Site icon PinterPolitik.com

Bikin Nuklir, Jokowi-Putin Tantang AS?

bikin nuklir jokowi putin tantang as

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) (kiri) bersalaman dengan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) ketika bertemu di Moskow, Rusia, pada 30 Juni 2022 lalu. (Foto: Reuters)

Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan menawari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk bekerja sama dalam pengembangan nuklir. Mungkinkah ini menjadi siasat Jokowi dan Putin untuk menantang pemerintahan Joe Biden di Amerika Serikat (AS)?


PinterPolitik.com

Film mata-mata memang tidak ada habisnya. Film dengan tema-tema seperti ini selalu memiliki penggemar-penggemarnya tersendiri, mulai dari franchise 007, Mission Impossible, hingga yang dicampur dengan unsur komedi seperti Johnny English.

Namun, ada franchise lain yang sempat menarik perhatian penggemar film laga dan mata-mata, yakni The Man from U.N.C.L.E. (2015). Film yang diadaptasi dari seri televisi yang dirilis pada tahun 1964 dengan judul yang sama ini mengambil Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet sebagai latar belakangnya.

Namun, alih-alih bersaing dengan satu sama lain, mata-mata Central Intelligence Agency (CIA) dan Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) justru bekerja sama untuk menghalau potensi ancaman yang bisa berdampak ke seluruh dunia, yakni pengembangan senjata nuklir milik swasta.

Pengembangan senjata nuklir ini ternyata dilakukan oleh sepasang pebisnis yang bernama Alexander dan Victoria Vinciguerra – yang mana terinspirasi oleh ideologi Nazi. Tujuannya pun juga untuk memberikan senjata tersebut kepada sisa-sisa jaringan Nazi.

Tentunya, kerja sama antara CIA dan KGB bisa jadi menguntungkan. Pasalnya, baik AS maupun Uni Soviet sama-sama merupakan musuh dari Jerman Nazi kala Perang Dunia II.

Bukan tidak mungkin, kebutuhan akan kerja sama antara Uni Soviet dan AS dalam film ini menandakan bahwa senjata nuklir memang memiliki ancaman yang sangat besar – khususnya bila di bawah kendali entitas yang sulit diprediksi seperti pengikut Nazi. 

Situasi problematik yang bisa muncul terkait senjata nuklir ini bisa ditarik ke dunia nyata di era kontemporer. Pasalnya, kala bertemu pada 30 Juni lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapatkan tawaran bantuan pengembangan nuklir dari Presiden Rusia Vladimir Putin. 

Meski disebut untuk tujuan pengadaan energi bersih, istilah “nuklir” seakan selalu menimbulkan konotasi tertentu. Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin, misalnya, meminta pemerintahan Jokowi untuk menolak tawaran tersebut bila pengembangan nuklir itu bertujuan untuk membuat senjata pemusnah massal. 

Namun, dalam sejarahnya, Indonesia bukanlah negara yang bebas dari aspirasi untuk memiliki senjata nuklir. Presiden Soekarno, misalnya, pernah memiliki cita-cita agar negara kepulauan ini bisa memiliki senjata nuklir pada tahun 1950-an hingga 1960-an.

Berkaca dari hal ini, timbul pertanyaan akan apakah ada cita-cita serupa pada pemerintahan Jokowi. Apa sebenarnya keuntungan yang akan diperoleh oleh Jokowi bila punya teknologi nuklir? Mengapa Putin lantas memilih Indonesia sebagai negara yang ditawarinya?

Paspor Jokowi ke ‘Big Boys’?

Masih ingat dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pada Februari 2020 silam? Kala itu, Luhut bercerita soal pengalamannya ketika bertemu dengan jenderal-jenderal dari berbagai negara dalam kegiatan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss. 

Sang Menko Marves merasa Indonesia tidak dihiraukan dibandingkan dengan negara-negara seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Korea Utara (Korut). Salah satu faktornya – menurut Luhut – adalah karena Indonesia tidak memiliki senjata nuklir.

Apa yang dibilang Luhut bisa jadi benar. Pasalnya, mengacu pada penjelasan José Goldemberg dalam tulisannya yang berjudul Nuclear Energy in Developing Countries, penguasaan teknologi nuklir oleh sebuah negara dianggap menjadi “paspor” untuk menentukan citra negara tersebut. 

Britania (Inggris) Raya dan Prancis, misalnya, mengembangkan senjata nuklir pada tahun 1950-an dan 1960-an agar bisa duduk satu meja dengan kekuatan nuklir lainnya, seperti AS dan Uni Soviet. Bukan tidak mungkin, dengan memiliki senjata nuklir, kekuatan dan citra negara-negara tersebut semakin diperhitungkan di panggung politik dunia. 

Bukan tidak mungkin, berkaca dari apa yang dilakukan oleh Britania Raya dan Prancis, Indonesia bisa saja memperoleh “paspor” yang sama agar bisa bermain di level yang lebih tinggi dalam panggung politik internasional. Ini bisa jadi jalan bagi Jokowi untuk memiliki daya tawar (leverage) lebih dalam menjalankan diplomasi dan negosiasi dengan negara-negara lain.

Sebagai middle power (kekuatan tengah), Indonesia bisa memainkan peran cukup besar dalam permainan politik antar-negara. Apalagi, bila Jokowi benar-benar ingin diperhitungkan, penguasaan teknologi nuklir bisa menjadi “paspor” yang bisa diandalkan untuk “bermain” dengan para ‘big boys’ seperti AS, Tiongkok, dan Rusia.

Meningkatnya citra Indonesia di panggung politik dunia pun bisa menguntungkan pemerintahan Jokowi. Diplomasi yang berorientasi pada kepentingan domestik bukan tidak mungkin akan berjalan lebih lancar dengan citra yang lebih baik di panggung dunia.

Apalagi, bila pemerintahan Jokowi ingin menjalankan peran perdamaian layaknya yang ramai diberitakan akhir-akhir ini. Citra yang lebih baik membuat Indonesia bisa saja memiliki daya tawar (leverage) yang lebih ketika berinteraksi dengan negara-negara ‘big boys’.

Namun, bila penguasaan teknologi nuklir bisa membuat “status” Indonesia meningkat di panggung internasional, mengapa Putin memilih Indonesia? Apa yang membuat negara ini bisa menjadi penting bagi Rusia dalam panggung politik internasional?

Putin Mau Sasar Tiongkok?

Dalam menjalankan politik luar negeri, Putin bukan tidak mungkin membutuhkan geo-strategi untuk memperoleh posisi yang lebih menguntungkan dalam geopolitik. Bukan tidak mungkin, Indonesia menjadi salah satu bagian dari puzzle geo-strategi yang dibutuhkan oleh Rusia.

Sebagai negara yang terletak di antara kekuatan-kekuatan besar di kawasan Indo-Pasifik, bukan tidak mungkin Indonesia memiliki signifikansi dalam geo-strategi Rusia. Bukan tidak mungkin, Rusia juga memerlukan Indonesia untuk menghalau kekuatan-kekuatan lain di kawasan ini.

AS, misalnya, kini bisa dibilang menjadi “musuh bebuyutan” Rusia di tengah invasi yang dilancarkan Putin ke Ukraina. Bagaimana tidak? AS dan negara-negara sekutunya memberikan sanksi ekonomi yang bertubi-tubi bagi Moskow.

Selain itu, Rusia bisa jadi juga tengah membangun tatanan dunia baru. Mengacu pada tulisan John J. Mearsheimer yang berjudul Bound to Fail, tatanan dunia ala Barat bisa jadi menimbulkan ketidakpuasan di antara negara-negara lain, seperti Tiongkok dan Rusia.

Tatanan dunia baru ini bisa dibangun melalui usulan “G8” yang baru – mengingat G7 yang memiliki pengaruh besar pada tatanan ekonomi dunia banyak didominasi oleh negara-negara Barat dan sekutu AS, seperti Britania Raya, Prancis, Jerman, Kanada, Italia, dan Jepang. Sebagai salah satu negara yang menjadi anggota G20, suara Indonesia bisa menjadi penting untuk menjaga posisi Rusia di organisasi-organisasi ini.

Nuklir bisa menjadi daya tawar dari Rusia yang menarik bagi Indonesia agar mau menjadi anggota dari “G8” yang baru. Apalagi, ketidakpastian diprediksi bakal semakin mewarnai hubungan antar-negara ke depannya. 

Bahkan, diprediksi jumlah senjata nuklir di dunia bisa saja semakin banyak – melihat konflik bersenjata bisa terjadi setiap saat, seperti apa yang terjadi di antara Rusia dan Ukraina. Bukan tidak mungkin, negara-negara di masa depan akan memainkan kembali senjata nuklir sebagai deterrence (upaya membuat negara lain berpikir dua kali untuk melakukan sesuatu) terhadap satu sama lain. 

Menariknya, AS bukan hanya satu-satunya kekuatan besar yang tidak disukai oleh Putin. Terdapat negara tetangga Rusia yang sebenarnya juga dilihat sebagai ancaman oleh pemerintahan Putin meskipun di luarnya terlihat sangat ramah satu sama lain, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Mengacu pada buku Sarah Kirchberger, Svenja Sinjen, dan Nils Wörmer yang berjudul Russia-China Relations: Emerging Alliance or Eternal Rivals?, hubungan Rusia dan Tiongkok sebenarnya tidaklah begitu baik karena Rusia merasa khawatir meskipun di luarnya tampak saling berteman.

Alhasil, Rusia menjadikan nuklir sebagai jawaban. Senjata nuklir dijadikan pemimpin-pemimpin Rusia sebagai bagian dari strategi deterrence terhadap Tiongkok.

Kehadiran Indonesia dalam strategi nuclear deterrence Rusia bisa jadi memperkuat negara yang dipimpin oleh Putin tersebut. Secara tidak langsung, kebangkitan Tiongkok juga bisa mengancam posisi Rusia sebagai penantang utama bagi AS.

Namun, semua ini adalah gambaran dari kemungkinan kepentingan yang dimiliki oleh Rusia terhadap Indonesia. Sejauh ini, kemungkinan kerja sama juga baru dilaksanakan pada tingkatan nuklir dengan tujuan damai. (A43)


Exit mobile version