Tiongkok sering digadangkan akan menjadi pengganti Amerika Serikat (AS) sebagai hegemon. Jika terjadi, apakah itu akan jadi berkah, atau masalah bagi kita?
Sepertinya, sebagian besar orang akan menjawab “iya” bila dihadapkan pertanyaan “apakah Amerika Serikat (AS) kini menguasai dunia?”.
Ya, tak dipungkiri, Negeri Paman Sam saat ini memang masih mendominasi berbagai aspek kehidupan kita. Mulai dari aspek ekonomi -di mana mata uang dollar kini jadi mata uang dunia-, sampai aspek hard power atau tenaga militer yang kekuatannya tidak tertandingi.
Kendati demikian, seperti yang diketahui, beberapa waktu belakangan ini hegemoni AS semakin ditantang oleh satu negara raksasa dari Timur, yang tidak lain adalah Tiongkok.
Mengamati perkembangannya yang luar biasa, sejumlah pengamat bahkan sampai-sampai memprediksi Tiongkok akan bertempur langsung dengan supremasi global AS, dan menjadi kandidat negara paling dominan di dunia selanjutnya.
Salah satu pendapat yang senada adalah apa yang disampaikan pengamat ternama dari Universitas Nasional Singapura, Kishore Mahbubani, dalam bukunya Has China Won?. Di dalamnya, Mahbubani bahkan berargumen bahwa kekuatan ekonomi AS kini terlihat semakin pantas berada di posisi kedua dunia, sementara kekuatan kebangkitan ekonomi Tiongkok pantas menjadikannya sebagai kandidat nomor satu.
Tentu, apa yang disampaikan Mahbubani juga diamini banyak orang. Terlebih lagi, Tiongkok memang semakin menunjukkan kapabilitasnya sebagai negara dengan kekuatan militer besar, contohnya adalah peluncuran kapal induk terbarunya, Fujian, pada Juli lalu, yang digadang-gadangkan menjadi kapal induk tercanggih milik Negeri Tirai Bambu.
Karena hal ini, pantas bila mulai ada yang bertanya-tanya: jika memang Tiongkok semakin kuat, sudah siapkah negara tersebut jadi hegemon yang baru?
Tiongkok Masih Belum Pantas?
Kalau kita mencoba menguak keadaan sebenarnya di balik tabir kekuatan Tiongkok, kita akan menyadari ada beberapa hal yang dapat menjelaskan negara yang dipimpin Xi Jinping ini sebenarnya masih jauh dari siap untuk menjadi negara pengganti AS. Apa saja alasan-alasan tersebut?
Pertama, Profesor Ulrich Menzel, pengamat internasional dari Jerman, dalam tulisannya The rise of China and the future world order, menjelaskan bahwa dalam menakar sebuah negara hegemon, status itu salah satunya hanya bisa dicapai jika negara tersebut memiliki global military presence atau kehadiran militer global.
Mengapa hal itu penting? Jawabannya sederhana, yakni karena suatu negara hegemon tidak hanya perlu memiliki pengaruh politik dan ekonomi yang luas, tapi mereka juga perlu menjamin keamanan pengaruh geopolitiknya yang lintas-batas. Analogi sederhananya, tidak mungkin suatu negara dianggap sebagai kekuatan besar jika ia tidak bisa mempertahankan jalur perdagangannya.
Nah, masalah itu yang saat ini dialami oleh Tiongkok. Meskipun teknologi dan jumlah personel militernya semakin menguat, bahkan saat ini menempati posisi kedua di dunia, Tiongkok masih belum memiliki pengaruh militer yang mengglobal.
Sebagai catatan tambahan penting, salah satu indikator utama dalam menentukan global military presence adalah dengan mendata jumlah kapal induk yang operasional. Saat ini, AS memiliki 11 kapal induk operasional yang tersebar di seluruh penjuru dunia, sementara itu Tiongkok hanya punya tiga, itupun tidak beroperasi secara global seperti kapal induk AS.
Dan dari sisi lain, global military presence AS juga menjadi ukuran kemampuan negara hegemon memberi jaminan keamanan bagi para negara sahabatnya. Jikalau Tiongkok memiliki negara sahabat, dengan kekuatan militer yang sekarang, maka Tiongkok belum bisa memastikan keamanan negara sahabatnya tersebut.
Kedua, kembali mengutip Menzel, jika suatu negara ingin jadi hegemon, maka ia juga perlu jadi penyedia, sekaligus penjamin international public goods (IPG) atau barang publik internasional.
Apa maksudnya? Well, Menzel mengambil contoh gedung mercusuar pada abad ke-19. Kala itu, sebagian besar mercusuar dibuat oleh Kerajaan Inggris, karena saat itu mereka lah yang jadi superpower dunia. Nah, di abad ke-21 ini, mercusuar itu adalah teknologi Global Positioning System (GPS), dan seperti yang diketahui, GPS sampai saat ini adalah barang nasional milik AS.
Ini kemudian menjadi salah satu contoh bahwa AS sebagai hegemon bisa terwujudkan karena mereka adalah penyedia IPG. Negara-negara lain di seluruh dunia tidak perlu habiskan banyak tenaga dan biaya untuk punya GPS sendiri, sementara warga AS-lah yang menanggung biaya GPS tersebut dengan membayar pajak.
Meski Tiongkok kini tengah berupaya menciptakan IPG-nya sendiri, melalui agenda Belt and Road Initiative (BRI) dan sejumlah proyek infrastruktur, belum ada barang publik ciptaan Tiongkok yang dijadikan kebergantungan oleh masyarakat internasional.
Oleh karena itu, Menzel menyebutkan bahwa Tiongkok sebenarnya masih menjadi free-rider, atau penumpang gratis hegemon AS. Tiongkok belum menjadi kekuatan yang baru dalam sektor public goods.
Menzel juga menyoroti peran free rider Tiongkok dalam aspek ekonomi. Sampai saat ini, Tiongkok telah diuntungkan oleh sistem keuangan global yang dikuasai AS. Negeri Paman Sam pun menjadi mitra dagang terbesar Tiongkok.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Tiongkok yang sekarang sering dianggap sebagai negara besar sebenarnya juga masih membutuhkan dan bergantungan pada sistem internasional yang dibuat AS.
Ketiga, dan mungkin ini yang paling penting, Tiongkok sebenarnya masih memiliki sejumlah masalah internal yang tidak pantas menjadikannya sebagai hegemon yang baru.
Luke M. Herrington dalam tulisannya Why the Rise of China Will Not Lead to Global Hegemony, menjabarkan beberapa masalah tersebut. Pertama, 20 persen total populasi dunia berada di Tiongkok, namun persediaan air di sana ternyata hanya memiliki 7 persen dari total pasokan air dunia. Kedua, Tiongkok memiliki permasalahan layanan kesehatan, sebagai contoh, penderita kanker di Tiongkok disebut meningkat 23 persen sejak tahun 2006.
Dan yang terakhir, Tiongkok juga masih dilanda permasalahan utang yang cukup besar. Menurut data dari S&P Global Ratings, Tiongkok memiliki utang perusahaan mencapai US$ 27 triliun, ini membuatnya memiliki rasio utang-produk domestik bruto (PDB) mencapai 159 persen, menjadikannya sebagai negara dengan rasio utang-PDB yang 60 persen lebih tinggi dari rata-rata internasional.
Dan mirisnya, rasio utang-PDB Tiongkok disebut tumbuh pada tingkat sekitar 11 persen per tahun. Karena PDB Tiongkok sendiri tumbuh kurang dari 11 persen setiap tahun selama 11 tahun terakhir, bisa disimpulkan bahwa utang Tiongkok sebenarnya telah melampaui pertumbuhan PDB-nya.
Berdasarkan alasan-alasan ini, bagaimana skenarionya bila AS tiba-tiba terpuruk dan Tiongkok terpaksa harus menggantikan posisinya sebagai hegemon?
Tiongkok Tidak Boleh Salip AS?
Ketika dipimpin Presiden Donald Trump, AS menunjukkan sikap politik luar negeri yang menarik. Kala itu, Trump kerap kali mengkritik para negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) karena sebagian besar dari mereka tidak pernah memenuhi kuota anggaran pertahanan aliansi, yakni 2 persen dari GDP negara.
Meski tidak segarang Trump, ketika dipimpin Presiden Joe Biden, negara-negara NATO kini mulai menyesuaikan sumbangan anggaran pertahanan sesuai dengan kuota NATO, utamanya, ini karena konflik Rusia-Ukraina. Kendati demikian, sebagian pengamat menilai ini sebagai pertanda bahwa AS mulai ingin membagikan beban kepemimpinannya pada negara-negara lain.
Lantas, bagaimana jika interpretasi itu benar dan ini dijadikan kesempatan bagi Tiongkok untuk menyalip kepemimpinan global Negeri Paman Sam?
Well, berdasarkan pemaparan yang sudah dibahas di tengah tulisan, kita bisa prediksi dengan kuat bahwa jika Tiongkok kini jadi hegemon, maka konsekuensinya bisa sangat fatal.
Ilmuwan politik AS, Joseph S. Nye memomulerkan teori menarik terkait skenario hegemoni Tiongkok, yang diberi nama Kindleberger trap. Teori ini terinspirasi dari Charles Kindleberger, seorang ekonom AS yang mengajar di Institut Teknologi Massachusetts (MIT), yang pernah menjelaskan bahwa krisis ekonomi tahun 1930-an ternyata terjadi akibat kegagalan AS menggantikan Inggris sebagai hegemon global, utamanya dalam menjalankan dan menjamin keteraturan sistem internasional.
Akibatnya, kala itu bencana yang terjadi tidak hanya krisis ekonomi, tapi kekosongan kepemimpinan dunia juga telah mendorong meletusnya Perang Dunia II, perang yang dianggap sebagai perang paling destruktif dalam sejarah manusia.
Terkait itu, Nye menjelaskan bahwa dalam tata dunia internasional, kemampuan sebuah hegemon untuk memastikan keteraturan sistem internasional sangat penting. Jika suatu negara dominan tidak bisa menjamin barang publik internasional seperti GPS saja, misalkan, maka itu dapat menciptakan efek berantai di mana ujung-ujungnya mungkin berdampak pada rantai pasokan global itu sendiri.
Nah, karena Nye menilai bahwa kesuksesan Tiongkok saat ini hanya merupakan akibat menjadi penumpang gratis atau free rider, bila Tiongkok menyalip AS sebagai negara digdaya dengan keadaan yang sekarang, maka bisa diprediksi bahwa sistem internasional akan sangat kacau balau dan akan menciptakan kekosongan kekuatan, seperti ketika Perang Dunia 2 lalu.
Dengan begitu, maka kita bisa simpulkan bahwa meski Tiongkok kerap disebutkan semakin memiliki kekuatan yang luar biasa, sesungguhnya kepemimpinan global Tiongkok adalah satu hal yang harusnya kita hindari.
Di sisi lain, ini juga bisa jadi refleksi bagi sejumlah pemegang kepentingan yang terlalu condong ke Tiongkok. Barangkali, ini adalah saatnya kita menyadari bahwa Tiongkok memang belum pantas menjadi negara yang dapat menggantikan AS, setidaknya tidak dalam waktu dekat ini. (D74)