhatian pada ancaman serangan udara dari Iran sebagai lanjutan dari Kesepakatan Abraham pada tahun 2020. Negara-negara Arab lainnya yang kemungkinan akan memainkan peran dalam aliansi ini antara lain Oman, Qatar, dan Kuwait. Seorang pengamat pertahanan Center for a New American Security (CNAS), Becca Wasser memandang ini sebagai jembatan yang terlalu jauh.

Ini menjadi masuk akal karena gagasan “NATO Arab” memang sudah berkali-kali diajukan, namun belum direalisasikan hingga saat ini dan setidaknya dalam waktu yang dekat.

Jika Palestina mendapatkan dukungannya dari Israel, bisa jadi upaya ini merupakan bentuk ancaman kepada negara-negara Arab setelah “NATO Arab” terwujud dan dapat dikendalikan.

Fenomena itu dapat disebut dengan istilah blackmail yang dibahas dari publikasi berjudul The Theory and Practice of Blackmail oleh Daniel Ellsberg. Istilah itu memiliki artian dari perspektif diplomasi sebagai seni mempengaruhi perilaku orang lain dengan ancaman.

Kembali kepada pembahasan mengenai teori two level games yang diungkapkan oleh Robert D. Putnam, bagaimana yang terjadi di tingkat domestik sebagai tingkat kedua untuk menilai dukungan Palestina dari Israel?

Lawan Kubu Kanan?

Adanya dugaan terkait perlawan Lapid terhadap rivalnya yaitu Netanyahu yang merupakan politisi kubu kanan kiranya memiliki keniscayaan yang besar.

Sesuai dengan penilaian pengamat Palestina yang telah dijelaskan pada awal tulisan, Lapid kemungkinan membutuhkan suara dari orang Israel keturunan Arab.

Namun, dengan pertimbangan jejak pendapat dari Institut Demokrasi Israel, sebanyak 31 persen orang Yahudi Israel mendukung pemerintah baru untuk memajukan solusi dua negara, sedangkan sebanyak 58 persen orang Yahudi Israel menentang langkah tersebut.

Upaya perdamaian kedua negara yang dilakukan oleh Lapid semakin tidak masuk akal ketika dirinya pernah melakukan operasi militer di Gaza pada bulan Agustus lalu demi menjamin kemenangannya. Dia mengklaim operasi dengan sandi “Breaking Dawn” itu ditujukan untuk mencegah serangan Jihad Islam Palestina (PIJ). Namun, tidak semua orang percaya pada alasan tersebut.

Lapid dinilai melakukan operasi kejam itu demi menunjukkan bahwa dirinya dapat menyamai Benjamin Netanyahu. Terlebih, dirinya tak memiliki latar belakang mumpuni di bidang militer.

Selain itu, ketika Netanyahu, bagian dari kelompok sayap, penentang garis keras kelompok Arab gagal melakukan tugas untuk membentuk koalisi pemerintahan baru, Presiden Israel Reuven Rivlin berpaling pada Lapid dan menyebabkan perpecahan politik.

Perpecahan politik itu akhirnya mengharuskan negara Israel untuk melakukan pemilu yang kelima kalinya. Pada kondisi ini, Netayahu perlu dukungan dari partai United Arab List (UAL) dan kalangan zionis Yahudi. Pasalnya, partai zionis menolak bergabung dalam koalisi dengan UAL. Dengan demikian, upaya untuk menggaet suara dari orang Arab-Israel bagi Lapid menjadi sangat masuk akal.

Pada akhirnya, setelah menilik sejarah polemik Israel-Palestina, menimbang kepentingan politik secara internasional maupun domestik, Lapid agaknya sedang melancarkan strategi politik untuk memenangkan Pemilu pada bulan November mendatang serta berupaya untuk lakukan diplomasi blackmail bagi negara-negara Arab di balik sokongannya terhadap Palestina. (Z81)

Exit mobile version