Site icon PinterPolitik.com

Inikah Cara Israel Kuasai Arab?

uae fta

Menteri Ekonomi Israel Orna Barbivai (kanan) bersama Menteri Perdagangan Asing UAE Al Zeyoudi (kiri). Foto: Gideon Sharon/GPO)

Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel baru saja menandatangani perjanjian dagang bebas (FTA). Ini menjadi perjanjian ekonomi resmi pertama yang dijalin antara Israel dengan sebuah negara Teluk Arab. Mengapa kesepakatan ini baru terjadi sekarang? 


PinterPolitik.com 

Pada tahun 2020, para pemimpin dari negara Amerika Serikat (AS), Uni Emirat Arab (UEA), dan Israel, menandatangani pernyataan perdamaian yang diberi nama Abraham Accords atau Perjanjian Abraham. Nama perjanjian ini terinspirasi dari nama Nabi Ibrahim, yang ajarannya diakui bersama oleh agama Islam, Kristen, dan Yahudi. 

Abraham Accords kemudian menjadi istilah populer yang merepresentasikan upaya normalisasi yang tengah dilakukan Israel dengan negara-negara Teluk Arab, seperti Bahrain, Jordan, dan Arab Saudi. Israel pun sempat berupaya membujuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk turut menormalisasi hubungan, namun mengalami kebuntuan. 

Setelah dua tahun tidak terlalu terekspos media, Abraham Accords pada Selasa, 31 Mei 2022 lalu kembali menjadi sorotan setelah diumumkannya peresmian perjanjian dagang bebas (FTA) antara UEA dan Israel.  

Perjanjian ini digadangkan menjadi FTA pertama antara Israel dan sebuah negara Teluk Arab. Proyeksi nilainya pun tidak main-main, yakni diprediksi akan bernilai US$10 miliar dalam 5 tahun ke depan. 

Sebagai catatan, peresmian FTA ini terjadi di tengah panasnya hubungan Israel dan Palestina. Ketika bulan April, misalnya, Israel menyerang warga Palestina yang tengah beribadah di Masjid Al-Aqsa. 

Perdana Menteri (PM) Israel Naftali Bennett mengatakan kesepakatan tersebut menjadi penyelesaian FTA tercepat dalam sejarah Israel. FTA ini juga diharapkan mempercepat pertumbuhan, menciptakan lapangan kerja, dan mewujudkan perdamaian di kawasan Timur Tengah. 

Ketika berbicara tentang Israel, tentu kita tidak bisa mengesampingkan peran AS. Walau tidak dijelaskan secara spesifik, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Antony Blinken pada bulan Maret lalu sempat bertemu dengan UEA, Bahrain, Maroko, dan Mesir di Israel.  

Blinken menegaskan penguatan Abraham Accords adalah kunci perdamaian Timur Tengah di tengah memanasnya keadaan dunia, spesifiknya akibat konflik Ukraina dan masih adanya potensi ancaman nuklir dari Iran. Adalah hal yang sangat lumrah jika AS berkontribusi dalam perwujudan FTA Israel-UEA. 

Sebagai dampaknya, penguatan Abraham Accords tentu akan berdampak langsung pada pengaruh Israel yang lebih kuat di Timur Tengah. Salah satunya terhadap kelangsungan kondisi konflik Palestina. 

Lantas pertanyaannya adalah, mengapa UEA baru menguatkan hubungannya dengan Israel sekarang? Mungkinkah ini ada hubungannya dengan dampak konflik Ukraina? 

Buntut Konflik Ukraina? 

Ada satu alasan kuat kenapa penguatan normalisasi UEA-Israel sangat berhubungan dengan apa yang terjadi di Ukraina, yaitu karena polemik harga minyak bumi.  

Seperti yang diketahui, UEA termasuk negara eksportir minyak terbesar di dunia, bersamaan dengan Saudi Arabia dan Rusia. Begitu juga Iran, yang saat ini adalah negara produsen minyak terbesar keempat di dunia, dan menyimpan 10% dari total minyak dunia. 

Nah, akibat perkembangan minyak dunia sekarang, posisi Rusia sebagai eksportir besar minyak terancam akibat sanksi-sanksi yang dijatuhkan AS dan sekutunya. Sebagai dampaknya, alur perdagangan minyak dunia cukup terganggu, alhasil banyak negara sekarang sedang mencari alternatif sumber minyak. 

Menariknya, di saat yang bersamaan, negara-negara Barat pada Maret sampai April lalu dikabarkan mempertimbangkan mendekati Iran untuk memenuhi kebutuhan minyaknya. Ini kemudian semakin kentara setelah ada kabar bahwa Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) yang dibuat pada tahun 2015 akan dimunculkan kembali. 

JCPOA ini pada dasarnya adalah kesepakatan yang dijalin antara lima negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dengan Iran, yang bertujuan menghambat pengembangan nuklir Iran, dengan iming-iming pengurangan sanksi ekonomi.  

Pada 2018 lalu, mantan Presiden AS Donald Trump meninggalkan JCPOA. Sebagai dampaknya, sanksi ekonomi terhadap Iran dinaikkan, dan pendapatan Iran yang sebagian besar berasal dari ekspor minyaknya menurun drastis, dari yang tadinya mencapai 2,8 juta per barel, menjadi hanya 200.000 per barel. 

Yang membuat ini lebih menarik lagi, untuk mengatasi kebuntuan ekspor minyak, Iran diketahui diam-diam menggunakan jasa UEA sebagai perantara ekspor dengan pembeli-pembeli terbesarnya, seperti Tiongkok. Saeed Ghasseminejad dalam tulisannya UAE Continues to Serve as Hub for Iranian Sanctions Evasion, mengungkapkan bahwa dengan melakukan ini, UEA sesungguhnya telah beberapa kali “ditegor” oleh AS. 

Karena itu, jika JCPOA diperkuat, maka Iran akan kembali masuk ke pasar minyak dunia. Dan jika Iran berkesempatan untuk mengekspor minyaknya tanpa lagi membutuhkan jasa UEA, akibat embargo minyak yang dijatuhkan pada Rusia paska konflik Ukraina, maka UEA tidak memiliki daya tawar yang kuat untuk berkonfrontasi dengan Iran, sekaligus berisiko menjadi kambing hitam di hadapan AS. 

Sementara, dari aspek keamanan, Iran tidak dipungkiri adalah salah satu ancaman terbesar bagi negara-negara Teluk Arab, termasuk UEA, di Timur Tengah. Tidak jauh berbeda dengan keadaan di Eropa Timur, Iran sejak dulu sering mengklaim wilayah-wilayah Teluk Arab adalah bagian dari teritori mereka. Terlebih lagi, Iran memiliki tenaga nuklir.  

Dengan demikian, wajar bila UEA berusaha mencari jaminan keamanan, salah satunya dengan mendekati Barat dan Israel, di balik slogan normalisasi hubungan melalui Abraham Accords

Well, jika benar demikian, maka apa yang dilakukan UEA sesungguhnya mencerminkan teori regional security complex, yang dikembangkan oleh Barry Buzan dan Ole Wæver. Sederhananya, teori ini menjelaskan bahwa perilaku politik suatu negara dalam satu kawasan pasti akan selalu termotivasi oleh keinginan mendapatkan jaminan keamanan atas perilaku negara tetangganya yang lain. 

Singkatnya, bila musuh terdekat suatu negara memiliki keunggulan tertentu, maka negara tersebut perlu merasa khawatir akan adanya kemungkinan negara musuh tersebut menyalahgunakan keunggulannya. 

Dengan logika yang demikian, pantas bila UEA saat ini berusaha mendapatkan teman baru untuk memastikan kepentingan keamanan maupun ekonominya, meskipun harus terlihat mengkhianati negara yang sampai saat ini ditekan oleh Israel, yaitu Palestina. 

Namun, melihat bagaimana ini semua terjadi, mulai dari konflik Ukraina hingga dampaknya ke Timur Tengah, pasti kita akan merasa janggal. Mungkinkah ini semua terjadi secara kebetulan, atau memang bagian dari suatu desain politik? 

Narasi AS dan Israel? 

Sejatinya, di dalam politik tidak ada yang namanya kecelakaan, karena seperti kata pejuang kuno Persia, Hassanas-Sabbah: “nothing is true—all is permitted”. Segala peristiwa politik bisa terjadi karena ada kompromi dari pihak-pihak yang terlibat. 

Terkait hal itu, kita perlu berkaca pada apa yang dikatakan ahli bahasa sekaligus filsuf AS, Noam Chomsky dalam bukunya How the World Works. Di dalamnya, Chomsky menilai AS sebagai negara digdaya yang memiliki kemampuan untuk menciptakan realitas dalam politik internasional.  

Maksudnya adalah, akan selalu ada kemungkinan besar setiap krisis yang terjadi di dunia merupakan desain Paman Sam​ untuk meraup keuntungan untuk dirinya sendiri, ataupun untuk negara-negara sekutunya.  

Dengan konflik Ukraina, kita telah menyaksikan sendiri banyak perusahaan pertahanan di AS, maupun Eropa, mendapatkan keuntungan besar. Kendati demikian, sampai saat ini keuntungan yang kira-kira bisa didapatkan Israel sebagai salah satu sekutu paling setia AS masih menjadi misteri. Bisa jadi, narasi harga minyak yang kemudian berujung pada FTA UEA-Israel adalah salah satunya. 

Jika normalisasi dengan negara-negara Teluk Arab bisa diwujudkan, Israel tidak hanya akan mendapatkan keunggulan dalam menekan Palestina lebih mendalam, tetapi juga punya kesempatan untuk bangkit sebagai regional power atau kekuatan kawasan yang baru di Timur Tengah.  

Layaknya Perang Dingin mini, persaingan besar di Timur Tengah nantinya akan difokuskan antara Israel-Teluk Arab dengan Iran. Dan bukan tidak mungkin juga, narasi normalisasi ini akan melebar dan berdampak pada negara kita, Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dan salah satu pendukung setia Palestina. 

Dan layaknya sebuah teater drama, panggung politik internasional akan diisi oleh negara-negara yang memiliki perannya masing-masing, yang sudah ditentukan oleh negara-negara besar. Bagaimana ini semua akan berakhir? Well, itu hanya diketahui oleh si penulis skrip. (D74) 

Exit mobile version