Site icon PinterPolitik.com

Biden Paksa Jokowi Beli Senjata?

biden paksa jokowi beli senjata

Presiden Joko Widodo (Jokowi) (kiri) dan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden (kanan) mengadakan pertemuan bilateral di Glasgow, Skotlandia, pada November 2021 silam. (Foto: BPMI Setpres)

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden sebut pemerintahannya akan siap sedia untuk membela Republik Tiongkok (Taiwan) bila diserang oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu merasa khawatir atas pernyataan itu?


PinterPolitik.com

“But the real criminals are in suits and ties, selling arms to crazy countries around the world. War is profitable. Murder is profitable. You understand?” – Akala, “I Wonder” (2017)

Terkadang, perubahan keputusan kerap terjadi di ujung. Bagaimana tidak? Ketika sudah membulatkan tekad untuk memilih restoran yang dituju, muncul pertimbangan-pertimbangan lain yang akhirnya membuat opsi final berubah.

Mungkin, itulah yang kerap terjadi ketika tengah menyusun rencana kencan dengan pacar. Tidak jarang, keputusan diserahkan pada diri kita sedangkan dia selalu menolak opsi yang kita tawarkan.

Meski begitu, pada akhirnya, pilihan final pun harus ditentukan. Bagaimana pun, ketidakjelasan dan kesimpangsiuran tujuan perlu disudahi. Bila tidak, waktu dan energi pun akan terbuang dengan percuma.

Mungkin, hal-hal seperti itu yang ingin diakhiri oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Terangnya, pemerintah AS siap pasang badan untuk Republik Tiongkok (Taiwan) bila sewaktu-waktu Republik Rakyat Tiongkok (RRT/Tiongkok) datang menyerang Pulau Formosa tersebut.

Padahal, presiden-presiden AS sebelumnya selalu menjaga ketidakjelasan (ambiguitas) posisi negeri Paman Sam terkait Taiwan. Upaya untuk menjaga ambiguitas itu selama ini dijalankan agar bisa menjaga kepentingan AS dengan Tiongkok.

Pasalnya, mau tidak mau, AS membutuhkan Tiongkok kala itu. Sebagai salah satu ekonomi dan pasar yang besar, negara yang dikuasai oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) tersebut merupakan negara yang penting bagi AS dalam hal perdagangan.

Itulah mengapa AS terus menjaga kebijakan Satu Tiongkok (One China) – yakni hanya mengakui RRT sebagai satu-satunya negara Tiongkok yang berdaulat – yang telah diambilnya pada akhir dekade 1970-an. Ini juga berkaitan dengan posisi Tiongkok yang dianggap semakin kuat setelah perpecahan yang terjadi di Blok Timur antara Tiongkok dan Uni Soviet.

Meski begitu, AS tetap menjaga hubungan informal dengan Taiwan. Namun, seiring berjalannya waktu, ketegangan geopolitik terjadi di Selat Taiwan – antara Tiongkok dan Taiwan. 

Ambiguitas strategis (strategic ambiguity) AS akhirnya mulai berubah di bawah Presiden Biden. Ini membuat banyak pengamat menilai konflik antara dua raksasa – AS dan Tiongkok – bisa saja meletus.

Melihat situasi yang memanas di Selat Taiwan, apakah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia perlu mulai merasa khawatir? Lantas, mungkinkah situasi ini justru bisa menguntungkan pemerintah AS – bahkan termasuk bila berdampak ke Indonesia?

Strategi Rantai ala Biden?

Meski Tiongkok merupakan negara yang penting dalam hal ekonomi dan perdagangan, Taiwan tetaplah wilayah yang penting dalam hal strategis. Setidaknya, pentingnya Pulau Formosa ini menjadi semakin signifikan di tengah ketegangan geopolitik yang semakin memanas di kawasan Indo-Pasifik.

Kebangkitan Tiongkok di Indo-Pasifik memunculkan kekhawatiran. Bila tidak dibendung, bukan tidak mungkin arsitektur keamanan yang sudah eksis sejak lama akan berubah.

Hal paling nyata terlihat dari bagaimana Tiongkok terus meningkatkan pengaruhnya di Laut China Selatan (LCS). Padahal, terdapat negara-negara lain di Asia Tenggara yang turut mengklaim sebagian wilayah LCS.

Inilah mengapa diperlukan serangkaian geostrategi – strategi keamanan berdasarkan situasi dan kondisi geografis – guna menghalau Tiongkok. Untungnya, AS sudah memiliki strategi demikian sejak era Perang Dingin. Strategi itu adalah Strategi Rantai Pulau (Island Chain Strategy).

Strategi yang dicetuskan diplomat AS yang bernama John Foster Dulles pada tahun 1951 ini dijalankan dengan menghalau pengaruh komunisme Uni Soviet dan Tiongkok agar tidak menyebar ke negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara lainnya. Strategi ini setidaknya memiliki tiga rantai pulau.

Rantai pertama terdiri dari Kepulauan Kuril (Jepang), Kepulauan Jepang, Kepulauan Ryukyu (Jepang), Taiwan, Filipina, dan Kalimantan (Malaysia dan Indonesia). Rantai pertama ini bisa dibilang menjadi rantai terdepan yang menghalau pengaruh Tiongkok di masa kini – khususnya Taiwan, Filipina, dan Kalimantan.

Sementara, rantai kedua terdiri atas Kepulauan Ogasawara (Jepang), Kepulauan Iwo (Jepang), Guam (AS), Yap (Mikronesia), Palau, dan Papua (Indonesia). Rantai kedua dipersiapkan bila rantai pertama mulai terbuka.

Terakhir, rantai ketiga terdiri dari Kepulauan Aleut (Alaska, AS) dan terus ke selatan membelah Samudra Pasifik melalui Kepulauan Hawaii (AS), Samoa Amerika (AS), Fiji, hingga Selandia Baru. Menariknya, ada sejumlah wacana agar ditambahkan rantai keempat (Maladewa dan Diego Garcia) dan kelima (Teluk Aden dan Tanduk Afrika) untuk menambah rantai penghalau Tiongkok yang terus bertumbuh pengaruhnya.

Namun, terlepas dari berapa rantai lagi yang akan dimunculkan, Taiwan tetaplah mata rantai utama di rantai pertama. Lokasinya yang hanya dipisahkan oleh selat dengan Tiongkok daratan membuat pulau ini semakin strategis.

Tidak heran apabila akhirnya Biden merasa perlu untuk mencegah jatuhnya Taiwan ke tangan Tiongkok daratan. Bisa jadi, Taiwan adalah pertaruhan strategis antara Biden dan pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok yang bisa saja mengubah status quo di kawasan Indo-Pasifik.

Jika Biden sampai benar-benar rela harus masuk dalam konflik bersenjata dengan Tiongkok – andaikata Taiwan diserang, lantas, bagaimana dampaknya pada Indonesia? Apalagi, seperti yang diketahui, pemerintahan Jokowi kerap mempertahankan posisinya untuk tidak memilih salah satu kutub kekuatan antara AS dan Tiongkok.

Jokowi Terjebak Keinginan Biden?

Menariknya, mengingat geopolitik adalah politik yang didasarkan pada kondisi dan situasi geografis, sudah hampir pasti konflik di Selat Taiwan akan berdampak pada Asia Tenggara – termasuk Indonesia. Dengan ancaman keamanan yang meningkat, sudah hampir pasti pemerintahan Jokowi akan turut merespons.

Respons keamanan yang jelas akan muncul adalah peningkatan kekuatan masing-masing negara – khususnya kekuatan militer. Bagaimana pun, seperti apa yang dijelaskan John J. Mearsheimer dalam bukunya The Tragedy of Great Power Politics, situasi anarki dalam politik internasional membuat negara-negara berfokus menguatkan diri agar tidak merasa terancam.

Bila ancaman keamanan menjadi semakin nyata, bukan tidak mungkin kompleks keamanan kawasan (regional security complex) terbentuk – membuat negara-negara yang ada di kawasan tersebut turut terpengaruhi secara keamanan. Alhasil, akan ada semacam armament (upaya mempersenjatai diri) – yang mana nantinya negara-negara akan saling merasa terancam.

Semakin insecure kawasan tersebut, semakin banyak senjata dan kekuatan militer yang dibutuhkan. Solusinya pun adalah dengan menciptakan atau membeli senjata dari negara-negara produsennya – dalam hal ini AS.

Lagi-lagi, pada ujungnya, bisnis senjata lah yang akan mendapatkan dan kecipratan “cuan” dari adanya situasi tidak aman di kawasan Indo-Pasifik, khususnya Asia Tenggara dan Asia-Pasifik secara lebih luas. 

Sejumlah pakar pertahanan Indonesia – seperti Connie Rahakundini Bakrie – bahkan sudah mewanti-wanti bahwa Biden berniat untuk memindahkan situasi “Ukraina” ke Taiwan. Bila benar demikian, bukan tidak mungkin AS kembali yang bakal diuntungkan.

Dengan situasi tegang – tanpa konflik – saja, pemerintahan Jokowi sudah berkali-kali menyatakan ketertarikannya untuk berbelanja alat utama sistem pertahanan (alutsista) dari negeri Paman Sam. Bila perang meletus, Indonesia bisa membutuhkan lebih banyak karena, bagaimana pun, harus bisa mempertahankan diri bila ada skenario terburuk.

Seperti penjelasan Jordi Calvo Rufanges dalam tulisannya yang berjudul No Business Without Enemies, bisnis senjata membutuhkan konflik yang membara. Dan, bukan tidak mungkin, ini untuk kepentingan strategis pemerintah AS untuk menjual senjata-senjata yang mereka produksi.

Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act, misalnya, merupakan undang-undang (UU) yang menghalangi negara-negara untuk membeli senjata dari Rusia – yang mana sempat menjadi calon rekan bisnis senjata Indonesia. Alhasil, AS lah – atau setidaknya negara-negara Barat lainnya – yang akhirnya menjadi penjual utama di pasar alutsista.

Pada intinya, terlepas dari kepentingan strategis AS di Taiwan, bukan tidak mungkin Indonesia lah yang malah turut terjebak dalam tensi geopolitik – termasuk andaikata ada konflik – yang terjadi, yakni pembelian senjata dari AS. Alhasil, layaknya menentukan restoran mana yang akan dituju, pilihan finalnya pun tetap akan sama saja, yakni negeri Paman Sam. (A43)


Exit mobile version