Asia adalah benua yang diisi sejumlah keberagamaan. Namun, hal tersebut kadang dilihat sebagai tantangan dalam mewujudkan persatuan di kawasan terluas di dunia ini. Mengapa bisa demikian?
Benua Asia adalah benua terbesar di dunia. Hingga saat ini, Asia terdiri dari 48 negara yang terbagi menjadi beberapa wilayah tersendiri, seperti Jepang di Asia Timur dan tentunya Indonesia di Asia Tenggara.
Dalam perbincangan politik internasional, Benua Asia belakangan ini sering menjadi topik utama, salah satunya karena proyeksi demografisnya yang luar biasa. Saat ini saja, hanya dengan India dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Asia sudah jadi tempat dengan populasi terbanyak di dunia.
Dan tentu perbincangannya tidak hanya soal populasi saja, sebagai benua yang memiliki banyak negara berkembang, potensi kekuatan ekonomi Asia diperkirakan akan menjadi sangat besar. Otomatis, banyak bandar udara dan laut di Asia yang mulai menjadi pusat perdagangan dunia.
Akan tetapi, meski kerap dipandang sebagai wilayah yang homogen, faktanya nilai kesatuan di Benua Asia tidak setinggi yang sering disebutkan para pejabat. Kalau dibandingkan dengan Benua Eropa yang memiliki organisasi supranasional bernama Uni Eropa (UE), integrasi kawasan di Asia masih tertinggal jauh.
Asia Tenggara, misalnya, kendati memiliki Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), tapi ASEAN pun sampai sekarang tidak memiliki ikatan sekuat UE. ASEAN saja sampai saat ini masih sangat hati-hati menanggapi gejolak isu junta Myanmar karena takut melanggar prinsip non-intervensinya.
Ya, entah mau diakui atau tidak, kenyataannya Asia adalah sebuah benua yang memiliki banyak perbedaan.
Lantas, kenapa sulit sekali bagi negara-negara Asia untuk “bersatu”?
Asia Tidak Sesimpel Itu?
Kalau kita coba cari-cari pendapat pengamat tentang kenapa negara-negara di Asia tidak menyatu, sebagian dari mereka menilai bahwa Benua Asia memiliki keragaman yang terlalu “beragam”, baik secara kultural, agama, sejarah, dan politik.
Dan yess, tanpa perlu mengklarifikasi lebih lanjut, pandangan seperti itu sepertinya memang ada benarnya. Di negara kita saja, Indonesia, terdapat lebih dari 700 bahasa daerah. Secara rasional saja, jika negara seperti itu ingin dibaurkan dengan negara-negara lain di sekitarnya yang juga barangkali memiliki ratusan bahasa dan budaya, tampaknya akan sangat sulit.
Well, jangankan budaya, secara geografis saja masing-masing wilayah negara Asia memiliki ciri khasnya sendiri
Namun, alasan kenapa Asia sulit disatukan memiliki alasan yang lebih mendalam dan lebih kelam dari itu.
Mantan diplomat dan ahli geopolitik asal Amerika Serikat (AS), Henry Kissinger dalam bukunya World Order, mengungkapkan sebuah pandangan yang begitu kontroversial tentang Benua Asia, namun mendapat banyak persetujuan dari banyak pengamat internasional. Kissinger mengatakan bahwa konsep Benua Asia itu sendiri sebenarnya hanyalah konstruk sosial yang diciptakan peradaban Barat, khususnya kolonialisme Eropa.
Yang lebih menariknya lagi, Kissinger berpandangan bahwa gagasan Asia sebagai sebuah benua yang terpisah dengan Eropa muncul dari pandangan arogan yang terkesan rasis. Secara konsepnya, Kissinger melihat sebutan Asia sebenarnya dimaknai sebagai julukan kepada mereka yang bukan berasal dari tanah Eropa, yang juga tidak berasal dari peradaban pecahan Kekaisaran Romawi dan tidak menganut Agama Kristen.
Oleh karena itu, Benua Asia bisa dianggap menjadi sebuah konsep yang bernilai over-simplifikasi. Ketika berbicara tentang peradaban Timur dan Asia, anggapan yang muncul di benak orang-orang Barat umumnya peradaban India dan Tiongkok. Padahal, dengan keberagaman yang ada, masing-masing wilayah di Asia, seperti Asia Timur, Tengah, dan Tenggara seharusnya layak dianggap memiliki komunitasnya sendiri.
Konsep persatuan di tengah keberagaman yang luar biasa tampaknya menjadi alasan kenapa persatuan negara-negara Asia sangat sulit untuk dicapai. Bagaimana tidak? Dalam menentukan identitas Asia itu sendiri saja mungkin para warganet akan terlibat dalam perdebatan yang sengit.
Pada akhirnya, hal ini semua bisa jadi pelajaran bagi kita, bahwa ternyata ada banyak hal di dunia ini yang kerap kita anggap normal, namun memiliki sejarah kelam yang membayanginya. (D74)