Pada kongres Partai Komunis Tiongkok (PKT) lalu, Xi Jinping mengungkapkan dunia membutuhkan Tiongkok untuk berkembang dan juga sebaliknya. Lantas, benarkah ungkapan “jika Tiongkok bersin, seluruh dunia sakit flu” benar-benar terjadi?
Tiongkok dapat dikatakan sebagai negara yang diperhitungkan di dunia. Sebagai negara yang besar, Tiongkok dinilai mampu menggeser posisi Amerika Serikat (AS) menjadi negara adikuasa alias superpower.
Terutama ketika Xi Jinping, presiden ketujuh Negara Tirai Bambu itu berkuasa. Kepemimpinannya dinilai lebih kuat dari Mao Zedong oleh beberapa pengamat.
Sebagai tokoh politisi yang berhasil menghapus limitasi masa jabatan presiden, Xi berhasil mengambil jabatan sebagai presiden tiga pada kongres Partai Komunis Tiongkok (PKT) bulan lalu.
Sehari setelah dirinya terpilih atau bertepatan pada tanggal 23 Oktober 2022 lalu Xi mengatakan kepada awak media asing bahwa dunia membutuhkan Tiongkok untuk berkembang atau membangun.
Lebih lanjut, dia juga menyatakan bahwa Tiongkok tidak mampu berkembang hanya melalui isolasi diri. Terlebih, fundamental perekonomian Tiongkok juga sangat kuat dan memiliki banyak potensi yang perlu dikembangkan.
Xi juga menyatakan bahwa perekonomian yang menjadi kekuatan negaranya tidak mampu berubah dan tetap menunjukkan pertumbuhan positif dalam jangka panjang. Namun, kemakmuran Tiongkok mampu untuk menciptakan lebih banyak kesempatan bagi dunia jika negara itu membuka pintu lebih lebar.
Tak lupa, Xi menyerukan pentingnya penanganan isu kemanusiaan di dunia dan menekankan kehidupan yang harmonis melalui kerja sama yang saling menguntungkan demi membangun masa depan yang lebih cerah.
Sekilas, pernyataan Xi terkesan seperti pemanis wawancara belaka. Namun, mengingat kepemimpinannya yang sangat kuat bisa jadi pernyataan itu bisa benar-benar terwujud.
Lantas, mengapa demikian? Apakah Xi memang sekuat itu?
Ambisi “Kaisar” Dunia?
Salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kekuasaan Xi saat ini yaitu kekuasaannya yang tidak lagi dibatasi oleh waktu. Amendemen konstitusi negara telah melegalkan aturan tersebut sehingga membuat pengaruh geopolitiknya akan semakin kuat. Siapa pun kemudian agaknya tidak akan meragukan kekuasaan Xi.
Dilihat dari aspek ekonomi, Tiongkok telah menjelma sebagai salah satu kekuatan utama ekonomi global dengan kontribusi pertumbuhan ekonomi dunia yang mencapai 18,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) global pada 2021 yang sebesar USD 96,3 triliun-mengalahkan AS.
Perekonomian Tiongkok mengalami perlambatan dari 10.6 persen pada 2010 menjadi 2.3 persen di tahun 2020 karena Pandemi Covid-19. Melonjak 8,1persen pada 2021, tetapi diprediksi melambat lagi menjadi 2.8 persen pada tahun ini-menurut Bank Dunia. Angka itu dinilai jauh di bawah target pemerintah Tiongkok yakni sebesar 5,5 persen.
Meskipun akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, Tiongkok dinilai memiliki dampak bagi negara-negara lainnya, termasuk juga AS.
Selain perekonomian, pengaruh kepemimpinan Xi juga memberi kontribusi untuk mewujudkan gelar “kaisar” dunia. Hal itu tidak terlepas dari upaya reformasi besar-besaran pemerintahan Tiongkok demi memberantas korupsi sekaligus menjadi “strategi politik” untuk menyingkirkan lawan-lawannya.
Terlebih, kuasa Xi tampaknya semakin kuat pasca amandemen konstitusi terkait pembatasan masa jabatan presiden.
Menariknya, ternyata Xi juga pernah mengatakan pernyataan yang sama ketika melakukan pidato pada kongres PKT tahun 2017 silam. Kala itu, dia sempat menyindir proteksionisme AS dengan menyebut “tidak ada negara yang bisa hidup sendiri di dunia ini”.
Lebih lanjut, pernyataan itu mengarah pada kebijakan Tiongkok untuk “menawarkan” apa yang disebut dengan “China approach” untuk membantu perekonomian negara-negara lain.
Xi bahkan menawarkan Tiongkok sebagai model alternatif dalam sistem politik dan ekonomi internasional, misalnya menyarankan penerapan ideologi demokrasi sosial ala negara itu sebagai salah satu masukan untuk pembangunan ekonomi negara-negara yang tertinggal.
Lantas, bagaimana pengaruh Xi atas strategi politik luar negerinya?
Politik Serigala
Politik luar negeri ala Xi Jinping memiliki julukan tersendiri yakni wolf warrior diplomacy atau diplomasi pendekar serigala. Julukan ini diberikan oleh Peter Martin dalam bukunya yang berjudul China’s Civilian Army: The Making of Wolf Warrior Diplomacy.
Istilah tersebut merujuk pada perilaku Tiongkok yang sangat percaya diri dan lugas dalam berinteraksi dengan negara lain, terutama negara Barat. Ketika Xi memimpin Tiongkok pada tahun 2013, pergantian arah kebijakan luar negeri Tiongkok yang menjadi agresif. Apalagi, ketika memasuki tahun 2018 ketika Xi meraih jaminan menjadi presiden seumur hidup.
Selain itu, diplomasi Xi dinilai sangat berbeda dengan kebijakan luar negeri yang pada umumnya dianut oleh presiden Tiongkok sebelumnya dimana mereka selalu mengadopsi strategi diplomasi Deng Xiaoping yang disebut dengan prinsip tāoguāng yǎnghuì alias “menutupi cahaya dan memelihara (berkembang) di dalam kegelapan”.
Oleh karenanya, Xi dinilai memiliki pengaruh yang kuat di ranah internasional karena dirinya juga memainkan strategi politik pada level domestik dalam mempertahankan kekuasaannya.
Hal itu pun sejalan dengan teori two-level game yang diungkapkan oleh Robert D. Putnam dimana interaksi politik di dalam maupun luar negeri merupakan dua hal yang saling berkaitan. Artinya, keputusan yang diambil ranah domestik akan menyebabkan konsekuensi yang besar pada kebijakan luar negeri dan sebaliknya.
Selain itu, meskipun kekuatan militer Tiongkok masih terbilang tidak sekuat dan canggih AS, negara tersebut menjalin hubungan baik dengan Rusia dan mendukung penuh negara tersebut.
Bahkan, hal tersebut telah disampaikan dengan tegas melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) Tiongkok Wang Yi. Sejak Perang Dingin, meskipun kedua negara tersebut memiliki hubungan yang kacau, saat ini hubungan mereka tampaknya telah menjadi lebih dekat ketika mereka bekerja untuk melawan AS.
Oleh karena itu, meskipun dari segi militer kemampuan Tiongkok tidak secanggih AS, mereka perlu menjalin koalisi untuk melawan AS. Pada titik ini, kerja sama tersebut menjadi kelebihan tersendiri bagi Tiongkok.
Jika strategi kebijakan pada ranah domestik dan luar negeri telah berkesinambungan, maka apakah Tiongkok mampu menguasai dunia?
Kindleberger Trap
Sebagai pesaing utama AS, Tiongkok dianggap sebagai negara yang memiliki kekuatan tak terbendung, sedangkan AS merupakan negara yang tak bisa tergeser. Perangkap Thucydides merupakan suatu istilah yang menjadi julukan hegemoni tersebut.
Istilah itu diungkapkan oleh Graham Allison dalam tulisannya yang berjudul The Thucydides trap: Are the U.S. and China headed for war?. Allison juga menilai bahwa hegemoni tersebut mampu memicu perang dahsyat jika kekuatan mapan (seperti AS) menjadi terlalu takut akan kekuatan yang meningkat (seperti Tiongkok). Perangkap itu lah yang perlu diwaspadai oleh AS.
Di samping itu, Joseph S. Nye dalam tulisannya yang berjudul The Kindleberger Trap mengungkapkan perangkap yang perlu diwaspadai oleh Tiongkok. Tiongkok memang menunjukkan peningkatan yang pesat terutama dari segi ekonomi, namun kekuatannya belum dapat dikatakan sebanding dengan AS.
Namun, fenomena ini tampaknya serupa dengan keadaan dunia pada tahun 1930-an ketika AS tengah berusaha merebut hegemoni Inggris, tetapi gagal mengambil peran tersebut dalam menyediakan barang publik global. Hal ini mengakibatkan kepemimpinan lemah yang berujung pada krisis ekonomi dan Perang Dunia II.
Pada konteks global, penguasaan barang publik dimaknai dengan iklim yang stabil, stabilitas keuangan, atau kebebasan laut yang kemudian disediakan oleh koalisi yang dipimpin oleh kekuatan terbesar.
Ketika Inggris menjadi terlalu lemah untuk memainkan peran penyedia public goods setelah Perang Dunia I, AS yang terisolasi terus menjadi penunggang bebas dan menghimpun kekuatan.
Fenomena itu merupakan sebuah kekhawatiran bagi AS jika Tiongkok berubah menjadi penumpang gratis. Tiongkok yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB kemudian menjadi penyandang dana terbesar kedua dari pasukan penjaga perdamaian PBB serta berpartisipasi dalam program PBB yang berkaitan dengan Ebola dan perubahan iklim.
Selain itu, Tiongkok juga mendapat banyak manfaat dari lembaga ekonomi multilateral seperti World Trade Organization (WTO), Bank Dunia, dan International Monetary Fund (IMF).
Pada tahun 2015, Tiongkok meluncurkan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dimana sebagian orang telah menganggap bank ini sebagai alternatif dari Bank Dunia. Lembaga baru ini dikabarkan telah mematuhi aturan internasional dan bekerja sama dengan Bank Dunia.
Adapun, kesenjangan kekuatan saat ini antara AS dan Tiongkok jauh lebih besar daripada antara Jerman dan Inggris pada tahun 1914. Dengan demikian, metafora itu dapat berguna sebagai tindakan pencegahan umum.
Dengan demikian, kekuasaan Xi sebagai presiden tiga periode seolah akan meneruskan ambisinya menjadi “kaisar” dunia yang tak terlepas dari politik serigala yang berkesinambungan dengan konsep two-level games.
Teori Kindleberger Trap menjelaskan bahwa Tiongkok bisa jadi menjadi negara adidaya. Meskipun demikian, saat ini kesenjangan kekuatan Tiongkok dan AS belum serupa dengan Inggris dan Jerman pada tahun 1914.
Agaknya semua itu akan terjawab pada masa yang akan datang ditambah dengan hasil “bersih-bersih” anggota loyalis Xi di PKT dan kekuasaannya yang tanpa batas. (Z81)