Langkah klub-klub sepak bola dari Saudi Pro-League (SPL) dalam merekrut banyak pemain top dari Eropa menjadi sorotan akhir akhir ini. Nama-nama terkenal seperti Karim Benzema dan N’golo Kante dikabarkan telah resmi menyusul Cristiano Ronaldo merumput di Arab Saudi. Namun, apakah ada maksud tersendiri yang ingin dicapai oleh Saudi dari sisi sosial politik dari kebijakan transfer “gila-gilaan” ini?
“Ada kesenjangan luar biasa antara opini publik dan kebijakan publik” – Noam Chomsky
Langkah “gila” dan fantastis klub-klub sepak bola dari Arab Saudi dalam merekrut para mega bintang sepak bola dunia menuai banyak sorotan dari media. Pemain pemain top dan populer di sepak bola Eropa mulai dibidik oleh klub-klub Saudi untuk merumput di Saudi Pro-League (SPL).
Beberapa nama yang telah resmi bergabung adalah Karim Benzema ke Al-Ittihad, dan N’golo Kante juga ke Al-Ittihad. Sementara itu, nama-nama besar lainnya juga santer dikabarkan akan ikut bergabung ke liga Saudi seperti Roberto Firmino, Adama Traore,Di Maria, dan Sergio Ramos. Meski begitu, banyak juga pemain yang memilih untuk menolak pinangan Saudi ini, seperti Luka Modric yang tetap bertahan di Real Madrid dan Lionel Messi yang hijrah ke Inter Miami.
Kepindahan pemain pemain ini tentu menyusul langkah mega bintang Cristiano Ronaldo yang telah pindah lebih dahulu ke Al-Nassr dari Manchester United awal tahun lalu. Lantas, kenapa tiba-tiba Saudi begitu jor-joran dalam merekrut banyak pemain top Eropa? Hal apa yang ingin dicapai oleh mereka?
Persaingan Negara Kaya Minyak?
Negara-negara Arab yang memiliki SDA minyak bumi melimpah selalu identik dengan istilah kekayaan dan kemewahan. Negara seperti itulah yang melahirkan banyak miliarder dan triliuner yang memiliki pengaruh besar ke berbagai sektor di dunia ini. Bahkan, hal ini juga ikut memunculkan frasa atau istilah baru bagi orang-orang kaya, yaitu dengan sebutan “Sultan”. Negara-negara Arab yang paling cocok untuk kategori tersebut adalah Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA).
Namun, dibandingkan dengan Qatar dan UEA, influence Saudi di bidang olahraga khususnya sepak bola tidak terlalu menonjol. Qatar sendiri cukup tersohor sebagai kelompok “kaya raya” di sepak bola. Sepak terjang mereka dalam pelaksanaan Piala Dunia 2022 kemarin menjadi salah satu bukti betapa besar pengaruh yang dibangun oleh mereka, hingga bisa memenangkan bidding pemilihan tuan rumah.
Selain itu, Qatar lewat Qatar Sports Investments (QSI) sendiri menjadi investor terbesar di klub Paris Saint-Germain (PSG) yang berhasil mendatangkan beragam pemain bintang seperti Messi, Neymar, hingga Mbappe. Apalagi, kini Qatar lewat Qatar Islamic Bank (QIB) sedang dalam proses pembelian penuh Manchester United. Sementara, UEA terkenal lewat jaringan kepemilikan klub yang dikenal dengan sebutan City Group. Mereka menjadikan klub Manchester City sebagai klub induk, dan memiliki saham di berbagai klub di beberapa negara seperti di India, Amerika Serikat dan lainnya.
Di sisi lain, influence Arab Saudi di dunia sepak bola bisa dibilang seperti baru “muncul” atau tersorot. Sebelumnya memang Pangeran Abdullah bin Mosaad sudah memiliki saham di klub Sheffield United sejak 2013. Namun popularitas Saudi baru muncul ketika lembaga pendanaan Arab Saudi, yakni Public Investment Fund (PIF) mengambil sekitar 80% saham Newcastle United.
Langkah Saudi untuk mengejar ketertinggalan nya ini sebenarnya wajar. Sebagai sebuah negara dengan kekayaan yang besar, tentu uang bukan lagi persoalan. Namun, “kehormatan” dalam persaingan dengan Qatar dan UEA amat dipertaruhkan. Hal ini dapat dijelaskan lewat teori diplomasi olahraga.
Teori ini menjelaskan, bahwa olahraga, khususnya sepak bola, merupakan bidang yang paling banyak digemari oleh setiap orang. Dengan melakukan pendekatan lewat bidang ini, maka tujuan pencitraan positif, baik bersifat politis atau tidak, akan lebih mudah diterima.
Dalam kasus ini, dengan merekrut banyak pemain bintang, maka Saudi bisa menunjukkan sisi keterbukaan mereka, karena selama ini negara tersebut dikenal cenderung konservatif. Sehingga hal ini juga bisa memuluskan proses mereka untuk menjadi salah satu tuan rumah Piala Dunia tahun 2030 nanti.
Namun, apakah keuntungan dan tujuan yang ingin dicapai memang benar-benar tidak berbentuk materil? Dan hal apa yang harus dikorbankan Saudi untuk mencapainya?
Pragmatisme Ekonomi Saudi?
Saudi, seperti negara kaya minyak lainnya tentu sudah memikirkan soal diversifikasi ekonomi, di mana mereka harus bisa mengembangkan sektor-sektor ekonomi lainnya agar tidak lagi bergantung pada sektor migas.
Karena sebagai sebuah SDA tak terbarukan, cadangan migas yang dimiliki Saudi akan habis atau menipis suatu saat nanti. Ketika itu terjadi, maka Saudi kehilangan sisi ekonomi yang bisa dimanfaatkan dari SDA tersebut.
Oleh karena itu, diperlukan pengembangan sektor sektor lain secara masif agar lambat laun bisa mengurangi ketergantungan pada migas. Sektor ekonomi seperti iptek dan pariwisata terus dikembangkan oleh negara tersebut.
Namun, satu hal yang harus dihadapi oleh Saudi untuk mengembangkan sektor ekonomi lainnya adalah soal prinsip konservatisme. Hal ini karena Saudi bisa dibilang merupakan negara yang sudah dicitrakan sebagai tempat kelahiran agama Islam, karena keberadaan Ka’bah di negara tersebut, yang menjadi destinasi haji setiap tahunnya.
Nah, di sisi lain, untuk mengembangkan sektor pariwisata, Saudi harus “meninggalkan” kesan konservatisme yang telah melekat pada negaranya. Masalahnya, tidak seperti Qatar dan UEA yang cenderung lebih terbuka, Saudi dikenal sebagai negara yang lebih ketat.
Oleh karena itu, dengan transfer para pemain mega bintang, harapannya inilah yang bisa membantu Saudi mengenalkan konsep keterbukaan “baru” milik mereka, sehingga selain mengembangkan sektor olahraga, juga bisa meningkatkan pariwisata.
Fenomena tersebut bisa kita bahas dengan menggunakan teori postmodernisme. Teori ini menjelaskan soal perubahan perubahan yang terjadi dalam konstruksi sosial masyarakat. Munculnya keinginan akan kebebasan dan keterbukaan membuat pemerintah Saudi harus meninggalkan konservatisme perlahan demi perlahan.
Apalagi, dengan semakin meningkatnya kualitas hidup dan pendapatan juga membuat masyarakat cenderung untuk “terbuka”. Meski tidak secara menyeluruh, tapi dalam beberapa hal Saudi mulai melakukan kebijakan seperti ini.
Contohnya, seperti diperbolehkannya wanita menyetir, atau proyek proyek ambisius seperti NEOM, The Line, dan lainnya.
Keputusan liberalisasi dan keterbukaan ini juga sebenarnya tidak mudah, karena tentu ada tekanan dari kalangan konservatif dan sorotan dari negara-negara Muslim lainnya. Namun, dengan model kekuasaan absolutisme kerajaan di Saudi, membuat hal ini bisa terlaksana relatif lebih mudah.
Terkhusus sarana olahraga dalam konteks perekrutan pemain bintang sepak bola, hal ini diduga dilakukan karena olahraga akan jadi sarana “pengantar” yang lebih mudah dimengerti oleh masyarakat dalam dan luar negeri. Bisa dibilang hal ini telah “dibungkus” dengan rapi untuk mendapat dukungan sebanyak mungkin.
Well. keputusan apapun tentu akan sangat baik bila sesuai dengan keinginan masyarakat luas. Dengan semakin terkoneksinya masyarakat di seluruh dunia, sulit rasanya untuk menolak kebebasan dan keterbukaan saat ini. Apalagi, Saudi sendiri adalah sebuah negara kaya, yang lambat laun pasti akan mengambil kebijakan ini.
Dengan demikian, bisa kita katakan bahwa sepak bola mulai menciptakan sudut pandang berbeda di Saudi dan kedepannya jadi indikator tersendiri bahwa pandangan absolut mungkin sudah tidak relevan lagi. Dan hubungan ini sendiri adalah hubungan mutualisme, karena para pemain tersebut mendapat gaji fantastis, sementara Saudi mendapat publisitas dan popularitas yang lebih besar dari biasanya. (R87)