Hubungan Rusia dan China belakangan semakin terlihat erat. Tapi, apakah kedekatan itu benar-benar tulus?
Beberapa dekade setelah Perang Dingin berakhir, trauma persaingan geopolitik negara-negara besar masih membekas. Kalau dulu “kubu” dunia terbagi dua, yakni Amerika Serikat (AS) (Barat) dan Uni Soviet (Timur), sekarang Rusia dan China dianggap sebagai penantang baru hegemoni Barat.
Yess, kedua negara dengan wilayah paling luas di dunia tersebut memang dalam sejumlah tahun terakhir terlihat semakin dekat, baik secara ekonomi, maupun militer. Ini kemudian dicoba dibuktikan pada dunia dengan pernyataan “persahabatan tanpa batas” yang digaungkan Rusia dan China beberapa bulan lalu.
Tidak berhenti di situ, terbaru, dua raksasa Timur itu juga mengumumkan bakal menggelar latihan militer dengan Laut China Timur pada akhir bulan Desember ini. Di satu sisi, jelas ini jadi semacam “tantangan” pada Barat bahwa Vladimir Putin dan Xi Jinping memang memiliki hubungan yang spesial.
Namun, apakah kedua negara itu memang benar-benar dekat? Atau jangan-jangan ada rahasia tersembunyi dari persahabatan “tanpa batas” ini yang mungkin belum disadari banyak orang?
Sejarah Buktikan Sebaliknya?
Hal yang terpenting dalam melihat sifat hubungan antar negara adalah memiliki logika pertemanan yang tepat, maksudnya, kita perlu tahu hal-hal apa saja yang dimiliki masing-masing negara yang membuat mereka perlu berinteraksi antara satu sama lain.
Terkhusus Rusia dan China, hal paling besar yang membuat mereka harus berhubungan tentu adalah terkait masalah perbatasan negara. Seperti yang diketahui, dua negara ini memiliki batas negara yang saling bersinggungan, dan sudah naluriah bila negara yang memiliki kedekatan geografis seperti ini berinteraksi.
Sayangnya, meski bisa dilihat sebagai peluang untuk persahabatan, sejarah Rusia dan China membuktikan bahwa kedekatan geografis mereka justru kerap jadi sumber masalah. Pada akhir abad ke-17 misalnya, pasukan Manchu China bertempur hebat dengan pasukan Cossack dari Rusia yang melakukan ekspedisi ke wilayah Siberia.
Tapi, Siberia hanya jadi salah satu wilayah yang kerap jadi perselisihan kedua pihak, dari abad ke-18 hingga 19, Kekaisaran Rusia dan China meneken sejumlah kesepakatan yang pada akhirnya membuat Rusia setidaknya mendapatkan wilayah seluas satu juta mil persegi dari wilayah yang pernah berada dalam pengaruh China.
Lalu, bukti sejarah yang sedikit modern adalah kita era Perang Dingin, tepatnya pada tahun 1969, ketika perang besar hampir terjadi antara Soviet dan China akibat permasalahan perbatasan. Untungnya, kala itu tensi militer bisa diredam hingga keadaannya kembali pada status quo. Meski demikian, konflik ini dicatat sebagai salah satu indikator bahwa perang antara Rusia dan China bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Nah, kembali pada konteks masa sekarang, di mana kedua negara terlihat begitu “mesra”, penting untuk kita pertanyakan kembali, apakah ketegangan antara Beruang Putih dan Panda akan terulang lagi di masa depan?
Well, pengamat sejarah dan keamanan internasional Csaba Barnabas Horvath, dalam tulisannya Was China Betting on Russian Defeat All Along?, menilai bahwa kalau dilihat dari catatan sejarah, Rusia lebih dianggap sebagai tantangan besar China dibanding sekutu, namun, menyadari bahwa jika suatu konflik meletus antara kedua negara akan berakibat fatal, mereka akhirnya sama-sama berkompromi untuk bersikap layaknya seorang teman pada satu sama lain.
Karena Rusia sekarang mulai dibuat lemah akibat perang di Ukraina, Horvath melihat bahwa bisa jadi di masa mendatang China akan menjalankan sejumlah agenda politik untuk mendapatkan keunggulan dari persaingannya dengan Rusia, contohnya seperti mendapatkan akses sumber daya alam di Siberia. Oleh karena itu, jika tidak hati-hati, potensi akan adanya perang antara Rusia dan China di masa depan sesungguhnya terbuka lebar.
Akhir kata, sesengit apapun persaingan dua raksasa Timur ini, besar harapannya para pemimpin Rusia dan China tetap memiliki akal sehat dan menjauhi peperangan sebisa mungkin. (D74)