Site icon PinterPolitik.com

“Bai Lan” Akan Hancurkan Tiongkok?

Bai Lan Akan Hancurkan Tiongkok

Presiden Tiongkok, Xi Jinping (Foto: Mark R Cristino/EPA)

Belakangan ini, Tiongkok disebut tengah menderita fenomena yang diberi istilah “bai lan”, yakni para generasi muda yang menyerah dalam pekerjaannya dan memilih tidak berbuat apa-apa untuk kehidupan. Namun, tren seperti itu sejujurnya sudah mulai muncul di berbagai belahan dunia lain. Mengapa hal ini bisa terjadi?


PinterPolitik.com

Kalian mungkin pernah mendengar cerita di mana ada seorang karyawan – khususnya dari kalangan umur 20-30 tahun – yang mengeluh kehidupan pekerjaannya begitu memuakkan dan melelahkan. Well, belakangan ini permasalahan itu tampaknya telah menjadi persoalan serius di Tiongkok.

Sebuah laporan dari media South China Morning Post menyebutkan bahwa kini telah berkembang sebuah tren baru di Negeri Tirai Bambu yang diberi istilah “bai lan”. Memiliki arti “biarkan membusuk”, tren ini merepresentasikan anak-anak muda Tiongkok yang merasa tidak memiliki kekuatan untuk merespons tekanan ekspektasi sosial di negaranya.

Para generasi muda yang menyebut dirinya bai lan umumnya melepaskan diri dari kehidupan sosial, termasuk dari pekerjaannya dan terkadang interaksi dengan manusia lain. Para penganut bai lan ini juga meliputi karyawan-karyawan kantor yang tetap lakukan pekerjaan sehari-hari tetapi hanya memandangnya sebagai formalitas belaka, tidak benar-benar serius dan berkeinginan melebihi target.

Melebihi dari hanya sekadar persoalan rasa malas, Profesor Yu Hai dari Departemen Sosiologi Universitas Fudan menilai bahwa masalah ini sudah termasuk dalam permasalahan mentalitas. Pada awalnya, tren ini hanya berupa kebiasaan para karyawan Tiongkok untuk tidak memiliki tujuan hidup dan menjalankan aktivitas hanya sebagai rutinitas, tetapi belakangan orang-orang muda di sana benar-benar menyerah dalam kehidupannya.

Akan tetapi, sejujurnya fenomena kesehatan mental seperti ini sudah mulai jadi permasalahan internasional. Tidak hanya di negara-negara besar, di Indonesia saja kini mulai populer suatu tren yang disebut “quiet quitting”, yakni sekelompok karyawan-karyawan muda yang merasa beratnya pekerjaan telah membuat mereka hanya memiliki tenaga untuk memenuhi kewajiban harian saja, tanpa benar-benar memiliki cita-cita besar di balik pekerjaan yang mereka lakukan.

Kalau istilah populernya, fenomena seperti ini membuat orang banyak mengatakan bahwa mereka memerlukan “mental healing” dan “self-reward” agar bisa memenuhi kebutuhan emosional.

Mirisnya, di balik semua candaan tentang mental health, beberapa data telah menunjukkan bahwa penyakit kejiwaan dalam beberapa waktu terakhir ternyata memang meningkat. Sebuah laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa tingkat penyakit kejiwaan di seluruh negara telah meningkat 13 persen dalam satu dekade (sampai tahun 2017). 

Lalu, pada tahun 2021 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga pernah menyebutkan bahwa ada sekitar 19 juta orang berumur di atas 15 tahun yang kini terdeteksi menderita gangguan emosional. Sementara itu, 12 juta di antaranya menderita depresi.

Walau sering disepelekan, munculnya tren-tren penyakit kejiwaan di berbagai belahan dunia membuat kita perlu bertanya, mengapa persoalan ini bisa menjadi begitu menyebar dan besar?

Mental Illness Seperti Pandemi?

Sebagai perenungan awal tentang mengapa tren penyakit jiwa baru tersorot terjadi secara masif dalam beberapa tahun terakhir, mungkin juga perlu merefleksikan apa yang ditulis Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus, tentang perkembangan penyakit dalam peradaban manusia. 

Yuval menyoroti persoalan tentang kenapa manusia modern terkadang dinilai lebih penyakitan dari manusia-manusia di zaman dahulu, dan jawabannya adalah persoalan identifikasi. Di masa lalu, teknologi dalam dunia medis masih sangat terbatas, sehingga apa yang disebut sebagai penyakit sebagian besar adalah penyakit yang memang memiliki gejala fisik seperti cacar dan demam.

Akan tetapi, dengan semakin berkembangnya teknologi medis, manusia menemukan bahwa ternyata ada banyak penyakit yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Nah, pemikiran seperti ini juga mungkin berlaku pada meningkatnya permasalahan kejiwaan dalam dunia modern. Karena ilmu penyakit jiwa baru populer pada abad 17-18, banyak permasalahan kejiwaan yang baru diketahui manusia, padahal bisa saja sebenarnya penyakit kejiwaan itu sudah ada sejak lama.

Namun, tentu permasalahan penyakit jiwa modern ini tidak hanya soal ‘self-entitlement’ manusia saja. Psikoanalis fenomenal asal Swiss bernama Carl Jung sebenarnya sudah memprediksi permasalahan modern penyakit kejiwaan dan relasinya dengan dunia pekerjaan dari sejak tahun 1960-an, melalui bukunya yang berjudul Man and His Symbols

Di dalam buku itu, Jung memprediksi bahwa dengan tren industri ala neoliberalisme, di masa depan akan ada sesuatu yang disebutnya worldwide mental psychic disorientation and dissociation. Karena sistem neoliberal ini dilakukan oleh banyak negara, maka persoalan tentang penyakit kejiwaan ini juga akan seperti sebuah pandemi global yang muncul di beberapa belahan dunia.

Dunia industri saat ini menuntut seseorang untuk bisa bekerja seefektif mungkin dengan waktu sesingkat-singkatnya, perilaku ini kemudian membuat manusia semakin hari semakin dianggap sebagai sebuah “mesin” yang hanya perlu dipenuhi kebutuhan fisiknya. Padahal, manusia pun memiliki aspek emosional dan spiritual yang juga butuh dipenuhi. Karena itu, Jung melihat bahwa penyakit jiwa manusia modern sesungguhnya adalah momentum ketika kebutuhan alam sadar dan alam bawah sadar seorang manusia mengalami “breakup” atau putus hubungan.

Karena tren modern seperti ini, sosiolog Prancis, Émile Durkheim bahkan sempat membuat kesimpulan kontroversial dengan mengatakan bahwa mungkin butuh terjadi sebuah perang atau bencana besar untuk menurunkan tren penyakit kejiwaan, karena dalam suatu tragedi besar, masyarakat suatu negara dapat mengalihkan seluruh energinya untuk kebaikan komunitas. 

Bencana dan perang, menurut Durkheim mampu menciptakan sensasi tribal di mana orang-orang perlu merasa bersatu demi menjaga kelangsungan hidup bersama. Dalam dunia modern, hal seperti ini lah yang tidak kita miliki.

Tapi tentu pendapat Durkheim itu hanya perlu kita jadikan analogi saja, karena bagaimana pun perang dan bencana adalah tragedi yang mampu menelan korban jiwa dan itu harus selalu kita doakan agar tidak pernah terjadi.

Lantas, dengan realitas saat ini di mana penyakit kejiwaan mulai jadi permasalahan serius, bagaimana pemerintah perlu menyikapinya?

Penyakit Kejiwaan Perlu Perhatian Politik?

Pengamat sekaligus kritikus politik dan budaya dari University of London, Mark Fisher, dalam tulisannya Why mental health is a political issue, menilai bahwa melihat perkembangannya, tren penyakit kejiwaan kini tidak lagi hanya menjadi masalah individual, tetapi mulai menjadi suatu permasalahan yang butuh solusi politik.

Fisher menyoroti meningkatnya tren bunuh diri di Inggris yang terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Umumnya, orang melihat persoalan itu tidak terkait dengan politik karena aksi bunuh diri tidak dianggap sebuah perilaku yang rasional, dan jika tidak rasional, maka ia tidak bisa dinilai berdampak pada politik. 

Namun, Fisher justru mengatakan sebaliknya. Permasalahan mental dan bunuh diri menjadi masalah politik ketika angkanya terus naik dan terjadi secara meluas. Ini menandakan bahwa dari segi kebijakan ada sesuatu yang membuat orang terus merasa putus asa dan sejatinya, pemerintah perlu memberi perlindungan pada mereka-mereka yang merasa putus asa karena bagaimana pun, orang yang punya penyakit kejiwaan juga adalah warga negara yang perlu dilindungi.

Terkhusus alasan mengapa penyakit kejiwaan bisa menjadi sebuah tren besar, Fisher menyoroti sistem kapitalisme dan neoliberal sebagai salah satu akarnya. Menurutnya, industri modern telah melakukan apa yang disebutnya sebagai “privatisasi rasa stres”, perusahaan bisa dengan begitu bebas membebankan pekerjaan pada karyawannya dengan bayaran yang stagnan, sementara kepastian keamanan pekerjaannya pun tidak terjamin. 

Kalau di masa lalu, Fisher menilai bahwa serikat pekerja bisa berperan besar dalam menyeimbangkan permasalahan seperti itu, dan mencari solusi dari aspek kebijakan. Namun untuk zaman sekarang tidak demikian, karena penyakit kejiwaan hanya dilihat sebagai masalah personal, maka solusi yang dilemparkan mungkin hanyalah janji pertemuan dengan seorang ahli terapi kejiwaan. Dengan demikian, masalah ketimpangan secara struktural sesungguhnya tetap ada.

Oleh karena itu, mungkin ini merupakan saatnya bagi kita untuk turut menyuarakan kesadaran awal bahwa penyakit kejiwaan adalah sesuatu yang perlu ditangani tidak hanya secara subjektif, tetapi juga perlu ditelusuri apa alasan-alasan objektif strukturalnya agar aktivitas ekonomi bisa terus berjalan dengan lancar dan bisa menyejahterakan banyak orang.

Penting bagi pemerintah Indonesia khususnya, untuk belajar dari kasus bai lan yang terjadi di Tiongkok agar persoalan penyakit jiwa tidak menjadi “pandemi” dan tidak merusak prospek cemerlang para generasi muda kita. (D74)

Exit mobile version