Site icon PinterPolitik.com

G20 India Tumbang Diancam Boikot

g20 india boikot

Menlu India saat arahan pers mengenai keketuaan India di G20 (Foto: Reuters/Francis Mascarenhas)

Keputusan India sebagai tuan rumah G20selanjutnyadi wilayah sengketa Kashmir menjadi bumerang. Beberapa negara, terutama China, mengancam untuk memboikot kegiatan tersebut. Wilayah Kashmir sendiri dianggap sebagai salah satu wilayah sengketa paling berbahaya di dunia. Lantas, apakah G20 India akan jadi yang terburuk? Atau bahkan batal digelar?


PinterPolitik.com

“Politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, dan perang adalah politik dengan pertumpahan darah” ,  Mao Zedong

Keputusan India untuk menggelar salah satu rangkaian pertemuan G20 di wilayah Kashmir mendapat tantangan setelah adanya ancaman boikot dari beberapa negara, terutama dari China.

China, lewat juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mereka, Wang Wenbin, menyatakan tidak akan menghadiri setiap pertemuan yang digelar di wilayah tersebut. Wilayah Kashmir sendiri merupakan salah satu wilayah sengketa di India, dimana negara tersebut memperebutkannya dengan Pakistan.

Wilayah Kashmir Menjadi rebutan antara kedua negara tersebut sejak pembagiannya pada tahun 1947. Meski sama-sama mengklaim keseluruhan wilayah Kashmir,  baik India dan Pakistan hanya berhasil menguasai sebagian saja, dengan wilayah utara-barat di tangan Pakistan dan bagian selatan-tenggara dikuasai India. 

Bahkan wilayah ini disebut sebagai salah satu sengketa paling “panas” dan berbahaya di dunia. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya garis batas resmi secara internasional, hanya ada garis pembagian “The Line of Control” tahun 1972. Selain itu, perang di wilayah ini telah berlangsung berjilid-jilid sehingga bisa menunjukkan seberapa sensitif wilayah ini.

Namun, kenapa persoalan di antara Pakistan dan India bisa berdampak pada KTT G20 yang merupakan event internasional? Bahkan, Pakistan sendiri bukan anggota di dalamnya. Apakah ada tujuan dan maksud lain dari usaha boikot ini?

Great Power Rivalries China-India

Perubahan bentuk kekuatan politik dunia dari unipolar atau bipolar ke multipolar membuat berbagai hal di antara hubungan antar negara menjadi semakin kompleks. Kehadiran kekuatan-kekuatan baru yang terus menguat dan menyeimbangkan kekuatan Amerika Serikat (AS) membuat situasi politik dunia semakin kompleks. 

Munculnya India, China hingga Korea Selatan (Korsel) membuat pentas politik dunia semakin ramai.

Dengan semakin banyaknya kekuatan baru, maka peta persaingan pun berubah. Dunia tidak lagi terfokus pada AS dan Rusia saja, tapi meluas ke negara-negara di kawasan Asia hingga Afrika. 

Dari sekian banyak kekuatan tersebut, China adalah yang paling agresif dalam perkembangannya. Jika dahulu hanya dilihat sebagai “negara komunis miskin”, kini negara tersebut menjelma menjadi pesaing terkuat AS, bahkan melebihi apa yang dicapai oleh Uni Soviet dahulu.

Salah satu cara yang ditempuh untuk memperoleh kekuatan itu adalah dengan menguatkan pengaruh diplomasi politik mereka. Selain panggung persaingan dengan AS, China juga menggunakan forum-forum internasional seperti G20 untuk meluaskan pengaruhnya.

Tindakan China dapat kita lihat menggunakan perspektif dari teori keamanan nasional. Teori ini menjelaskan bahwa keterlibatan kekuatan baru seperti China di forum seperti G20 secara agresif adalah untuk mempengaruhi kebijakan dan strategi global agar sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Hal ini akan menguntungkan bagi China, karena selain dapat menampilkan dirinya sebagai oposisi terkuat AS, negara tersebut juga bisa melindungi kepentingannya. 

Hal ini dilakukan China bukan tanpa sebab, melainkan hal ini adalah tindakan “wajar” yang harus dilakukan oleh diambil sebuah negara besar. Seperti pernyataan dari John Mearsheimer dalam bukunya The Tragedy of Great Power Politics. Mearsheimer mengemukakan bahwa pada dasarnya kekuasaan adalah tujuan utama dari sebuah negara, dan persaingan antar negara merupakan konsekuensinya.

Karena tujuan utamanya adalah kekuatan atau kekuasaan, maka setiap negara akan berusaha untuk mendapat keunggulan dari negara lainnya. Dalam buku tersebut disebutkan tiga tujuan utama sebuah negara, yaitu hegemoni regional, kekayaan maksimal dan keunggulan nuklir. Dengan dicapainya ketiga tujuan tersebut, maka sebuah negara akan memiliki daya tawar lebih dari negara lain. Dan sejatinya setiap negara tidak akan pernah puas hidup dalam “keseimbangan” dan akan terus berupaya mencapai keunggulan dari saingannya. 

Maka dari itu, hal ini menyebabkan sulitnya kerja sama antar negara sulit terwujud, kondisi ini juga turut memaksa setiap negara besar untuk “mencari” sebuah konflik dengan negara lain dalam rangka mencapai keamanannya. Sifat dari sistem internasional yang anarkislah yang membuat negara perlu mengambil tindakan ini untuk bisa survive

Namun, kenapa ada negara lain yang ikut melancarkan boikot pada salah satu acara G20 di India? Apakah mereka juga memiliki motivasi yang sama?

Pengaruh China atau Pakistan?

Perhelatan pertemuan kelompok kerja pariwisata (Tourism Working Group) G20 di Srinagar, Ibukota Jammu dan Kashmir menjadi event internasional pertama yang diadakan di wilayah sengketa tersebut sejak tahun 2019.

Pada 2019 lalu, India secara resmi mengubah status dua daerah semi otonomi Jammu dan Kashmir menjadi wilayah federal. Tindakan ini dianggap ilegal oleh banyak negara, karena status sengketa dari kedua wilayah tersebut.

India sendiri menyebut keputusan untuk mengubah status kedua wilayah tersebut agar terjadi kesetaraan bagi tiap wilayah dan memudahkan penerapan hukumnya nanti. Sementara, berkaitan dengan penyelenggaraan event G20 di Srinagar, perwakilan tetap India di PBB menyebut bahwa hal tersebut adalah hak negaranya untuk menggelar acara apa pun di tiap wilayahnya.

Isu “pendudukan ilegal” inilah yang menjadi dasar legitimasi bagi beberapa negara. Selain China, negara anggota G20 lainnya yaitu Turki dan Arab Saudi juga melewatkan acara tersebut. Bersamaan dengan itu, Mesir yang merupakan salah satu negara undangan untuk event G20 juga akan melewatkan acara ini. 

Keputusan negara-negara tersebut diduga karena hubungan mereka dengan Pakistan. Salah satu relasi kuat diantara mereka adalah soal keanggotaan di Organisasi Kerjasama Islam (OKI), di mana mereka ikut mengkritik kebijakan India soal Jammu dan Kashmir pada 2019 lalu. Selain itu, Pakistan sendiri ikut melancarkan operasi diplomatiknya ke negara-negara tersebut untuk menghalangi niat dari India soal pertemuan ini. 

Selain itu, relasi kuat antara China dengan negara tersebut dianggap ikut berpengaruh pada keputusan mereka soal ketidakikutsertaan pada kegiatan tersebut. Relasi ekonomi China yang kuat, baik dalam hubungan bilateralnya dengan negara negara tersebut, atau dalam proyek Belt and Road Initiative yang berpengaruh pada banyak negara juga berperan.

Bisa dibilang kekuatan ekonomi China sangat besar dan “mengerikan”, dalam artian hampir tidak ada pihak yang mampu menolaknya. Meski China sendiri adalah sebuah “Great Power”, ia masih membutuhkan suara dan dukungan dari negara lain untuk ikut mendukung dan mengikuti keputusannya. Sebagai anggota dari masyarakat internasional, tetap dibutuhkan suara dari orang lain agar keputusannya di-konsiderasi-kan oleh pihak lawannya. 

Maka sejatinya, tidak ada pihak yang secara “absolut” benar dalam konteks permasalahan ini, karena pada dasarnya mereka bergerak sesuai dengan kepentingan yang mereka perjuangkan. India bergerak untuk legitimasi kekuasaan di Kashmir, China bergerak untuk menjadi negara dengan influence terbesar mengalahkan AS, dan negara lain yang mengikutinya bergerak untuk kepentingan nasionalnya masing masing. 

Karena pada dasarnya tidak ada pihak jahat dan baik dalam politik internasional, permainan narasi, propaganda dan lainnya yang dijalankan hanyalah untuk membuat setiap pihak ikut dalam point of view mereka. 

Yang menariknya, dengan pandangan ini bisa saja kita asumsikan akan ada upaya lobbying dari China ataupun Pakistan kepada negara anggota G20 agar bisa mendukung apa yang ingin mereka tekankan dalam pertemuan 20 negara ekonomi terbesar dunia tersebut. Kemungkinan target lobbying tersebut tentu saja termasuk Indonesia.

Mungkin sudah saatnya bagi Indonesia untuk ikut menentukan arah politik luar negerinya secara lebih tegas, bukan sekadar menjunjung kenetralitasan lagi. Karena sejatinya, kepentingan nasional ada diatas kepentingan negara lain. (R87)

Exit mobile version