Cross BorderICC Cuma “Gertak Sambal” ke Putin?

ICC Cuma “Gertak Sambal” ke Putin?

- Advertisement -

Perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) kepada Presiden Rusia, Vladimir Putin sangatlah mengejutkan. Selain karena terkesan tiba-tiba, untuk pertama kalinya seorang pejabat tinggi dari anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) didakwa kasus kejahatan perang. Namun, apakah perintah ini diputuskan secara objektif? Dan apakah benar bisa terlaksana?


PinterPolitik.com

“Perang tidak lain adalah kelanjutan dari lalu lintas politik dengan intervensi dari cara lain” – Carl von Clausewitz

Pekan lalu, kabar mengejutkan dari Den haag, Belanda yakni soal perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC)kepada Presiden Rusia, Vladimir Putin. Selain Putin, perintah penangkapan juga dikeluarkan kepada Maria Lvov-Belova, sebagai komisaris hak anak anak Rusia.

Perintah penangkapan tersebut dikeluarkan dengan tuduhan atas kasus deportasi anak-anak Ukraina ke Rusia secara ilegal. Karim Khan, aksa yang menjatuhkan perintah tersebut, menuduh kegiatan deportasi tersebut ilegal dan bertentangan dengan pasal 8(2)(a)(vii) dan pasal 8(2)(vii) Statuta Roma. Sehingga, pada tanggal 17 Maret surat tersebut akhirnya dikeluarkan. 

ICC sendiri merupakan sebuah lembaga yang didirikan pada 2002. Tujuan dari didirikannya lembaga tersebut adalah untuk mengadili para pelaku kejahatan perang, agresi hingga genosida. ICC memiliki wewenang untuk menuntut warga negara anggota yang telah melakukan kejahatan terkait, dan kejahatan di wilayah negara anggota oleh aktor lain. 

Dengan sekitar 132 negara anggota, termasuk Ukraina,  ICC telah mendakwa beberapa tokoh high profile selaku kepala negara. Para kepala negara tersebut adalah Presiden Sudan, Omar al-Bashir, Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta, serta pemimpin Libya, Muammar Gaddafi. Kendati demikian, hanya Kenyatta saja yang akhirnya sampai duduk dalam pengadilan ICC. 

Sementara, hal menarik dalam kasus Putin, dia adalah pejabat tinggi pertama dari anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang didakwa oleh ICC atas kasus kejahatan perang. Namun, apakah Putin dapat benar benar ditangkap? Atau perintah ini hanya sekadar “angin lewat” yang tak akan dibahas lagi kedepannya?

image 27

Sulit Terlaksana?

Meski telah mengeluarkan surat penangkapan, menurut beberapa pihak, perintah tersebut sulit untuk dilaksanakan. Walaupun setiap negara anggota diwajibkan untuk melakukan penangkapan, tapi ICC tetap saja masih memiliki beberapa kendala untuk merealisasikan penangkapan Putin.

Bill Bowring, seorang Profesor di Universitas London, berpendapat bahwa masalah utama dari ICC adalah ketiadaan pasukan keamanan. Untuk itu, mereka bergantung pada pasukan keamanan negara anggota setiap kali ingin melakukan penangkapan. Terkait ini, Putin juga tidak akan mungkin pergi ke negara anggota ICC yang memiliki kemungkinan untuk menangkapnya.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin ala Prabowo?

Di sisi lain, penangkapan Putin di dalam Rusia juga sangat mustahil selama ia masih menjadi orang yang berkuasa di negara tersebut. Kita mungkin bisa berkaca pada kasus Saddam Hussein di Irak. Ketika ia masih berkuasa di sana, tentu pasukan keamanan Irak tidak akan pernah menangkap dirinya. Tapi, ketika kekuasaannya berhasil digulingkan oleh pasukan koalisi AS, barulah ia bisa ditangkap dan dijatuhi hukuman.

Fakta bahwa Rusia menjadi salah satu negara yang tidak menandatangani Statuta Roma membuat Rusia tidak terikat untuk melaksanakan perintah tersebut. Reaksi dari dalam negeri Rusia juga menunjukkan berbagai penolakan. Salah satunya adalah perkataan dari mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, yang mengancam akan menembakkan misil ke gedung ICC di Den haag.

Ruang lingkup Putin juga tidak menjadi “sempit” hanya karena surat tersebut. Hal ini disebabkan karena tidak semua negara menjadi anggota ICC. Negara seperti Rusia, China hingga Indonesia, menjadi contoh negara yang bukan anggota ICC, sehingga tidak terikat pada aturan dari lembaga tersebut.

Bahkan, di kalangan negara anggota ICC pun terdapat perbedaan sikap mengenai surat penangkapan tersebut. Selain negara negara yang patuh, seperti Jerman, Polandia, dan Brazil, juga terdapat negara-negara yang “bandel” seperti Hungaria, dan Afrika Selatan (Afsel). Hungaria sendiri menyatakan bahwa peraturan tersebut belum masuk kedalam UU Hungaria, sehingga mereka tidak memiliki landasan hukum untuk melakukannya.

Sementara, Afrika Selatan justru mengundang Putin ke negaranya. Undangan tersebut berkaitan dengan presidensi asosiasi Brazil, Rusia, India, Tiongkok, Afsel (BRICS) yang kali ini dipegang oleh Afsel. Sementara, berkaitan dengan perintah ICC, mereka sebut masih akan didiskusikan lebih lanjut.

Dengan begitu banyak tantangan, apakah sejatinya ICC “tidak berguna”?

image 26

Rezim Internasional yang Lumpuh?

Keberadaan organisasi atau lembaga internasional tentu diharapkan menjadi sebuah wadah yang dapat menjadi solusi dalam berbagai konflik dan polemik internasional. Selain itu, juga dapat menjadi wadah sebagai pertemuan berbagai kepentingan, untuk nantinya mencapai kata sepakat dan win-win solution bagi setiap pihak.

Baca juga :  Dunia: Let's Work Together, Prabowo!

Namun, dalam prakteknya banyak organisasi atau lembaga internasional yang justru fungsi dan perannya semakin berkurang. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa kasus, seperti kegagalan PBB dalam mencegah perang di Ukraina, atau kegagalan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam menyelidiki asal penyebab Covid-19 di Tiongkok, dan sebagainya.

Sebenarnya, jika kita melihatnya dalam teori realisme, hal ini dapat dipahami. Teori realisme sendiri merupakan teori yang menjelaskan bahwa sifat dalam hubungan antar negara sifatnya adalah anarki. Ini artinya, tidak ada satu hal yang menjadi dominan dan menguasai yang lain, dan tidak ada hukum yang benar benar mengikat.

Maka dari itu, setiap negara akan berorientasi kepada power atau kekuatan, mereka akan selalu berusaha untuk memenuhi dan mengutamakan kemampuan milik mereka terlebih dahulu setiap kali berinteraksi dengan negara lain. Kondisi ini membuat ketidakmampuan dari organisasi internasional untuk memaksimalkan perannya. Bahkan, dalam dunia yang telah mengalami globalisasi seperti sekarang, situasi seperti itu tetap berlanjut.

Maka jika kita menghubungkannya dengan kasus ICC ini, ketidakterikatan itu nampak jelas dari masih banyaknya negara negara yang belum menandatangani Statuta Roma, atau belum meratifikasinya. Karena Rusia termasuk negara yang tidak menandatanganinya, maka Putin tidak bisa ditangkap di negaranya.

Selain itu, kecenderungan dari beberapa negara anggota ICC untuk mengabaikan surat penangkapan tersebut menjadi bukti lain dari ketidakterikatan yang dibahas dalam teori realisme tadi. Terutama Afsel yang tampaknya akan lebih mementingkan pertemuan BRICS untuk perekonomiannya ketimbang mematuhi perintah tersebut.

Maka dari itu, sebaiknya upaya rekonsiliasi dan mediasi dijadikan sebuah pilihan utama, ketimbang menjatuhkan berbagai sanksi. Hal ini penting agar tidak ada sentimen berlebih kepada berbagai organisasi internasional tersebut, dan tidak muncul stigma  seperti standar ganda, memihak dalam menggambarkannya.

Sejatinya, di dalam dunia yang telah mengalami globalisasi seperti sekarang, tentu setiap pihak tidak bisa hidup sendiri. Namun, ini bukan berarti tidak boleh ada konflik, tapi lebih ke bagaimana cara penanganannya. 

Akhir kata, semoga Indonesia bisa memposisikan dirinya sebaik mungkin, dan dapat menjadi mediator handal dalam forum internasional, sehingga bisa menjadi lebih aktif dalam kegiatan diplomasinya. (R87)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Anies & Tom: Political ‘Boys Love’?

Aww, so sad but also so sweet?  #Anies #AniesBaswedan #TomLembong #ThomasLembong #bromance #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini