Cross BorderCharles Akan Jadi Raja Terakhir?

Charles Akan Jadi Raja Terakhir?

- Advertisement -

Britania Raya resmi memiliki pemimpin monarki baru, setelah Charles menjadi raja menggantikan Ratu Elizabeth II yang meninggal dunia. Hal ini tentu menjadi peristiwa yang ikonik, dimana akhirnya monarki Britania Raya berganti pemimpin setelah sekitar 70 tahun masa Ratu Elizabeth II. Meski banyak yang menyambut dengan sukacita, ternyata ada beberapa orang yang justru menginginkan agar monarki di Inggris dihapus. Bagaimana kita merefleksikan fenomena sosial ini?


PinterPolitik.com

“Kekuasaan. Bagaikan anggur bila kau memilikinya. Bagaikan racun apabila kau kehilangannya”, Cornelia Funke.

Resmi sudah Charles dinobatkan sebagai penerus tahta Kerajaan Inggris menggantikan mendiang ibunya, Ratu Elizabeth II. Kini, Inggris punya Raja Charles III sebagai pemimpin monarki. Pasca meninggalnya sang ratu, akhirnya proses suksesi kekuasaan berjalan lancar dan Charles resmi duduk di singgasana kerajaan.

Namun, Charles bisa dibilang adalah bangsawan yang cukup “problematik”, yang dengan segala kontroversinya menjadi salah satu pembicaraan paling menarik tentang Kerajaan Inggris. Salah satu topiknya  tentu adalah cinta segitiga antara dirinya, Putri Diana, dan Camilla, yang kini telah menjadi permaisurinya.

Gelombang anti monarki di Inggris yang telah ada sejak puluhan tahun yang lalu, ikut menjadikan momen ini kesempatan, salah satunya adalah kelompok Republic. Kelompok Republic melakukan berbagai aksi yang menuntut agar Inggris diubah dari sebuah Kerajaan menjadi Republik.

Aksi terbaru adalah mereka memimpin protes anti monarki di Trafalgar Square, tepat saat acara penobatan Charles III berlangsung. Sebelumnya, pada tahun 2022 juga kelompok ini mendirikan banyak papan reklame anti monarki di beberapa wilayah seperti London, hingga Manchester.

Maka, dengan serangkaian aksi penolakan tersebut, apakah monarki Inggris benar benar akan mencapai masa akhirnya? Lalu, kenapa kelompok tersebut benar benar ingin monarki dihapus dari Inggris?

image 25

Tidak Lagi Relevan?

Meski dikenal dengan Kerajaannya yang ikonik dan sebegitu besarnya, sebenarnya Kepulauan Inggris juga pernah berubah menjadi republik untuk sementara waktu. Hal ini terjadi pada periode tahun 1649-1660, ketika Oliver Cromwell mengeksekusi Raja Charles I, hingga kekuasaan monarki kembali dipulihkan oleh Charles II.

Yess, Inggris sendiri bukannya tidak familiar dengan model negara republik.

Gerakan republik yang ada saat ini telah berkembang sejak puluhan tahun yang lalu. Gerakan seperti ini tidak hanya berkembang di negara-negara persemakmuran seperti Australia dan Selandia Baru, tapi juga di negara-negara bagian Kepulauan Inggris, seperti Wales, Skotlandia, hingga Irlandia Utara.

Baca juga :  Around the World in 15 Days

Gerakan seperti ini terbagi menjadi beberapa jenis, ada gerakan yang menginginkan pemisahan, kemudian ada juga yang menginginkan sebatas pembentukan negara republik saja, dengan tetap mempertahankan persatuan diantara wilayah tersebut. Contohnya seperti Partai Nasional Skotlandia yang mendukung kemerdekaan Skotlandia.

Fenomena dapat kita lihat lewat teori republikanisme. Teori ini sendiri adalah teori yang menyatakan bahwa keinginan masyarakat muncul untuk memiliki pemimpin yang dipilih lewat pemilihan umum, bukan berdasarkan garis keturunan. Karena bagi mereka, tidak semua keturunan Royal Family layak untuk menjadi seorang Raja/Ratu.

Hal ini semakin berkembang dengan adanya media sosial, di mana sisi kritis masyarakat lebih mudah untuk berkembang. Karena nilai-nilai demokrasi berkembang dari negara-negara Barat, tidak mengherankan ada beberapa orang yang menginginkan demokrasi sepenuhnya, tidak terbatas pada monarki konstitusional saja.

Alasannya sendiri sangat luas, mulai dari aspek sosial, politik hingga ekonomi. Dari sisi ekonomi, gerakan tersebut melihat bahwa penggunaan kas negara untuk pembiayaan kegiatan dan aktivitas monarki sangatlah boros dan mahal. Berkaca dari acara penobatan Raja Charles III saja, biaya yang dikeluarkan sekitar 100 juta Poundsterling atau sekitar Rp1,8 triliun.

Jika dulu kerajaan tersebut memiliki banyak wilayah jajahan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi, kini sudah tidak demikian. Maka dari itu, para pendukung gerakan ini, merasa bahwa pajak yang mereka berikan tidak digunakan untuk kepentingan umum.  

Selain itu, bagi mereka yang mendukung pemahaman egalitarian, penghormatan khusus bagi para anggota monarki sudah dipandang tidak sesuai. Ditambah dengan sosok Charles yang kontroversial, membuat mereka yakin bahwa keberadaan monarki itu tidak perlu, karena sistem suksesi yang berdasarkan keturunan, bukan karena kelayakan untuk memimpin. 

Meski begitu, apakah monarki benar-benar tidak memiliki arti penting bagi Inggris? Dan apakah Inggris benar-benar siap untuk berubah ke sistem republik?

image 26

Tidak Mungkin Melepas Monarki?

Namun, kembali lagi ke pertanyaan mendasar, apakah Inggris benar benar cocok dengan sistem republik?

Britania Raya sendiri merupakan sebuah negara kesatuan, yang terdapat 4 negara berdaulat sebagai bagian darinya, yakni Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara. Ketiga negara terakhir memiliki pemerintahannya masing masing, diluar pemerintahan pusat di London. Selain itu masih ada beberapa wilayah dependensi mahkota, dan wilayah seberang lautan Britania yang terkait dengan kerajaan tersebut.

Dengan wilayah yang begitu majemuk, adanya kerajaan besar Inggris bisa dibilang sebagai alat perekat dan pemersatu wilayah-wilayah tersebut. Karena tanpa adanya kerajaan, maka tiap wilayah tentu akan berdiri masing-masing, dan tidak ingin diperintah oleh yang lainnya. Sehingga, jika dalam masa kerajaan saja ada beberapa orang yang menyuarakan soal pemisahan, bagaimana jika tidak ada kerajaan?

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Seperti yang dikatakan oleh Vernon Bogdanor, salah seorang ilmuwan politik Inggris, kerajaan memainkan peran politik yang penting dalam sebuah negara multinasional. Ia mencontohkan seperti di Belgia, bahwa terkadang bisa dibilang bahwa satu-satunya orang Belgia adalah sang raja itu sendiri, karena adanya perbedaan antara masyarakat Fleming dan Walloon. 

Bogdanor juga menambahkan, bahwa keberadaan monarki mampu memastikan bahwa kepala negara bukanlah perwakilan dari salah satu kelompok dan partai saja, tapi menyangkut pada semua orang di negara tersebut. 

Selain itu, jika menyangkut tentang aspek ekonomi, sebenarnya “biaya” monarki tidak semahal itu. Untuk urusan biaya kenegaraan dan seremonial lainnya, maka biaya yang digunakan akan tetap besar, meski dalam bentuk republik sekalipun. Maka dari itu, akan lebih masuk akal jika membuat monarki “lebih murah”, bukan dengan menghilangkannya. Kita bisa ambil contoh monarki Spanyol yang hanya menghabiskan 8 juta dolar per tahunnya (Rp118,5 miliar),   sehingga lebih murah dari kepresidenan di Portugal, Jerman dan Finlandia.

Sehingga, meski monarki konstitusional memiliki beberapa kekurangan, tapi harus diakui bahwa sistem ini adalah yang paling cocok bagi Britania Raya. Skema peralihan ke republik bisa jadi hanya sebagai awal dari perpecahan wilayah di dalamnya. Karena sejatinya persatuan di wilayah tersebut sangat bergantung pada keberadaan monarki itu sendiri. 

Meski terlihat mahal, monarki sendiri menyumbang beberapa potensi ekonomi dari beberapa sisi. Selain itu, konsep ini sebenarnya sudah cukup demokratis, di mana hanya kepala negara yang dipilih lewat garis keturunan, bukan kabinet pemerintah sebagai pemangku kebijakan. 

Apalagi jika tetap mempertahankan sistem parlementer, maka legitimasi kekuasaan presiden dalam sebuah republik akan sangat lemah, dan akan sangat mudah terjadi persaingan kekuasaan antar kelompok atau partai politik. 

Well, apa pun sistem pemerintahannya, selama menjalankan tugas dalam porsinya masing-masing, maka dapat dipastikan bahwa setiap kebijakan dan fungsinya akan berjalan dengan semestinya. Karena, politik paling baik adalah yang digunakan untuk kepentingan masyarakat umum, dan yang paling buruk adalah yang digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok saja. (R87)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Menurut kalian, faktor apa yang membuat Bu Mega sangat kuat secara politik? Share di kolom komentar ya!

2029 “Kiamat” Partai Berbasis Islam? 

Pilkada 2024 menjadi catatan tersendiri bagi partai politik berbasis Islam besar di Indonesia, yakni PKS dan PKB. Bagaimana partai-partai ini bisa membenahi diri mereka dalam menyambut dinamika politik lima tahun mendatang? 

PKS Di Sana Bingung, Di Sini Bingung

Di sana bingung, di sini bingung. Di tengah-tengahnya ada PKS?  #pks #prabowo #aniesbaswedan #kimplus #pilgubjakarta #ahmadsyaikhu #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini