Site icon PinterPolitik.com

Erdoğan, Kuda Troya Penghancur NATO?

Erdogan, Kuda Troya Penghancur NATO?

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (Foto: Mustafa Kamacı - Anadolu Agency)

Penolakan Turki terhadap wacana keanggotan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) Finlandia dan Swedia menjadi kejutan bagi publik. Mengapa Presiden Recep Tayyip Erdoğan berani bertindak demikian? 


PinterPolitik.com 

Polemik seputar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) masih berlanjut hingga sekarang. Setelah menjadi sorotan utama dunia akibat dijadikan alasan Rusia melaksanakan operasi militer ke Ukraina 24 Februari lalu, kini aliansi negara-negara Barat tersebut kembali dihadapi permasalahan besar. 

Permasalahan itu muncul dari internal NATO sendiri, dalam wujud Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan. Pemimpin yang sering dianggap sebagai orang paling berpengaruh di Negeri Bulan Sabit setelah era kepemimpinan Mustafa Kemal Atatürk tersebut baru-baru ini menentang wacana masuknya Finlandia dan Swedia sebagai negara anggota NATO yang baru. 

Hal ini menjadi kejutan besar bagi para anggota NATO lainnya, lantaran April lalu Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO, Jens Stoltenberg sudah mengatakan pihaknya bersedia mempercepat dan mempermudah proses birokrasi bagi Finlandia dan Swedia agar bisa secepatnya menjadi anggota NATO. 

Penolakan yang dilontarkan Erdoğan tentu tidak tanpa alasan. Dalam beberapa pernyataan pers, ia menegaskan bahwa penolakannya adalah karena Finlandia dan Swedia merupakan negara yang diklaim melindungi, membiayai, dan menyembunyikan kelompok militan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) dan Satuan Perlindungan Rakyat (YPG) Kurdi Suriah.  

Dua kelompok itu telah dicap sebagai teroris oleh pemerintah Turki. Dan selama ini, Kurdi juga telah menjadi permasalahan politik domestik negara yang dipimpin Erdoğan itu. 

Beberapa media sudah melaporkan adanya upaya lobi terhadap Turki, namun sampai saat ini hasilnya masih nihil. Turki masih sangat bersikeras tidak ingin menjadikan Finlandia dan Swedia sebagai mitra baru mereka di dalam NATO.  

Melihat karakteristik politik internasional yang penuh akan drama, tentu ada alasan-alasan lain yang tidak diungkapkan ke publik, yang menjadi alasan kenapa Turki menolak keanggotaan negara baru NATO. 

Lantas, apa saja kira-kira alasan tersebut?  

AS dan Turki berbeda pendapat terkait Finlandia dan Swedia di NATO

Erdoğan Sedang Cari Perhatian? 

Sebelum menggali lebih dalam, kita perlu soroti terlebih dahulu motif politik apa saja yang sedang ingin dicapai oleh Turki dengan bersikap keras pada Finlandia dan Swedia. Pertama, adalah potensi peningkatan daya tawar diplomatis dengan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). 

Seperti diketahui, walaupun Turki sudah menjadi anggota NATO semenjak tahun 1952, tetapi mereka kerap kali mendapat perlakuan layaknya “anak tiri” oleh negara-negara anggota yang lain.  

Kepentingan Turki kerap berseberangan, seperti ketika melakukan serangan bersenjata pada kelompok YPG yang melawan ISIS di Suriah pada tahun 2019, padahal kelompok itu di-backing oleh AS dan Eropa. Sontak, Turki pun diberikan hukuman berupa sejumlah embargo senjata. 

Selain itu, Erdoğan akhir-akhir ini juga menunjukkan bahwa negaranya tidak begitu akrab dengan AS di bawah kepemimpinan Biden. Dalam sebuah konferensi pers yang dilansir dari CNN pada bulan lalu, Erdoğan bahkan blak-blakan mengatakan dirinya tidak memiliki hubungan sebaik dengan presiden-presiden pendahulu Biden, seperti Donald Trump dan Barack Obama. 

Dengan latar belakang yang demikian, maka bisa jadi apa yang sedang dilakukan Erdoğan adalah upaya untuk meningkatkan kekuatan negosiasinya dengan Barat. Untuk memenuhi komitmennya dalam menjadikan Finlandia dan Swedia sebagai negara anggota, NATO mau tidak mau harus berhasil merayu Erdoğan. 

Mengapa demikian? Well, itu karena aturan yang ada di dalam NATO sendiri. Menurut Pasal 10 dari Perjanjian Atlantik Utara, dibutuhkan persetujuan bulat dari seluruh 30 negara anggota dalam menjadikan sebuah negara sebagai anggota yang baru.  

Sementara itu, Turki pun tidak bisa dikeluarkan seenaknya karena NATO tidak memiliki aturan prosedur yang mengatur tentang bagaimana mengeluarkan sebuah negara anggota. Walaupun ada konsensus yang mengatakan Turki harus keluar, Erdoğan tetap memiliki hak untuk memveto gerakan tersebut. 

Oleh karena itu, Turki sepertinya sedang berusaha memposisikan dirinya sebagai “anak jual mahal” yang perlu diiming-imingi banyak hal agar setuju dengan keputusan kelompoknya.  

Apa saja hal itu? Cukup banyak, taruhlah contohnya alat-alat militer. Pada tahun 2019, Turki dikeluarkan dari program pengadaan jet F-35 yang bernama Joint Strike Fighter (JSF) karena diketahui membeli sistem misil anti udara S-400 dari Rusia. Kemungkinan Turki mensyaratkan dimasukkan kembali ke program ini demi menerima Finlandia dan Swedia cukup besar. 

Di sisi lain, Turki juga bisa memulihkan hubungannya dengan AS. Dengan menawarkan sejumlah “sogokan”, bisa itu dalam aspek ekonomi, atau politik, Turki bisa mendapatkan perhatian lebih dari negeri Paman Sam, dengan memanfaatkan polemik keanggotaan baru NATO. 

Politik internasional bukan satu-satunya skenario yang kemungkinan sedang dimainkan Erdoğan. Dengan memainkan keanggotaan Finlandia dan Swedia, Erdoğan juga bisa mendapatkan sejumlah manfaat dalam tataran politik domestik. Hal itu karena pada tahun 2023, Turki akan mengadakan pemilihan umum (pemilu). 

Saat ini, populasi etnis Kurdi di Turki mendapat tekanan besar. Menurut Thomas Phillips dalam artikelnya Turkey’s Local Elections were Not Free or Fair, orang-orang Kurdi di wilayah timur Anatolia, Turki, bahkan sampai tidak diperbolehkan terlibat dalam pemilu. Sementara itu, etnis Kurdi sampai saat ini adalah etnis minoritas terbesar di Turki, mengisi sekitar 20 persen total populasi negeri Bulan Sabit. 

Dengan demikian, untuk mencegah kelompok pro-Kurdi mendapatkan dukungan yang lebih besar, Erdoğan harus menghambat penyebaran pengaruh negara-negara Barat yang memang seringkali mendukung gerakan etnis Kurdi. 

Selain itu, narasi “pembangkang” yang dilakukan Erdogan juga bisa menjadi pencitraan yang baik dalam menyambut Pemilu 2023. Dengan membangkitkan citra Turki adalah negara pemegang kunci dalam sebuah keputusan politik NATO, Erdoğan bisa mendapatkan simpati dari para nasionalis di negaranya. 

Hal ini sangat mungkin sedang dimainkan, karena seperti apa yang ditulis Yalçın Akdoğan dalam Political Leadership and Erdoğan, Erdoğan memang dikenal sebagai politisi yang selalu menjadikan dirinya sebagai orang yang kuat, layaknya strategi politik yang juga sering digunakan Vladimir Putin di Rusia. 

Lantas, jika skenario-skenario ini sedang dijalankan Erdoğan, mengapa ia bisa sangat berani menentang NATO? Apa saja kekuatan yang dimilikinya yang dapat membuat NATO berpikir ulang? 

Pentingnya Sang Kuda Troya 

Meski kerap kali berseberangan dengan kepentingan mayoritas anggota NATO, selama puluhan tahun Turki tetap menjadi anggota yang tak tergantikan. Hal tersebut karena Turki memiliki nilai geopolitik yang sangat tinggi. 

Dalam sebuah artikel berjudul Turkey and NATO dalam laman NATO, dijelaskan bahwa bagi NATO, kapasitas Turki dalam menyediakan pangkalan darat dan laut, kekuatan militernya yang kuat, dan kepentingan strategisnya di sisi tenggara Eropa, telah menjadikan negara itu sebagai sekutu yang sangat kuat dan krusial bagi kawasan Eropa. 

Sebagai informasi, Turki adalah negara dengan tenaga militer terbesar kedua di NATO, hanya kalah dari militer AS. 

Lalu, jika kita melihat peta dunia, kita akan sadar bahwa Turki adalah negara yang unik. Negara ini memiliki akses langsung ke Benua Eropa, tetapi juga memegang kunci gerbang ke Benua Asia.  

Untuk NATO, posisi ini sangatlah penting, terlebih lagi tepat di sebelah Turki adalah Iran. Seperti diketahui, Iran sampai saat ini masih berpotensi menjadi ancaman bagi NATO. Apalagi, Iran juga memegang kekuatan nuklir. 

Di samping Iran, Turki pun memegang posisi penting dalam menghalau potensi agresi yang bisa dilakukan Rusia, terutama dari laut. Laut Hitam adalah wilayah air yang sangat mungkin digunakan Rusia untuk melakukan invasi ke Eropa. Satu-satunya jalur penghalau yang bisa digunakan Eropa adalah dengan mengintervensi melalui Selat Borporus. 

Berdasarkan Konvensi Montreux 1936, yakni sebuah perjanjian internasional yang mengatur tentang aturan hukum internasional antara Laut Hitam dan Laut Aegea, ditetapkan bahwa Turki adalah satu-satunya negara yang berhak membatasi lintas angkatan laut yang bukan milik negara-negara di Laut Hitam.  

Ini artinya, Turki menjadi pemegang kunci bila ada negara Eropa, seperti Prancis misalnya, bila ingin mengirim kapal pertahanan ke Laut Hitam untuk menghalau Rusia. 

Terkait hal-hal ini, Ronald Suny, pengamat politik dari Universitas Michigan dalam artikelnya Why Turkey isn’t on Board with Finland, Sweden Joining NATO, menilai Turki telah menjadi masalah besar bagi NATO. Turki memiliki kekuatan dan legitimasi dalam menghalau sejumlah agenda politik NATO. 

Ironisnya, masalah itu terjadi karena aturan-aturan demokratis yang dijunjung tinggi oleh pakta pertahanan aliansi Barat tersebut. 

Dengan demikian, bisa diinterpretasikan, Erdoğan sesungguhnya telah berperan layaknya Kuda Troya di NATO. Ia memiliki daya tawar yang dapat menjamin kekuatan NATO, tetapi juga memegang tuas bagi penghancuran pengaruh NATO di Eropa Timur. 

Pada akhirnya, itu membawa kita ke satu kesimpulan penting. Selama ini, banyak yang mengira negara-negara Eropa seperti Prancis dan Jerman lah yang kemungkinan menjadi penghambat kepentingan AS di Eropa. Namun, bila melihat fenomenanya sekarang, penghambat tersebut bisa jadi adalah Erdoğan dan Turki. (D74) 

Exit mobile version