Site icon PinterPolitik.com

Gara-gara Zelensky NATO Akhirnya Retak? 

nato retak zelsnyk

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky saat hadir di KTT NATO (foto: Twitter/ @SpriterTeam)

Negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mulai tunjukkan ketidaksenangannya atas dukungan yang mereka berikan pada Ukraina. Mungkinkah ini menjadi pertanda bahwa NATO mulai meragukan keyakinannya pada Ukraina? 


PinterPolitik.com 

Sudah hampir dua tahun perang antara Rusia dan Ukraina berlangsung. Kendati sudah ratusan ribu korban jiwa yang tewas akibat perang tersebut, hingga saat ini hasil akhir dari peperangan yang telah membuat sejumlah negara tertimpa krisis pangan dan ekonomi itu masih belum bisa terbaca.  

Tentunya, saat ini semua orang menyadari bahwa selain Ukraina dan Rusia yang terlibat dalam perang tersebut, negara-negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) juga ikut terseret, meskipun tidak secara langsung. Ini karena bantuan finansial dan militer luar biasa yang mereka berikan kepada Ukraina semenjak perang meletus pada 24 Februari silam.  

Karena alasan ini, sudah jelas bahwa persepsi yang dimiliki Amerika Serikat (AS) dan kawan-kawannya terhadap Perang Ukraina akan sangat berdampak pada kemungkinan hasil akhir yang akan terjadi.  

Namun, belakangan ini terdapat perkembangan menarik yang terjadi di tubuh NATO terkait Ukraina. Ketika mereka mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Lithuania pada 11-12 Juli 2023, Menteri Pertahanan (Menhan) Inggris, Ben Wallace, menyindir Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky bahwa Inggris dan negara-negara NATO yang selama ini membantu Ukraina bukanlah “Amazon” (platform e-commerce AS). 

Pernyataan tersebut tentunya mengacu pada sejumlah pernyataan Zelensky di publik yang sangat sering sekali meminta bantuan dari NATO agar mereka bisa mengalahkan Rusia. 

Sindiran soal Amazon bukanlah satu-satunya ucapan pedas yang diungkapkan Inggris pada Ukraina. Wallace juga menyebutkan bahwa alih-alih terus meminta bantuan di setiap pertemuan internasional, Zelensky seharusnya bisa lebih menunjukkan sikap yang berterima kasih karena selama ini sudah diberikan miliaran dollar bantuan perang oleh negara-negara NATO. 

Ucapan Wallace tadi menjadi sekian dari sejumlah indikasi bahwa negara-negara Eropa, khususnya yang juga termasuk NATO, mulai menunjukkan rasa “capeknya” atas bantuan yang mereka berikan ke Ukraina.  

Selain Wallace, di momen yang berbeda, Josep Borrell, Perwakilan Tinggi Uni Eropa Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, pun pernah menyebutkan bahwa sumbangan senjata yang diberikan Eropa pada Ukraina akan menjadi sebuah bencana ekonomi. 

Fenomena-fenomena politik ini tentu menjadi hal yang menarik untuk kita perhatikan. Mungkinkah ini adalah sesuatu yang terjadi begitu saja, atau merupakan indikasi blunder strategi yang dilakukan Zelensky? 

Perang Berkepanjangan, Kekeliruan Zelensky? 

Sebelumnya, dalam artikel PinterPolitik berjudul Putin Sudah Antisipasi Taktik NATO?, sudah diprediksi bahwa ada kemungkinan Ukraina dan Rusia sama-sama akan mengandalkan peperangan yang lama agar bisa menjadi pemenang. Dengan menggunakan strategi perang erosi, kedua pihak berharap perang yang lama dapat membuat lawannya kehabisan sumber daya lebih dahulu, kemudian bersedia menerima tuntutan perdamaian. 

Masing-masing pihak memiliki alasan yang rasional bila memang mengandalkan strategi yang demikian. Dari sisi Ukraina, dengan adanya dukungan luar biasa dari NATO, mereka tentu yakin akan menang jika melakukan perang yang berkepanjangan dengan Rusia. Sementara kalau Rusia, dengan menjalani perang yang berkepanjangan, dampak psikologis dan ekonomis yang harus diderita oleh warga Ukraina diharapkan dapat mendorong para pemimpinnya untuk menyerah pada Rusia. 

Akan tetapi, kalau melihat keadaannya sekarang, sepertinya Ukraina mulai terkalahkan oleh pertaruhannya sendiri.  

Seperti yang dibahas dalam bagian pertama tulisan ini, para negara NATO saat ini mulai menunjukkan tren di mana mereka semakin berani bersuara bahwa dukungan yang mereka berikan pada Ukraina telah menyakiti perekonomian negaranya. Meskipun klaim-klaim tersebut masih perlu dibuktikan lagi, dalam tataran politik, itu sesungguhnya jadi pertanda bahwa mulai banyak negara NATO yang tidak suka dengan perang yang berlangsung begitu lama di Ukraina. 

Seperti yang dikatakan ilmuwan politik internasional asal Austria, Ivan Krastev, perang Ukraina memang menjadi pemersatu NATO terbesar semenjak Perang Dingin, akan tetapi, kalau para negara NATO tidak waspada, perang tersebut sebetulnya bisa jadi penyebab perpecahan yang begitu dahsyat di Eropa. Hal itu karena dampak ekonomi yang muncul akibat dukungan yang mereka berikan bisa memunculkan kekhawatiran besar. 

Pertama, dengan perang yang berkepanjangan, akan banyak orang di negara-negara NATO yang mempertanyakan kembali apakah dukungan yang selama ini mereka berikan ke Ukraina benar-benar merupakan keputusan yang bijak, mengingat masih banyak warga di negara mereka yang lebih membutuhkan uang tersebut. 

Kedua, akibat kiriman senjata yang juga diberikan banyak negara NATO pada Ukraina, standar kebutuhan senjata dari para negara pendonor pun turut terguncang. Tentu tidak berarti negara seperti Jerman, Prancis, atau Inggris tidak lagi memiliki senjata, tapi untuk menyesuaikan pasokan yang seharusnya mereka punya, jelas mereka perlu meningkatkan ketergantungannya pada negara produsen senjata (seperti AS) agar bisa tetap dalam keadaan siap perang, bila sewaktu-waktu Rusia bertindak nekat. 

Kalau kemudian kita mengambil asumsi ini dan menerapkannya pada apa yang dikatakan Wallace, maka kembali lagi, bisa jadi Ukraina saat ini sesungguhnya merasakan dampak “kekalahan” atas pertaruhan besar yang mereka lakukan akibat perang yang berkepanjangan. Di satu sisi, bisa kita katakan juga bahwa meskipun Rusia menderita cukup besar akibat sanksi ekonomi, mungkin ini adalah sesuatu yang sejak awal rela mereka bayar. 

Lantas, kalau memang begitu, bisa kita pertanyakan juga, mungkinkah Presiden Rusia, Vladimir Putin, sudah merencanakan outcome yang seperti ini?

 

Putin Siapkan Strategi Potong Salami? 

Sebagai rakyat awam, tentu kita tidak akan bisa memastikan apakah Putin memang sudah menargetkan semua halnya. Akan tetapi, kita setidaknya bisa menduga-duga dengan menggunakan pandangan teori-teori politik internasional. 

Bisa saja, Putin selama ini sebetulnya tengah melakukan satu strategi politik dan perang, yang bernama salami slicing strategy atau strategi potong daging. Strategi ini mengacu pada metode agresi atau ekspansi yang digunakan oleh suatu negara untuk mencapai tujuannya tanpa memicu perang skala penuh atau tanggapan internasional yang kuat.  

Dalam strategi ini, negara agresor mengambil langkah-langkah terukur agar agresi yang mereka lakukan tidak menjadi perang besar, dengan harapan konflik kecil tersebut bisa memudahkan mereka mencapai sebuah tujuan besar, contohnya seperti pelemahan kekuatan ekonomi para negara oposisinya. 

Dari perspektif ini, tujuan Rusia bisa jadi adalah untuk menciptakan perpecahan dan ketegangan di antara negara-negara Barat dengan memprovokasi konflik berkepanjangan yang akan membebani sumber daya dan persatuan mereka. Dengan terlibat dalam perang yang berlarut-larut, Rusia dapat mengeksploitasi perpecahan politik, ekonomi, dan sosial di antara negara-negara Barat, yang kemudian berpotensi melemahkan respons dan tekad kolektif mereka sebagai bagian kesatuan NATO. 

Dengan pandangan yang demikian, bisa kita bayangkan di masa depan bila negara-negara NATO akhirnya merasa cukup dan muak atas “bocornya” ekonomi mereka, mereka akhirnya akan terpaksa mengajukan mosi memberhentikan bantuan di forum NATO. Kalau sudah seperti itu, bila perang masih terjadi, nasib Ukraina akan semakin tidak pasti. 

Menariknya, sebagai sebuah perenungan nakal, mungkin saja strategi potong salami yang dilakukan Putin ini sebenarnya juga mengarah pada rekan sehidup sematinya, yakni Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Seperti yang kita tahu, Eropa dan Tiongkok memiliki hubungan ekonomi yang cukup kuat. Bila ekonomi negara-negara Eropa nantinya benar-benar terganggu, bukan tidak mungkin mereka juga akan memiliki ketergantungan ekonomi pada Tiongkok. 

Yang jelas, cepat atau lambat negara-negara Eropa dan NATO akan menyadari bahwa untuk menyelamatkan dirinya sendiri mereka perlu mengurangi komitmennya dalam membantu Ukraina. At the end of the day, kalau mereka sudah berpikir kemudian, Zelensky dan Ukraina bisa jadi akan “ditinggalkan” oleh NATO. Mungkinkah ini kemudian jadi pembuktian bahwa Putin memegang keunggulan? Well, we’ll just have to see.

Pada akhirnya, tentu ini semua hanyalah interpretasi belaka. Yang jelas, bagaimanapun juga, besar harapan kita Perang Ukraina yang telah berkepanjangan ini bisa selesai dengan secepatnya. (D74)

 

Exit mobile version