Cross BorderEropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

- Advertisement -

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru ditanggapi sinis oleh Partai Sayap Kanan di negara-negara Eropa. Secara umum, Eropa dianggap telah menanggung dampak signifikan akibat menerima imigran dalam jumlah besar. Lantas, benarkah demikian? 


PinterPolitik.com 

Isu imigran tampaknya akan selalu menjadi perbincangan panas di negara-negara Eropa. Sebagai kelompok minoritas, seringkali imigran menjadi korban diskriminasi dan rasisme di negara-negara Benua Biru. 

Hal ini, misalnya, dialami oleh seorang remaja laki-laki Prancis keturunan Aljazair bernama Nahel Merzouk. Pada tanggal 27 Juni 2023 tepatnya di kota Nanterre, ia ditembak oleh seorang polisi saat mengemudikan mobilnya dengan sebab yang masih simpang siur. Tentu karena masing-masing pihak besebarangan memiliki preferensi informasinya.  

Dalam waktu singkat kejadian itu, protes besar membara di beberapa kota Prancis seperti Lyon, Marseille, Toulouse, hingga pinggiran Paris. Demonstran yang sebagian besar adalah anak muda dari golongan kelas bawah dan imigran memprotes kekerasan yang dianggap bernuansa rasisme oleh aparat kepolisian. 

Kerusuhan yang disertai dengan aksi penjarahan ini sendiri mengakibatkan lebih dari 1.300 demonstran yang mayoritas merupakan anak muda ditahan dan 250 polisi terluka.

prancis membara kenapa bisa terjadi

 

Chaos yang semakin meluas akhirnya membuat Presiden Prancis Emmanuel Macron terpaksa menunda kunjungan dinasnya ke Belgia dan Jerman. Para demonstran yang sebagian merupakan imigran menuntut Macron menjawab permasalahan diskriminasi sistemik di Prancis. 

Di tengah tuntutan tersebut, politisi dari partai sayap kanan dari negara-negara Eropa justru menyalahkan imigran sebagai dalang di balik kekacauan yang terjadi di Negara Menara Eiffel. 

Misalnya, tokoh populis sekaligus lawan politik Macron, Marine Le Pen dari partai National Rally menyalahkan pemerintah Prancis yang membiarkan para imigran masuk.  

“Kenyataannya adalah Anda (pemerintah) tidak ingin mendengar peringatan dari kami (partai National Rally), kita perlu menghentikan para imigran anarkis” ucap Le Pen dalam pidato di parlemen Prancis seminggu setelah peristiwa kerusuhan pecah. 

Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Italia Nicola Molteni yang juga merupakan anggota partai beraliran sayap kanan Lega Nord. Ia meminta agar Uni Eropa belajar dari kasus kerusuhan yang terjadi di Prancis untuk semakin memperketat kuota masuk para imigran ke Eropa. 

Da juga menilai kebijakan asimilasi dan integrasi yang selama ini dijalankan oleh Uni Eropa terbukti gagal. 

Alih-alih membuat publik di Eropa semakin sadar atas kasus kekerasan dengan diskriminasi tampaknya kasus imigran justru seringkali dijadikan bahan politik oleh para politisi sayap kanan.  

Lantas, bagaimana masa depan para imigran di Eropa pasca kerusuhan besar yang melanda Prancis beberapa waktu lalu?  

Tidak Mungkin Bisa Akur? 

Selama ini para politisi partai sayap kanan di Eropa menganggap imigran sebagai kelompok yang memiliki sifat “antagonis” atau berlawanan dengan nilai-nilai budaya lokal. 

macron kalahkan geerakan anti hijab

Dalam jurnal yang ditulis oleh Ayhan Kaya dan Aysa Tecmen berjudul Europe versus Islam?: Right-wing populist discourse and the construction of a civilizational identity para politisi partai sayap kanan seringkali memberikan sentimen negatif terhadap para imigran terutama yang berasal dari negara Timur Tengah. Mulai dari beban ekonomi, otoritarianisme, hingga terorisme. 

Penggambaran imigran sebagai ancaman terhadap tatanan nilai masyarakat Eropa bahkan tak jarang disebut sebagai bentuk proses demonisasi. 

Sosiolog asal Amerika Serikat (AS) Erving Goffman dalam bukunya berjudul Stigma: Notes on the management of spoiled identity mendefinisikan demonisasi sebagai sikap ketidakpercayaan terhadap keberadaan individu atau kelompok tertentu yang dianggap antagonis, berbahaya, mengganggu dan tidak bermoral (others). 

Sementara itu, Michal Krzyżanowski dalam jurnalnya yang berjudul Discursive shifts and the normalisation of racism: Imaginaries of immigration, moral panics and the discourse of contemporary right-wing populism menyebut sentimen negatif yang diberikan oleh partai-partai sayap kanan di Eropa terhadap para imigran merupakan usaha dalam menciptakan ketakutan di masyarakat.  

Hal itu seolah mengingatkan kembali dengan apa yang dikemukakan Cendekiawan Inggris David Herbert. 

Dalam bukunya berjudul Handbook of Religion and Political Parties, Herbert mengatakan ketakutan atas ancaman imigran yang dianggap merusak tatanan nilai budaya Eropa menjadi kekuatan politik baru bagi partai sayap kanan.  

Herbert di dalam bukunya itu juga menjelaskan lebih lanjut bahwa timbulnya rasa takut terhadap ancaman masuknya imigran membuat partai sayap kanan mendapatkan impresi positif dari masyarakat mayoritas sebagai “pelindung Eropa”. 

Narasi diskriminasi dengan disertai sentimen negatif yang dilakukan oleh politisi dari partai sayap kanan kemudian mempengaruhi kehidupan para imigran di Eropa. 

Pengalaman diskriminasi sendiri agaknya menghambat para imigran untuk menyesuaikan diri dengan nilai budaya masyarakat lokal. 

Dalam beberapa kasus, tak jarang ditemukan sikap para imigran yang seolah “tidak menghormati” budaya dimana mereka tinggal. 

Beberapa waktu lalu, misalnya, muncul video yang sempat viral di internet dimana seorang murid laki-laki imigran Muslim di Norwegia menolak bersalaman dengan seorang guru perempuan. Video tersebut kemudian menimbulkan perdebatan di warganet.  

Pertentangan yang terjadi antara partai sayap kanan dengan para imigran di Eropa kemudian berujung pada timbulnya konflik budaya. 

Kriminolog asal Amerika Serikat Thorsten Sellin dalam teorinya conflict of conduct norm menjelaskan sebuah konflik dapat muncul sebagai akibat dari bertemunya dua kebudayaan yang berbeda di dalam satu wilayah. 

Pertentangan konflik budaya antara masyarakat lokal Eropa dengan imigran tampaknya sudah menjadi konsekuensi bagi masyarakat dengan karakteristik plural. 

Akan tetapi, di balik kesulitan untuk beradaptasi dengan budaya lokal mengapa praktik diskriminasi terhadap para imigran di Eropa seolah begitu “lestari”?

 

Ilusi Bahaya Imigran? 

Marginalisasi dan diskriminasi yang dialami oleh para imigran di Eropa membuat mereka seringkali terlibat dalam aksi protes agar pemerintah setempat memperhatikan hak-hak mereka.  

Para imigran kerap kali memanfaatkan identitas kolektif sebagai sumber daya politik untuk memobilisasi aksi protes mereka sebagai minoritas dan korban. 

Dalam banyak kasus, meskipun para imigran tidak memiliki hak untuk terlibat dalam kegiatan politik formal seperti memilih presiden, aksi protes yang dilakukan mereka dapat menjadi sumber daya politik baru.  

Ilmuwan politik asal AS Melissa Harris-Perry berpendapat, ketika seorang politisi mampu mengartikulasikan kepentingan dan pengalaman kelompok minoritas, maka ia akan mendapat dukungan dari kelompok tersebut. 

Melihat potensi imigran sebagai sumber daya untuk mendongkrak elektabilitas seorang politisi atau partai, banyak partai bernuansa kiri di Eropa berusaha mengooptasi kepentingan kelompok minoritas ini.  

Preseden atas postulat itu, misalnya, datang ketua dari partai sayap kiri Prancis La France Insoumise Luc Melenchon. Dirinya menganggap kerusuhan yang terjadi beberapa waktu lalu merupakan sebuah pemberontakan dari kelompok kelas bawah.  

Partai yang kental dengan sosialisme ini juga mengkritik kegagalan pemerintah Prancis dalam menuntaskan masalah sosial seperti kemiskinan dan diskriminasi sehingga menimbulkan kekecewaan berupa protes besar di kalangan para imigran. 

Fenomena itu sejalan dengan analisis ilmuwan politik asal AS Robert Alan Dahl  dalam bukunya yang berjudul Pluralist Democracy in the United States: Conflict and Consent.  

Dahl menggunakan istilah kooptasi yang digunakan sebagai strategi oleh politisi untuk mendapatkan dukungan baru dari kelompok yang dapat menjadi oposisi atau ancaman bagi lawan politiknya.  

Dahl secara lebih lanjut menjelaskan kooptasi dilakukan dengan memberikan keuntungan seperti sumber daya atau posisi otoritas tertentu terhadap kelompok yang dianggap dapat menjadi oposisinya. 

Bagaimana meningkatnya ketidaksukaan dari partai sayap kanan seperti National Rally pimpinan Marine Le Pen terhadap para imigran pasca kerusuhan yang terjadi beberapa waktu lalu tampak membuatnya menjadi “masuk akal”. 

Partai-partai sayap kanan tidak lagi melihat imigran sebagai ancaman hanya karena dapat menciptakan kerusuhan tetapi juga sebagai alat untuk mendongkrak elektabilitas lawan politik mereka terutama dari kalangan kelompok partai kiri. 

Di tengah isu imigran yang saat ini terus dipolitisasi baik dari kelompok kanan dan kiri, belum ada langkah konkret dalam menyelesaikan masalah diskriminasi di Eropa.  

Kasus kerusuhan besar di Perancis beberapa waktu lalu tampaknya belum cukup untuk menyadarkan Eropa sebagai benua yang dikenal menjunjung tinggi HAM atas urgensinya terhadap masalah imigran.  (F92) 

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Menurut kalian, faktor apa yang membuat Bu Mega sangat kuat secara politik? Share di kolom komentar ya!

2029 “Kiamat” Partai Berbasis Islam? 

Pilkada 2024 menjadi catatan tersendiri bagi partai politik berbasis Islam besar di Indonesia, yakni PKS dan PKB. Bagaimana partai-partai ini bisa membenahi diri mereka dalam menyambut dinamika politik lima tahun mendatang? 

PKS Di Sana Bingung, Di Sini Bingung

Di sana bingung, di sini bingung. Di tengah-tengahnya ada PKS?  #pks #prabowo #aniesbaswedan #kimplus #pilgubjakarta #ahmadsyaikhu #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini