Site icon PinterPolitik.com

Iran dan Mahsa Amini “Bangunkan” Feminis Indonesia?

d5b0b3bf a9b1 49a2 911d 528a0afbbeff 696x522

Sekitar 200 warga Jakarta, termasuk diaspora Iran, demonstrasi depan Kedutaan Iran di Menteng, menuntut kematian puluhan perempuan dan anak di Teheran dan kota-kota lainnya. (Foto: Berita Moneter/Andreas Harsono)

Kematian Mahsa Amini bukan hanya memantik demonstrasi besar-besaran untuk mendorong reformasi hukum di negara Iran, melainkan juga mendorong solidaritas kaum feminis di seluruh dunia. Lantas, bagaimana refleksi isu perempuan di Iran bagi gerakan feminis di Indonesia?


PinterPolitik.com

Pada 16 September lalu, warga Iran dilanda duka mendalam akibat meninggalnya seorang perempuan bernama Mahsa Amini yang diduga mengalami penyiksaan dari polisi moral.

Kematian Mahsa Amini menyulut kemarahan warga yang telah muak oleh pemerintahan Mullah di Iran, terutama perempuan-perempuan Iran yang merasa terkekang oleh aturan berpakaian.

Perempuan Iran yang merasa terkekang oleh aturan moral yang dinilai terlalu mengatur kebebasan mereka dalam berpakaian khususnya kewajiban menggunakan pakaian longgar dan mengenakan penutup kepala.

Isu ini kemudian mendapat banyak dukungan dari berbagai belahan dunia dan seolah menyalakan sumbu api kemarahan dan kesadaran solidaritas sesama perempuan.

Contohnya saja, aksi potong rambut yang juga dilakukan oleh salah satu politisi perempuan Swedia kelahiran Irak Abis Sahlani ketika melakukan pidato di parlemen Uni Eropa. Dirinya memegang gunting, kemudian memotong rambutnya dan mengatakan semacam semboyan dengan emosional, “Perempuan. Kehidupan. Kebebasan.”

Aksi tersebut dilakukan sekaligus untuk mengekspresikan kekhawatirannya terhadap keselamatan perempuan, terutama perempuan di Iran. Lantas, video tersebut menjadi ramai diperbincangkan di media sosial.

Adapun, baru-baru ini isu perempuan semakin memanas ketika salah satu penonton Italia bernama Mario Ferri nekat masuk ke lapangan pada laga Portugal versus Uruguay di Piala Dunia Qatar 2-22. Dia, kemudian mengibarkan bendera Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) sekaligus menyuarakan hak-hak perempuan yang dianggap tertindas di Iran.

Lantas, bagaimana perjuangan gerakan feminis di negara yang menganut pemerintahan Mullah yang begitu kuat? Serta, bagaimana makna pergerakan kebebasan yang disuarakan oleh kaum feminis terhadap pemerintah Iran?

Mengapa Harus Hijab?

Tulisan berjudul ​​How feminist are the protests in Iran? yang ditulis oleh Katajun Amirpur menyatakan bahwa hijab merupakan suatu simbol yang sangat identik dengan sejarah emansipasi di Iran terhadap pembebasan diri dari negara paternalistik. Perjuangan kaum feminis bahkan bukan dimulai sejak 1978, melainkan sejak awal abad ke-20.

Pada tahun 1936 Jenderal Cossack Reza Shah Pahlavi melarang perempuan Iran mengenakan hijab sebagai salah satu upaya modernisasi negara. Namun, larangan itu kurang ditegakkan sehingga para perempuan masih dapat mengenakan jilbab secara leluasa, kecuali dalam ranah bekerja atau pun berkuliah.

Pada 1960-an, kritik Ayatollah Ruhollah Khomeini terhadap pemerintahan Shah terfokus pada hukum keluarga yang baru, yang dirancang untuk memberikan kesetaraan hukum yang lebih besar kepada perempuan.

Pada tahun 1978, banyak perempuan Iran yang mulai mengenakan hijab ketika mereka turun ke jalan untuk berdemonstrasi menentang penindasan politik sebagai cara untuk menunjukkan posisi anti-Syah mereka. Jilbab menjadi simbol utama protes terhadap Syah.

Tidak lama setelah Revolusi Iran tahun 1979, pemerintah Iran mewajibkan perempuan untuk mengenakan pakaian sesuai dengan standar Islam. Sejak tahun 1980, perempuan yang tidak mengenakan hijab tidak boleh memasuki gedung pemerintahan, tempat kerja, maupun publik.

Mereka yang tidak mengenakan hijab pun rentan mengalami kekerasan dan pelecehan baik oleh aparat penegak hukum maupun warga pro-rezim. Pada tahun 1983, muncul aturan hukum pidana yang menyatakan wanita yang tak mengenakan hijab di muka umum dapat dihukum cambuk hingga 74 cambukan.

Namun, sejumlah perempuan seperti Saba Kord Afshari dan Yasaman Aryani dijatuhi hukuman penjara yang berat. Setelah itu, dalam sepuluh tahun terakhir, sikap perempuan Iran cenderung semakin liberal sehingga terbentuk lah “Patroli Bimbingan” yang dibawahi oleh polisi moral di Iran.

Nyatanya, protes kewajiban hijab telah marak terjadi sejak tahun 1979 hingga tahun 2020. Bahkan pada tahun 1999, mahasiswa turun ke jalan selama enam hari hingga pihak berwenang melakukan penangkapan terhadap ribuan peserta aksi dan di antaranya banyak yang hilang, terluka, bahkan terbunuh.

Menurut pernyataan seorang profesor emerita di Universitas Concordia sekaligus antropolog Homa Hoodfar, demo besar-besaran di Iran saat ini bukan hanya menuntut kesetaraan perempuan, tetapi juga menuntut rezim untuk membenahi masalah yang ada terutama permasalahan ekonomi. Rezim dianggap terlampau tak mendengar sehingga masyarakat menuntut sebuah revolusi.

Adapun, sebuah artikel berjudul Reflections on “In Her Name”: The Meaning of Iran’s Uprising yang ditulis oleh Catherine Z. Sameh menuturkan wawancara ​bersama lima ulama feminis Iran dan diasporanya yang menyebutkan isu perempuan di Iran memerlukan solidaritas  masyarakat dunia.

Mereka juga menekankan solidaritas bukan diartikan sebagai intervensi, melainkankan untuk mendukung perempuan Iran mewujudkan kesetaraan gender. Lantas, apakah arti kesetaraan gender bagi perempuan di berbagai belahan dunia? Bagaimana masyarakat Indonesia memaknai perjuangan kesetaraan gender di Iran?

Kesetaraan, Bukan Sekadar HAM?

Sebelum memaknai kesetaraan gender lebih lanjut, makna gender itu sendiri seringkali disalahartikan dengan jenis kelamin. Cambridge Dictionary mengartikan gender sebagai sekelompok orang dalam masyarakat yang berbagi kualitas atau cara berperilaku tertentu yang diasosiasikan masyarakat dengan menjadi laki-laki, perempuan, atau identitas lain.

Berdasarkan “kiblat” definisi tersebut, gender lebih merujuk kepada cara berperilaku seseorang yang pada umumnya dihubungkan dengan identifikasi jenis kelamin seseorang. Makna gender akan semakin luas jika seseorang berjenis kelamin perempuan, namun berperilaku seperti laki-laki dan sebaliknya sehingga tak heran isu kesetaraan gender dapat bersinggungan dengan LGBT.

Lantas, apa hubungan antara keduanya?

Hakikat gerakan feminisme perlu dituju untuk mewujudkan kesetaraan antara derajat laki-laki dan perempuan. Kesetaraan merupakan hak asasi manusia yang mendasar untuk berpartisipasi dalam berbagai hal, termasuk politik, dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan menekankan kesetaraan gender bukan hanya persoalan hak asasi manusia belaka, tetapi juga menjadi suatu fondasi dalam menciptakan perdamaian, kesejahteraan, dan keberlanjutan.

Gerakan feminis di Iran perlu menjadi suatu refleksi bahwa perempuan Iran juga merupakan seorang individu yang bernilai mengingat telah banyak korban yang berjatuhan dan adanya urgensi dalam menegakkan keadilan.

Oleh karena itu, seluruh masyarakat dunia termasuk Indonesia kiranya perlu mendukung gerakan kesetaraan gender di Iran atas dasar kemanusiaan sebagaimana makna sebuah solidaritas.

Idealnya, kesetaraan dapat dilihat sebagai sikap tanpa menghakimi pilihan perempuan untuk menjadi seorang yang “diidentifikasi” sebagai independen atau pun memilih sebagai seorang ibu rumah tangga.

Perempuan berhak untuk memilih seperti apa hidupnya tanpa standar yang dituntut oleh lingkungan, terutama otoritas hukum. Pada titik ini, pertanyaan menarik agaknya muncul jika merefleksikannya ke ranah domestik, yakni apakah Indonesia telah sepenuhnya mewujudkan kesetaraan gender sebagaimana menjadi akar persoalan yang sedang memanas di Iran?

Indonesia Serupa Iran?

Sejarah Indonesia terkait kewajiban berhijab memiliki kemiripan dengan aturan hijab di Iran. Pada masa Orde Baru (Orba), pemerintah Indonesia bahkan juga pernah melarang siswa untuk berhijab. Aturan itu ditulis dalam Peraturan seragam sekolah berupa SK 052/C/Kep/D.82 keluaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Aturan itu dikeluarkan lantaran adanya ketidakharmonisan antara relasi pemerintah dengan berbagai kelompok Muslim, terutama kecurigaan terhadap politik Islam. Larangan tersebut kemudian menuai resistensi dan advokasi, khususnya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DII), dan Muhammadiyah.

Penggunaan kembali hijab sebagai representasi identitas Islam di dunia pendidikan bersinggungan dengan dinamika kebangkitan politik Islam pada tatanan global, nasional, dan lokal. Terlebih, Revolusi Iran tahun 1979 menjadi titik yang menginspirasi bagi sebagian Muslim di Indonesia.

Persamaan nilai tersebut akhirnya memberi dampak pada kewajiban penggunaan jilbab untuk melawan aturan terkait larangan berhijab oleh pemerintah Orba sekaligus mendorong gerakan ‘jilbabisasi’ dalam dunia pendidikan yang hingga sekarang terus berkembang.

Namun, pada era pasca Reformasi tahun 1998, makna hijab mengalami pergeseran sehingga dianggap sebagai tren dan gaya hidup selain sebagai simbol interpretasi keislaman.

Saat ini, fenomena pemaksaan hijab tampaknya masih dapat ditemukan pada daerah-daerah, khususnya Aceh yang menerapkan kewajiban berhijab. Namun, secara nasional fenomena pemaksaan hijab telah menuai resistensi akibat adanya polarisasi akan demokratisasi dan kebebasan berpendapat.

Oleh karena itu, refleksi perjuangan perempuan Iran dapat dimaknai kembali sebagai perjuangan hak asasi manusia dalam memperjuangkan kesetaraan serta kebebasan. Kesetaraan, khususnya kewajiban penggunaan hijab di Indonesia pun kiranya perlu dimaknai kembali sesuai dengan prinsip yang menghormati keberagaman. (Z81)

Exit mobile version