Cross BorderBakar Al-Quran, Bukti Kemunafikan Barat?

Bakar Al-Quran, Bukti Kemunafikan Barat?

- Advertisement -

Aksi pembakaran Al-Quran menuai berbagai sorotan, terutama kaum muslim di dunia. Kendati demikian, pemerintah Swedia menganggap aksi tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi, namun secara berasamaan tidak membenarkan aksi tersebut. Lantas, mengapa pemerintah Swedia seolah memiliki standar ganda dalam menilai fenomena tersebut?


PinterPolitik.com

Fenomena pembakaran Al-Quran oleh sekelompok ekstrimis sayap kanan Swedia-Denmark di Stockholm menuai sorotan global dan dianggap sebagai aksi yang tidak bersifat humanis.

Pemerintah Swedia melalui cuitan Perdana Menteri (PM) Swedia Ulf Kristersson menyatakan aksi ekstermis tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Pernyataan Ulf disiratkan sebagai bentuk dalam mempertahankan keputusannya untuk mengizinkan aksi tersebut. 

Dalih kebebasan berekspresi seolah digunakan sebagai “tameng” untuk tetap melazimkan tindakan yang berdasar pada kebencian.

Ulf lebih lanjut menyatakan tindakan membakar kitab yang dianggap suci bagi banyak orang merupakan tindakan yang sangat kasar sekaligus memberi simpati kepada seluruh umat muslim yang merasa terhina.

Selain itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Swedia Tobias Billstrom menyatakan tindakan provokasi Islamofobia semacam ini dianggap sebagai sesuatu yang sangat mengerikan. Senada dengan Ulf, dirinya juga mengamini kebebasan berpendapat yang luas, namun menyatakan pemerintah Swedia maupun dirinya sendiri mendukung pendapat yang diungkapkan.

Pemimpin sayap kanan Stram Kurs Denmark – yang dinilai sebagai golongan garis keras – itu mendapat izin dari pemerintah Swedia untuk membakar Al Quran di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Turki di Stockholm.

Lantas, benarkah demokrasi mampu menjamin kebebasan berekspresi yang merujuk pada provokasi Islamofobia semacam itu?

image 82

Demokrasi Hanya “Pengantar”?

Setidaknya, terdapat salah satu hal yang menarik dari cuitan PM Swedia Ulf Kristersson yaitu mengenai kebebasan berekspresi yang dianggap sebagai salah satu bentuk implementasi demokrasi.

Francis Fukuyama dalam tulisannya berjudul Liberalism and Its Discontents: The Challenges from The Left and The Right menyatakan banyak orang telah keliru dalam memaknai demokrasi.

Fukuyama berpendapat demokrasi yang selama ini dimaknai sebagian besar orang bukan merupakan demokrasi murni, melainkan liberalisme ala Eropa.

Istilah-istilah seperti kebebasan berpendapat, egalitarian, kesetaraan, serta pengawasan fungsi pemerintah alias checks and balances merupakan hasil dari perkawinan liberalisme dengan demokrasi pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 di Eropa.

Fukuyama mengatakan demokrasi sejatinya merupakan bentuk pemerintahan di mana masyarakat memiliki kewenangan dan kesadaran penuh untuk memilih pemimpin negara serta pembuat undang-undang.

Fukuyama lebih lanjut menjelaskan dalam tulisannya yang berjudul Infrastructure, Governance, and Trust, demokrasi bisa jadi mampu melahirkan ekspektasi yang terlalu berlebihan sehingga mampu menimbulkan bias bahwa pemerintah hanya menampilkan demokrasi sebagai “pengantar” belaka untuk menarik keberpihakan publik melalui sosok representatif.

Selain itu, sistem demokrasi beserta prinsip liberalisme di dalamnya akan memiliki relasi dengan argumen moral yang mendukung liberalisme. Argumen tersebut berkaitan dengan otonomi individu dimana masyarakat percaya martabat manusia dilindungi oleh liberalisme.

Hal itu diyakini atas kemampuan manusia untuk memilih berdasarkan hak asasi manusia (HAM) yang dimiliki manusia untuk bebas memutuskan pilihan hidup mereka, utamanya dalam hal kebebasan berekspresi.

Adanya keterkaitan antara prinsip demokrasi yang seakan diagungkan sebagian besar orang dengan prinsip liberalisme di dalamnya, terutama terkait kebebasan berekspresi, mampu mendorong para politisi – terlepas memiliki kepentingan partai politik (parpol) atau tidak – untuk tetap menjadikan kebebasan itu sebagai modal utama dalam berpolitik.

Lantas, penjelasan tersebut agaknya perlu mempertanyakan makna kebebasan yang dilihat dari perspektif HAM. Apakah ada batasan bagi kebebasan berekspresi maupun kebebasan berpendapat?

image 83

Bebas, tapi Terbatas?

Menurut jurnal berjudul Justifying Limitations on the Freedom of Expression, yang ditulis oleh Gehan Gunatilleke negara mampu memberi batasan atas kebebebasan berekspresi.

Organisasi seperti United Nations (UN) bahkan membenarkan seseorang memiliki batasan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat sesuai dengan izin otoritas, misalnya jika seseorang mengungkapkan pandangan yang mendorong kebencian terhadap ras atau agama tertentu.

Pembatasan itu kemudian dapat dibahas lebih lanjut pada jurnal yang ditulis oleh Gehan. Dia mengutip pernyataan Joseph Raz dalam bukunya berjudul The Morality of Freedom, seseorang memiliki hak ketika dirinya memiliki alasan rasional yang mendasari kebebasan berekspresi yang mencakup mengapa kita harus dan memang mengakui hak tersebut.

Ras selanjutnya mengungkapkan dalam buku yang berjudul Practical Reason and Norms faktor utama yang digunakan untuk mempertimbangkan alasan rasional itu yakni pembenaran dalam melakukan, mempercayai, atau merasakan sesuatu.

Setidaknya, John Rawls dalam bukunya yang berjudul Political Liberalism: Expanded Edition menyatakan salah satu alasan utama mengapa kebebasan berekspresi diterima sebagai hak asasi yakni didasari oleh persetujuan publik. Dia menyebutnya dengan sebutan “nalar publik”.

Sesuatu dapat dikatakan sesuai dengan “nalar publik” mensyaratkan pembenaran keputusan politik melalui nilai dan standar yang dapat diterima oleh publik. Alasan tersebut dapat dicirikan ketika warga negara mampu menerimanya sebagai suatu hal yang valid.

Pernyataan itu dengan kata lain dapat diinterpretasikan sebagai kemampuan negara untuk mengandalkan konsepsi moral mayoritas dalam membatasi ekspresi maupun pendapat tertentu yang dianggap bertentangan dengan konsepsi tersebut.

Misalnya, ketika Pengadilan HAM Eropa, Handyside v. The United Kingdom pada tahun 1976 yang menangani kasus penyitaan buku pendidikan yang membasa seks. Jika merujuk pada Pasal 10 ECHR kasus tersebut tidak melanggar kebebasan ekspresi, namun pembatasan dilakukan atas dasar moral masyarakat.

Oleh karenanya, tidak mengherankan jika pembakaran Al-Quran di Swedia tidak mendapatkan kecaman dari pemerintah mengingat adanya sensitivitas terhadap Islam oleh masyarakat Swedia.

Lantas, bagaimana konsekuensi yang ditanggung oleh pemerintah Swedia dalam menyikapi fenomena pembakaran Al-Quran sekaligus Islamfobia secara bersamaan?

image 84

Utopia Kesetaraan?

Adanya pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat mengindikasikan bahwa sejatinya manusia memiliki batasan-batasan dalam konteks HAM.

Kembali kepada makna demokrasi yang diungkap Fukuyama, Swedia agaknya tidak benar-benar menerapkan prinsip liberalisme bagi kaum minoritas. Salah satu faktor yang menjadi penentu pada demokrasi kebanyakan saat ini yakni kontrol elite.

Dengan demikian, pernyataan tersebut selaras dengan inteprestasi pada jurnal yang ditulis oleh Gehan sebelumnya dimana bisa jadi kebebasan dan kesetaraan dalam konteks berpendapat dan berekspresi hanya bersifat utopis alias hanya berupa khayalan belaka bagi kaum minoritas.

Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berujudul Sapiens: A Brief History of Humankind, bahkan menyebutkan salah satu sifat manusia pada dasarnya yaitu bergosip untuk menjalin kerja sama sosial.

Pendekatan itu merupakan salah satu kunci bertahan hidup dan melakukan reproduksi karena pada dasarnya manusia adalah “binatang sosial”. 

Sebagai perumpamaan, menurut Harari, tidak cukup bagi laki-laki dan perempuan untuk tahu keberadaan singa dan bison. Yang jauh lebih penting bagi mereka adalah tahu siapa membenci siapa, siapa tidur dengan siapa, siapa yang jujur, dan siapa yang penipu.

Berdasarkan nalar tersebut, kasus pembakaran Al-Quran bisa jadi sentimen negatif masyarakat Swedia terhadap kaum minoritas Muslim, karena itu sanggup jadi presedensifat manusia sebagai binatang sosial yang diungkapkan Harari.

Dengan demikian, tidak heran jika pemerintah Swedia seakan memiliki standar ganda dan dinilai hipokrit dalam menyikapi fenomena pembakaran Al-Quran.

Di satu sisi, standar ganda pemerintah Swedia agaknya merupakan strategi diplomatis untuk tetap memilih keberpihakannya terhadap masyarakat sekaligus mempertahankan hubungan dengan negara-negara Muslim. (Z81)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Dompet Berjalan Presiden RI? #PART2

Part 2 udah ya gaes. Siapa nih nama yang kelupaan mimin sebut? Share di kolom komentar ya!

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?